Tahun 2016 adalah
tahun pancaroba, cuaca ekonomi dunia tidak menentu, harga minyak naik-turun,
nilai tukar dolar terhadap mata uang asing naik-turun, harga komoditas beberapa
naik namun sebagian besar turun. Namun pada saat yang sama utang perusahaan global
meningkat. Utang negara-negara juga meningkat. Bunga utang juga meningkat.
"Situasi
pancaroba pada tahun 2016 akan berubah menjadi paceklik pada tahun 2017,”
ungkap pengamat ekonomi dan politik Salamuddin Daeng kepada Media Umat, Ahad
(1/1/2017).
Menghadapi situasi ini
beberapa negara telah melakukan langkah radikal dengan mengevaluasi secara
mendasar kebijakan ekonominya. Inggris -sebagai sebuah kekuatan ekonomi dunia
yang paling berpengaruh- telah melakukan langkah kontroversial yakni keluar dari
Brexit.
”Ini berarti Inggris
sudah tidak lagi terikat kesepakatan perdagangan bebas dengan Uni Eropa dan
tidak ikut terlibat menanggung risiko krisis yang akan dihadapi EU,” ungkapnya.
Sementara Amerika
Serikat sebagai kekuatan ekonomi paling besar di dunia telah memilih Donald
Trump sebagai presiden yang akan membawa negara tersebut dalam kebijakan yang
proteksionisme.
“Donald Trump dalam
berbagai pernyataannya menyatakakan akan melakukan tindakan balasan terhadap
Cina dengan memberi tarif yang tinggi bagi perdagangan Cina di AS dan akan
menarik perusahaan-perusahaan yang menggunakan fasilitas perbankkan AS kembali
ke AS," ungkapnya.
Ekonomi Cina terus
mengalami kemorosotan yang besar, dan terus berlanjut dari pertumbuhan double digit menjadi hanya satu digit.
Pertumbuhan ekonomi Cina tahun 2017 diprediksi hanya 6,5 persen menurut
perkiraan resmi pemerintah. Banyak analis menyebutkan bahwa jika pernyataan
resmi pemerintah demikian maka pertumbuhan yang sebenarnya jauh lebih rendah. Padahal
pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi Cina mencapai 10,61 persen.
“Jika Amerika serikat
melancarkan proteksi kepada Cina maka pertumbuhan ekonomi Cina akan jauh
merosot pada tahun 2017 mendatang,” prediksi Daeng.
Untuk mencapai tingkat
pertumbuhan yang direncanakan maka Cina terus berusaha memburu pasar di luar
Cina baik dalam rangka ekspansi investasi, perdagangan, keuangan, dan tenaga
kerja mereka yang menganggur akibat pelemahan pertumbuhan ekonomi yang besar.
"Itulah mengapa
banyak negara di dunia, khususnya di negara-negara tetangga Cina termasuk ASEAN
mulai mengeluhkan ekspansi tenaga kerja Cina besar-besaran ke dalam negeri
mereka,” terangnya.
Sementara Indonesia,
meskipun pertumbuhan ekonomi mencapai 5,0 persen pada triwulan III tahun 2016,
diprediksikan tidak mampu mengatasi ancaman paceklik. Mengingat pertumbuhan
tersebut paling besar disumbangkan oleh pengeluaran konsumsi (53,8 persen) dan
investasi (31,6 persen). Sehingga keduanya menjadi penggerak utama pertumbuhan
ekonomi Indonesia di triwulan III tahun 2016. "Namun konsumsi maupun
investasi terus mengalami penurunan lantaran melemahnya daya beli masyarakat
dan semakin ketatnya liquiditas global," kata Daeng.
Kondisl makro ekonomi
global yang memburuk dan pelemahan dalam ekonomi Indonesia pada akhirnya akan
berdampak terhadap situasi fiskal nasional yang diperkirakan tidak akan lebih
baik dibandingkan dengan tahun 2016.
Bahkan tahun 2017
kondisi fiskal diperkirakan akan terus memburuk. Selanjutnya penerimaan dari
sektor sumber daya alam terutama migas akan semakin memburuk. Hal ini sebabkan
harga minyak pada tahun 2017 tidak akan jauh berbeda dengan harga sepanjang
tahun 2016.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 188
---