Jika telusuri
jejak-jejak peranan gerakan mahasiswa dalam rentetan peristiwa sejarah, peran
mahasiswa memang ada dan cukup signifikan. Dahulu bibit-bibit paham bukan-Islam
nasionalisme mulai tertanam dalam jiwa mahasiswa hingga mencapai masa puncaknya
saat dicetuskan Kongres Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Mulai dari situ para
pemuda, pelajar dan mahasiswa ikut berkontribusi dalam memperjuangkan
kemerdekaan negeri ini.
Begitu pun saat rezim
Orde Baru sudah tampak jelas kebobrokannya, mahasiswa bersatu-padu dalam
menumbangkannya. Namun berbagai protes tersebut diwarnai dengah nuansa
anarkisme, terlepas dari siapa yang memulai atau siapa yang memprovokasi. Jika
ada jalan perubahan tanpa melalui pertumpahan darah atau tanpa kekerasan, yang
wajib menurut metode syar’i, mengapa kita tidak ambil cara tersebut?
Reformasi yang
bergulir sekira 19 tahun tersebut tak jua membuahkan kesejahteraan rakyat dan
keadilan hingga saat ini. Bahkan berbagai kebobrokan makin menggila, korupsi
makin meraja, hukum rimba buatan manusia tetap berjaya. Dan yang paling utama,
neoliberalisme dan neoimperialisme makin menancap kuat di Indonesia.
Negeri Indonesia
benar-benar sudah terjual. Dominasi neoliberalisme itu sangat jelas di awal
rezim Jokowi-JK. Revolusi mental hanya pepesan kosong saat kampanye. Revolusi
mental gagal total karena dalam demokrasi, janji-janji selama kampanye tak
terbukti, harga-harga melambung tinggi, berbagai subsidi yang seharusnya
menjadi hak rakyat dicabut dan sebaliknya asing dimanjakan. Pemerintah bukan
menjadi pelayan yang merakyat, melainkan pelayan setia terhadap kepentingan
asing.
Di saat kondisi sulit
seperti ini, banyak yang bertanya-tanya ke manakah para mahasiswa? Banyak yang
menilai mahasiswa sekarang berbeda dengan mahasiswa dulu. Mahasiswa sekarang
individualis, hanya mementingkan akademik agar masa depan mereka cerah dan karir
yang bagus setelah lulus kuliah. Mahasiswa sekarang apatis dan hedonis.
Mahasiswa sekarang lebih suka bersenang-senang, tampil di acara talkshow
televisi, ber-selfie ria, dininabobokkan
dengan aktivitas pacaran, terjerumus dalam pergaulan bebas.
Jangan pernah mengira
bahwa peran kita sebagai agen perubahan sudah selesai. Negeri ini masih
terjajah. Indonesia membutuhkan mahasiswa untuk benar-benar terbebas dari
penjajahan gaya baru neoliberalisme. Maka belajarlah dari masa lalu. Peran
mahasiswa masih belum berakhir. Dahulu konsep yang diusung gerakan mahasiswa
-terutama mahasiswa Islam- gagal sebelum dipanen. Reformasi hanya melahirkan
rezim yang mengulang kebobrokan sistem dan rezim sebelumnya. Reformasi tidak
memberikan solusi kecuali sekadar mengganti orang. Maka saatnya kini mahasiwa
menemukan sebuah konsep yang shahih untuk perubahan Indonesia.
Konsep yang saat ini
belum serius diperjuangkan mahasiswa adalah revolusi Islam yang dulu pernah
dicontohkan Muhammad Rasulullah SAW. Mengapa tidak? Mahasiswa Islam kini telah
turut ambil bagian untuk mencoba membumikan sistem tersebut. Rasulullah mencontohkan
dengan gamblang bagaimana proses berdirinya sebuah negara baru yang
pilar-pilarnya berbasis Al-Qur’an dan Sunnah.
Proses terbentuknya
Negara Islam yang ibukotanya berkedudukan di Madinah benar-benar dilakukan
dengan luwes tanpa pertumpahan darah. Memang prosesnya tidak setenang yang kita
bayangkan, ada ancaman maut di hadapan Rasulullah. Beliau sempat direncanakan akan
dibunuh sesuai dengan kesepakatan “musyawarah” di Dar An-Nadwah yang
dilaksanakan oleh para pembesar Quraisy.
Jika konsep-konsep
nasionalisme dan reformasi -yang tak berdasar ideologi Islam- berujung pada
kegagalan, maka kali ini saatnya gerakan mahasiswa Islam dengan lantang
menyuarakan Revolusi Islam. Revolusi Islam menuju tegaknya syariah Islam secara
kaffah dalam naungan khilafah, yang nantinya akan mewujudkan keadilan,
kesejahteraan dan kebahagiaan dalam keridhaan Allah Ta’ala. Dan yang utama adalah kebahagiaan kita di kehidupan
Akhirat kelak, insya Allah. Wallahu 'alam bisshawab.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 148, April 2015
---