Utak-Atik
Demokrasi
Setiap ada pergantian
pemerintahan di Indonesia, hampir dapat dipastikan akan hadir kebijakan baru
yang berbeda dengan sebelumnya. Terkadang asal beda. Tapi kadang memang
kebijakan itu lahir dari kondisi sebelumnya yang dianggap kurang sempurna.
Tak terkecuali dalam
pemilihan umum. Berapa kali kebijakan pemilu berkali-kali berganti. Di zaman
Orde Baru, banyak kepala daerah ditunjuk langsung oleh presiden. Kemudian
berubah menjadi dipilih oleh DPRD. Memasuki masa reformasi, itu semua dirombak.
Semua dipilih oleh rakyat secara langsung. Dari mulai presiden, gubernur,
hingga bupati/walikota. Cukup sampai di sini? Ternyata tidak. Tahun ini (2015),
pemilihan kepala daerah (Pilkada) dipilih secara langsung dalam waktu serentak
atau istilahnya pilkada serentak.
Mantan Dirjen Otonomi
Daerah Kemendagri Made Suwandi menjelaskan, perubahan itu dimaksudkan dengan
dua alasan. Pertama, untuk efesiensi biaya. Karena kalau pemilihan gubernur,
walikota dan bupati sekaligus jadi orang daftarnya juga sekaligus, pencoblosannya
sekaligus. "Jadi biayanya juga lebih efesien,” katanya.
Alasan kedua,
meminimalisir perbedaan visi misi pemerintah pusat, provinsi dengan kabupaten
kota. Karena sekarang ditengarai visi misi presiden, gubernur, walikota dan
bupati beda-beda. ”Nah, kalau waktunya tidak bersamaan, sulit sekali menyamakan
visi misi mereka, menyamakan program-programnya,” ungkapnya.
Makanya ia menegaskan,
pilkada serentak itu lebih ditujukan pada efesiensi penyelenggaraan. Tidak
menyangkut kapasitas dan kapabilitas calon kepala daerah. ”Tidak ada kaitannya
dengan menyaring calon kepala daerah. Itu tugasnya partai politik,” paparnya.
Tak
Terwujud
Namun belum-belum
pelaksanaan di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya. Suswanta, pengamat
pemerintahan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, mempertanyakan
efektivitas dan efisiennya.
Menurutnya, jika
efektivitas diukur dari tercapainya tujuan pilkada yaitu terpilihnya kepala
daerah yang amanah, profesional, dan pro-rakyat maka data menunjukkan
sebaliknya. Menurut ICW, pada 2014 ada peningkatan jumlah kepala daerah yang
tersangkut korupsi, dari 35 pada 2013 menjadi 47 pada 2014. ”Tidak ada korelasi
positif antara pilkada dengan terpilihnya kepala daerah yang berkualitas,"
jelasnya.
Sejauh ini, menurut
penilainnya, kepala daerah lebih berperan dan berfungsi sebagai wakil partai
dibanding wakil rakyat. Aturan Mahkamah Konstitusi yang melegalkan politik
dinasti dan mantan narapidana boleh menjadi calon semakin membuyarkan keinginan
rakyat untuk memiliki kepala daerah berkualitas. ”Dapat dipastikan, pilkada
serentak hanya menghasilkan politik plutokrasi yakni politik yang menempatkan
orang berkantong tebal dengan kekuatan finansial danjaringan kuat sebagai
pemenang," tandasnya.
Mereka yang terpilih
sebagai calon tidak boleh sembarangan. Syaratnya memiliki logistik yang banyak.
Ini sudah menjadi rahasia umum. Kalaupun ada yang tidak punya logistik atau
minim, mereka hanya akan menjadi penggembira atau calon boneka.
Menurut Suswanta, calon yang terpilih sebagai
kepala daerah akan melakukan perburuan rente dalam jebakan birokrasi negara dan
pemerintahan. Tak heran jika kepala daerah ini tidak memikirkan dan
menghitung perjuangan yang diberikan untuk rakyat, tapi menghitung seberapa
besar uang yang telah dikeluarkan dan yang akan dikorupsi untuk mengembalikan
bahkan menambah biaya politiknya.
Belum lagi dari sisi
keamanan, lanjutnya, pilkada serentak sangat rawan terhadap konflik horisontal.
Apalagi, beberapa partai politik saat ini pun masih mengalami perpecahan. Jika
pemenang hanya memiliki selisih angka sedikit dengan calon kalah, maka akan
muncul konflik yang melibatkan semua elemen baik elite, kelas menengah maupun
akar rumput.
Semua calon hanya siap
menang tapi tidak siap kalah, karena mengingat besarnya biaya politik yang
telah dikeluarkan. Jika konflik berkepanjangan, maka hanya akan mengurus energi
dan mengakibatkan terabaikannya rakyat, seperti kesejahteraan, kenyamanan, keamanan,
dan kesehatan.
Dari sisi efisiensi
keuangan, ternyata anggaran yang dibutuhkan untuk pilkada serentak lebih besar
dibandingkan pilkada langsung lima tahun yang lalu. Wakil Ketua Komisi II DPR
RI dari Lukman Edy menilai anggaran Pilkada serentak pada Desember 2015 ini menyedot
anggaran yang tidak murah. "Bayangan awal kita pilkada secara serentak
menjadi efisien, ternyata biaya menjadi ganda,“ katanya.
Ia mengungkapkan, lima
tahun lalu, pilkada di satu daerah membutuhkan biaya rata-rata Rp5-10 milyar.
Namun sekarang rerata setiap daerah membutuhkan anggaran di sekitar angka
Rp10-15 milyar. Bisa dihitung berapa total biaya untuk 269 daerah.
Dana sebesar itu
hanyalah dana penyelenggaraan. Itu belum termasuk dana yang harus dirogoh dari
paslon yang akan bertanding dalam pilkada serentak. Apakah itu mahar partai,
iklan dan survei politik maupun untuk mengurus sengketa hasil pilkada serentak.
Belum dihitung biaya keamanan bagi daerah yang sulit dijangkau secara geografis
seperti Papua, Maluku, dan Maluku Utara.
”Fakta menunjukkan
bahwa yang akan terjadi justru inefektivitas dan inefisiensi," kata
Suswanta. Menurutnya, melalui eksperimen ini borok demokrasi semakin terbuka
lebar. "Sistem pemilihan kepala daerah dengan biaya, pikiran dan tenaga
yang besar ternyata hanya akan menghasilkan calon koruptor. Ironi!
Mahalnya
Biaya Pilkada
P emerintah
menganggarkan biaya pilkada serentak sebesar Rp7 trilyun. Angka ini
diperuntukkan bagi penyelenggaraan pilkada di 269 daerah, terdiri dari 9
provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten. Jumlah ini baru 53 persen dari jumlah
kepala daerah yang harus dipilih secara langsung.
Seorang pengusaha di
sebuah kota besar di Kalimantan mengungkapkan, modal maju sebagai calon minimal
harus menyiapkan uang Rp35 milyar hingga Rp40 milyar. Angka ini tak terlalu
berlebihan, sebab 10 tahun lalu Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi mengungkapkan
seorang calon kepala daerah membutuhkan puluhan hingga ratusan milyar untuk
bersaing memperebutkan kursi kepala daerah.
Angka itu tak
sebanding dengan gaji yang didapatkan oleh seorang kepala daerah. Tak heran
jika banyak kepala daerah kemudian menjadi terdakwa dan harus meringkuk di
balik jeruji besi karena terlibat kasus korupsi. Tahun lalu Kemendagri mencatat
ada 327 kepala daerah dari total 524 kepala daerah di Indonesia yang terkena
proses hukum. Sebanyak 86 persen di antaranya kasus korupsi.
Inilah mengapa Andi
Azikin, Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan, Pascasarjana Universitas Paramitha
Tangerang mempertanyakan buat apa kepala daerah dipilih rakyat? Soalnya,
setelah berkuasa hanyalah menjalankan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah
pusat. Kepala daerah tidak boleh membuat perda atau kebijakan yang bertentangan
dengan UU yang lebih tinggi dan menyalahi kebijakan pemerintah pusat.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 156, Agustus-September 2015
---