Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

TAKTIK PERANG Gubernur Khilafah Utsmaniyah HASAN KHAIRUDDIN DALAM PENGEPUNGAN SPANYOL



TAKTIK PERANG HASAN KHAIRUDDIN DALAM PENGEPUNGAN SPANYOL

HASAN BIN KHAIRUDDIN berusaha mempergunakan kesempatan kemenangan atas Mustaghanim untuk membersihkan markas Spanyol di Wahran. Kemudian dia bersiap-siap di kota Aljir untuk menghimpun kekuatan baru yang militan dan terorganisir, bersama-sama pasukan Utsmani. Untuk itu dia segera mempersiapkan 10.000 pasukan dari Zawawah. (Harb AI-Tsalatsat Mi'ah Sanah, hlm. 377.) Pada saat yang sama, dia juga mempersiapkan sebuah kekuatan baru dan menempatkan salah seorang panglima dari masa pemerintahan ayahnya. Dia juga berusaha memperoleh dukungan dari penduduk lokal. Langkah yang ditempuhnya adalah dengan menikahi puteri Sultan Kuku bin Al-Qadhi. Pernikahan ini sangat membantu dirinya untuk meminta bantuan kekuatan kepada anak Al-Qadhi, dalam menghadapi kekuatan pemimpin kabilah lain yang bernama Abdul Aziz bin Abbas yang telah mendeklarasikan kemerdekaan di Maghrib. (Tarikh Al-jazair Al-Hadits, hlm. 45.) Dengan taktik itu, armada laut pasukan Utsmani bisa bolak-balik ke Kota Hajar Badis dan Thanjah. (Haqaiq AI-Akhbar 'An Duwal AI-Bihar, hlm. 1/319.)

Hasan bin Khairuddin mengangkat Buyahya Ar-Rayis sebagai panglima di Badis pada tahun 965 H/ 1556 M. Dia pun segera menghancurkan pantai-pantai Spanyol mulai dari Qarthajanah sampai Santa Penoste. Beberapa kapal perang di Badis berada di bawah komandonya. Dia kemudian menggelari dirinya sebagai Sayyid Madhiq Jabal Thariq. Dalam sebuah tulisan yang ditulis Fransisco De Ebaner disebutkan, bahwa Buyahya memiliki empat kapal perang. Kapal yang pertama berada di bawah komandonya. Di atas kapal tersebut terdapat 90 pasukan Utsmani bersenjata panah dan manjaniq. Kapal kedua dikomandani oleh Qurrah Mami dengan membawahi 80 puluh pasukan Utsmani yang dilengkapi senjata yang sama. Kapal ketiga dikomandani Murad Ar-Rayis dengan kekuatan pasukan 70 orang dan kapal keempat memiliki pasukan yang sama dengan kapal ketiga. Selain kapal-kapal di atas yang bergerak melalui perairan selat jabal Thariq, Buyahya juga memiliki kapal perang di Badis. Di tempat itu dibuat kapal-kapal lain. Aktivitas kapal di Badis memiliki hubungan dengan kapal-kapal Tuthwan, Al-'Araiys, dan Sala. di Thuthwan ada tiga kapal kecil, di Al-Araisy ada tiga kapal lainnya seukuran dengan kapal-kapal yang ada di Thuthwan, sedangkan di Sala ada dua kapal dengan bentuk yang lain. Hanya saja kapal-kapal yang terakhir ini tidak berada di bawah kendali Buyahya.

Hasan bin Khairuddin menyerukan agar kapal-kapal perang lslam bergerak cepat dan aktif menghancurkan pelabuhan-pelabuhan di Andalusia dan menguasai kapal-kapal India. Seruan ini telah membuat pedagang Sevilla mengajukan keluhan kepada Raja Spanyol. Mereka mengeluhkan kerusakan yang ditimbulkan kapal-kapal Badis dan kapal-kapal Islam yang lain dalam melawan kapal-kapal Spanyol di perairan jalur bisnis india. (Athwar AI-Alaqaat Al-Maghribiyyah AI-'Utsmaniyyah, hlm.219.) Di sana kapal-kapal para pedagang tidak bisa melintas tanpa melalui ijin Buyahya. Ketakutan pun segera menyebar di pantai-pantai Spanyol. Sampai-sampai, mereka tidak akan pernah bercocok-tanam kecuali dengan ekstra hati-hati. Mengingat seringkali pasukan Utsmani mengepung mereka di saat jam-jam kerja. Demikian pula dengan para nelayan, yang selalu berhubungan dengan pantai. (Tarikh AI-DauIah AI-Sa'diyyah, hlm. 90.)

Taktik Maula Abdullah

Dalam kebijakannya, Maula Abdullah mengikuti jejak ayahnya dengan mengadakan perlawanan dari setiap serangan dan meminta bantuan asing yang merupakan musuh-musuh Utsmani, seperti Spanyol dan Portugis; dengan cara memperbaharui perundingan dan menjaga interaksi damai dengan mereka. Perundingan kesepakatan dengan pasukan Nasrani ini, telah mendorongnya untuk memenuhi berbagai tuntutan yang diajukan negara-negara Eropa, seperti Perancis. Dia menerima duta besarnya, juga mengirimkan surat kepada Pangeran Anthonio De Borbon yang berisi kesediaan Maghrib untuk memenuhi semua tuntutan Perancis. Kemudian Pangeran Anthonio melakukan kesepakatan pada bulan Syawal 966 H/juli 1559 M dengan Maula Abdullah yang menyatakan diri, akan menyerahkan Mursi Kecil sebagai imbalan atas sumbangan senjata dan peralatan perang yang diberikan Perancis, serta pengiriman pasukan khusus Perancis yang akan menjadi pengawal dirinya; setelah dia kehilangan kepercayaan dari pasukan Utsmani yang berakhir dengan terbunuhnya ayah dia, Muhammad Syaikh.

Setelah Perancis melakukan kesepakatan Cato Cambersis pada tanggal 21 Jumadil Ula tahun 966 H/13 April 1559 M yang telah berhasil menghentikan perang Italia, dia kembali mencari taktik baru yang mungkin bisa dijadikan sebagai sandaran tatkala terjadi konflik baru dengan Spanyol. Khususnya setelah Philip ll memiliki pengaruh sangat besar di Eropa. Kesepakatan tersebut telah membantu memberikan pengaruh kepada Spanyol di ltalia dan wilayah-wilayah sekitar yang mengancam Perancis. Maka Perancis melakukan pendekatan dengan negeri-negeri Maghrib yang beragama Islam. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, Perancis melihat bahwa di Maghrib terdapat satu sekutu yang mungkin bisa diandalkan, sebagaimana ia juga melihat bahwa Pelabuhan Istana Kecil bernilai strategis, karena jaraknya hanya beberapa kilomerter dari jabal Thariq (sebuah wilayah strategis yang sangat mungkin dijadikan tempat untuk menyerang Spanyol).

Mungkin inilah alasan yang membuat pemerintahan Utsmani tidak merespon positif kesepakatan tersebut, sebab pemerintahan Utsmani berkeinginan menjadikan Perancis sebagai mediator ke orang-orang Sa'di. Tujuan Perancis dan pemerintahan Utsmani adalah satu, walaupun berbeda dilihat dari segi akidah. Perancis hendak menyerang Spanyol dengan tujuan merealisasikan adidaya militernya, agar dia menjadi penguasa tunggal di Laut Tengah. Sedangkan pemerintahan Utsmani bertujuan untuk menolong kaum muslimin dari kejahatan Spanyol, kemudian mengambil kembali tanah-tanah Islam di Andalusia. Maka Hasan bin Khairuddin pada tahun 966 H/ 1559 M mengalihkan pandangannya dan segera bergerak bersama pasukannya ke wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Banu Abbas Abdul Aziz. Segera dia berhasil menguasai Masila dan bentengnya. Dia membangun sebuah bangunan pengintai di tempat tersebut, untuk mengokohkan eksistensi Utsmani yang dikawal 400 pasukan penjaga. Setelah itu Hasan bin Khairuddin kembali menuju wilayah Hamzah di ujung Barbarah. Di tempat itu, penguasa Bani Abbas melakukan penyerangan terhadap benteng Utsmani, hingga meletus pertempuran yang berakhir dengan kematian Abdul Aziz bin Abbas.
Ia kemudian digantikan Ahmad Maqran yang menjadi penguasa di wilayah-wilayah Kuku. Hasan bin Khairuddin mengakuinya. (Tarikh Al-Daulat Al-Sa'diyyah, hlm.87-88.)

Usaha-usaha untuk mengganggu perdagangan pedagang-pedagang Nasrani semakin gencar dilakukan, terutama di pesisir-pesisir Tunisia dan Aljazair, dengan cara mencegat kapal-kapal Nasrani yang melewatinya. Kekuatan-kekuatan militer darat dan armada laut juga dikirim dari pelabuhan itu untuk membantu Sultan di Timur. (Tarikh Al-Jazair AI-'Aam, hlm. 3/91.)

Armada Laut Utsmani Menyerang Pulau Jarhah di Tunisia

Armada Utsmani di bawah komando Babali Pasya melakukan serangan ke pulau jarbah pada bulan Ramadhan tahun 967 H/Mei 1560 M. Armada ini mampu merealisasikan tujuan-tujuannya dalam melawan tentara Spanyol (Juhud AI-Utsmaniyyin, hlm.384.) yang kebingungan menemukan cara untuk meminta bantuan pasukan Perancis. (Juhud AI-Utsmaniyyin, hlm.384.) Setelah itu, seharusnya Babali Pasya melakukan serangan-serangan dadakan ke Laut Tengah, sebelum dia kembali ke Istanbul. Namun Darghut Pasya yang sebelumnya telah mendapat tekanan demikian keras dari para pemberontak di negerinya, berhasil meyakinkan Babali Pasya untuk berangkat menuju Tripoli dalam rangka membantu dirinya mengikis para pemberontak di dekat Tajura'. Babali Pasya sampai ke Tripoli dan disambut laksana pahlawan yang menang perang. Sementara itu kapal-kapal Utsmani memasuki kota Tripoli, dihiasi dengan bendera dan umbul-umbul yang berhasil dirampas dari musuh-musuh, setelah panji-panji musuh itu dilipat di atas tiang-tiang kapal. Babali Pasya tinggal di Tripoli beberapa hari. Namun demikian singgahnya dia dalam hitungan hari itu telah cukup untuk membuat penduduk Tajura' menyerah. Setelah itu barulah dia bertolak menuju ibukota negerinya. (Libya Mundzu AI-Fath Al-'Arabi, Anwari Rusi, hlm. 190.)

Penangkapan Hasan Khairuddin

Hasan bin Khairuddin terus melakukan persiapan-persiapan untuk menggempur wilayah Maghrib. Maka dia mulai membentuk kekuatan yang terdiri dari pemuka-pemuka kabilah. Dia berniat untuk mewakilkan penjagaan Aljir kepada mereka, saat ia tidak ada di kota tersebut. Dia sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada pasukan lnkisyariyah.

Pasukan lnkisyariyah mencium adanya bahaya, segera menangkap Hasan bin Khairuddin dan para pembantunya pada musim panas tahun 969 H/ 1561 M. Mereka segera dikirimkan ke lstanbul dengan tangan terikat. Hasan bin Khairuddin dikawal sejumlah perwira. Mereka bertugas untuk memberikan penjelasan kepada Sultan, tentang sebab-sebab yang membuat mereka melakukan itu semua. Tuduhannya adalah bahwa Hasan bin Khairuddin berniat menyingkirkan pasukan khusus Turki (Wajaq) dengan cara mengangkat orang-orang lokal. Tujuannya untuk memerdekakan diri dari pemerintahan Sultan Utsmani. Namun Sultan segera mengirimkan Ahmad Pasya disertai kekuatan laut untuk memberi pelajaran pada kaum pemberontak, dan memadamkan kerusuhan di sana. Ahmad Pasya berhasil menangkap para pemimpin pemberontak dan kemudian mengirimnya ke Istanbul. (Tarikh AI-jazair Al-Hadits, hlm . 46.)

Kembalinya Hasan bin Khairuddin ke Aljazair

Sultan Utsmani Sulaiman Qanuni mengembalikan Hasan bin Khairuddin sebagai penguasa Aljazair untuk kedua kalinya pada akhir tahun 970 H / 1562 M., yang diiringi dengan sepuluh kapal perang dengan perbekalan militer bersenjata. (Tarikh AI-jazair AI-'Aam, hlm. 3/93.) Hasan bin Khairuddin sempat berbenah selama lima bulan setelah kembalinya dari lstanbul untuk bersiap-siap menyerang Wahran dan Marsi Besar. Dua kota ini adalah tempat di mana pasukan Spanyol masih bercokol di sana. (Harb AI-Tsalatsah Mi'ah Sanah, hlm. 379.)

Hasan bin Khairuddin berangkat dari kota Aljir (Algeria) pada tahun 971 H/ 1563 M menuju sebelah barat. Dia memimpin sebuah pasukan sangat besar berjumlah 15.000 personil para penembak dan seribu pasukan kuda yang dipimpin oleh Ahmad Maqran Az-Zawawi, serta 12.000 pasukan dari Zawawah dan Bani Abbas. Sedangkan perlengkapan logistik dibawa pasukan Utsmani ke kota Mustaghnim yang dijadikan sebagai pangkalan perang untuk operasi militer. Pada tanggal 13 April, Hasan bin Khairuddin dengan semua kekuatannya tiba di depan Kota Wahran, lalu melakukan pengepungan atas kota itu. Sedangkan pasukan Spanyol telah siap sedia melakukan perlawanan dari balik benteng pertahanan mereka. (Harb AI-Tsalatsah Mi'ah Sanah, hlm. 379.) Setelah datangnya berbagai bantuan yang beruntun dari pasukan Spanyol dan Perancis ke Wahran, sebagai respon terhadap permintaan penguasanya, maka Hasan bin Khairuddin terpaksa mengakhiri pengepungan itu sebelum bantuan-bantuan lain datang lebih banyak dari Malta yang merupakan pusat pengumpulan bantuan. (Athwar AI-Alaqaat AI-Maghribiyyah AI-'Utsmaniyyah, hlm. 213)

Demikianlah, Hasan bin Khairuddin tidak mampu merealisasikan maksudnya, karena Philip ll telah menyusun sebuah rencana ambisius dengan membangun armada militer Spanyol yang kuat, dan membangun pangkalan-pangkalan laut di pelabuhan Italia dan Catalonia. Sementara bantuan ke gudang makanan Spanyol datang dari pihak Kepausan. Dewan legislatif di Castilla berkumpul dalam sebuah pertemuan luar biasa untuk memutuskan memberi bantuan kepada Spanyol dalam bentuk harta benda, dalam rangka menghadapi pasukan Utsmani. Inilah yang membuat pemerintahan Spanyol menjadi kuat dan membuat pasukan Utsmani tidak mampu menaklukkan Wahran pada tahun 971 H/1563M.

Philip II mulai melakukan persiapan untuk menduduki Badis. Kemenangan yang dicapai di Wahran mendorongnya untuk melebarkan sayap. Maka pada tahun yang sama 971 H/ 1563 M, Philip ll mengirimkan armadanya ke Badis dan mendapat perlawanan sengit dari pasukan mujahidin. Perlawanan ini telah memaksa pasukan Spanyol menarik mundur pasukannya dari Badis. (Juhud Al-Utsmaniyyin, hlm. 389.) Perlu disebutkan di sini adalah, bahwa Pulau Badis adalah titik wilayah Maghrib yang paling dekat ke jabal Thariq. Bagi kaum mujahidin, Badis dianggap sebagai pelabuhan yang sangat penting. (Tarikh AI-Daulat AI-Sa'diyyah, Abdul Karim Karim, hlm. 36.) Dari pelabuhan ini mereka bisa menyeberang menuju Andalusia, sebagaimana sangat mungkin bagi mereka untuk melakukan penyusupan ke Wilayah-wilayah Spanyol, dalam rangka memberikan bantuan kepada kaum muslimin di wilayah itu (yang saat itu menyebut diri mereka sebagai orang-orang asing di Andalusia).

Inilah yang mendorong pasukan Spanyol melakukan serangan ke Badis sejak beberapa waktu sebelumnya. Pada saat yang sama, Badis menjadi sumber ketakutan bagi Sultan Sa'di Al-Ghalib Billah. Sebab Sultan sangat khawatir, Badis menjadi titik tolak armada Utsmani menuju Maghrib. Maka dia pun melakukan kesepakatan dengan Spanyol dengan membiarkan pulau Badis menjadi milik Spanyol dan menjualnya kepada mereka, serta mengosongkannya dari kaum muslimin. Maka terputuslah armada Utsmani di tempat itu. (Tarikh AI-Daulat AI-Sa’diyyah, penulis tidak menyebut nama, hlm. 89.) Sebagai gantinya, mereka melakukan serangan pesisir barat, karena telah mengetahui adanya konspirasi. Dan mereka pun menarik diri dan kembali Aljir. (Tarikh Al-Maghrib, Muhammad bin 'Abud, hlm. 17.) Pada akhir tahun itu juga, Buyahya diturunkan dari kedudukannya dan pasukan Utsmani segera meninggalkan peperangan di bagian Barat Laut Tengah dan bergerak ke pulau Malta di bagian Timur. (Athwar Al-'Alaqaat AI-Maghribiyyah Al-'Utsmaniyyah, hlm, 190-191.)

Perebutan Pulau Malta

Sultan Utsmani Sulaiman Qanuni berkeinginan kuat untuk menaklukkan Malta yang merupakan benteng pertahanan terbesar pasukan Nasrani di tengah-tengah Laut Tengah, di mana sebelumnya pasukan kuda Kardinal Johannes pernah berada. Maka Sultan segera mengirim armadanya yang dipimpin langsung oleh Babali Pasya, sebagaimana dia meminta kepada Darghuts Rayis, penguasa Tripoli dan jarbah, juga Hasan bin Khairuddin dan pasukan lautnya, untuk segera bergabung dengan armada Utsmani dalam operasi perang di Malta, sebagai persiapan untuk merebut kembali benteng-benteng Islam yang lain. Maka berangkatlah Hasan Khairuddin dengan membawa 25 kapal yang memuat 3000 personil. Armada Islam sampai di Malta pada tanggal 18 Mei dan langsung melakukan pengepungan. Pengepungan berlangsung sangat ketat, yang memaksa pasukan Nasrani meminta bantuan pasukan dan armada untuk melawan mujahidin. Bantuan Nasrani tiba dipimpin oleh Wakil Raja Sicilia dengan membawa kekuatan 28 kapal perang dan jumlah personil yang sangat banyak. Berkecamuklah perang sengit antara dua pihak. Bantuan yang demikian banyak, membuat pasukan Islam harus menarik diri pada tanggal 18 Rabiul Awal 973 H/8 Desember 1565 M. (Harb Tsalatsa Mi'ah Sanah, hlm. 383.)

Hasan Khairuddin Barbarosa Menjadi Panglima Armada Utsmani

Sultan Sulaiman Qanuni pengganti Sultan Salim telah mengangkat Hasan bin Khairuddin sebagai panglima umum armada laut pasukan Utsmani. Khairuddin dinobatkan di Istanbul pada tahun 975 H/1567 M. (Harb Tsalatsa Mi'ah Sanah, hlm. 385.) Sedangkan yang menjadi penguasa Aljazair setelah Hasan bin Khairuddin adalah Muhammad bin Saleh Rayis sejak bulan Dzulhijjah 973 H/juni 1567 M. Pada tahun itu terjadi wabah penyakit dan kelaparan yang sangat hebat, disertai pembangkangan tentara Utsmani dan pemberontakan rakyat. Kondisi ini memaksa penguasa baru Muhammad bin Saleh Rayis mau tidak mau harus meluangkan waktunya untuk memberi pelayanan kepada rakyatnya yang terkena wabah dan memadamkan api pemberontakan. Dan yang sangat mengejutkan adalah, datangnya pemberontakan dari penguasa Tunisia yang banyak terpengaruh ide-ide kaum Hafashin. Namun pemberontakan ini mampu segera dipadamkan. Dia dipecat dari posisinya dan segera digantikan oleh Ramadhan Tasyulaq. Pada bulan Rabiul Awal tahun 975 H/1S67 M., Spanyol menyerang kota Aljir. Namun mereka harus lari terbirit-birit. Masa pemerintahan Muhammad bin Saleh Rayis tidak berlangsung lama, karena dia harus dipindahkan ke wilayah lain. (Tarikh AI-jazair AI-'Aam, hlm. 3 / 93-94.)

Qalj Ali Menjadi Penguasa Aljazair

Setelah kepindahan Muhammad bin Saleh Rayis, tampuk pemerintahan Aljazair diserahkan pada Qalj Ali pada tanggal 14 Shafar 976 H / 8 Agustus 1568 M. Dia dikenal sebagai sosok yang sangat terampil mengatur pemerintahan, dan sekaligus sosok yang sangat kuat, ksatria, dan pemberani dalam peperangan. (Tarikh AI-Jazair AI-'Aam, hlm. 3/95.)

Qalj melakukan satu langkah yang sangat berbahaya, yakni melakukan operasi pengembalian pemerintahan Islam di Spanyol dan memerdekakan wilayah Afrika Utara dari cengkeraman orang-orang Nasrani. Maka dia pun memfokuskan perhatian kepada armada laut. Apa yang dia lakukan telah menimbulkan rasa takut yang demikian mendera bangsa Eropa. (Tarikh AI-Afriqiya AI-Syamaliyah, Charles Golian, hlm. 3 / 346.) Langkah yang juga tidak kalah berbahayanya adalah, penghapusan hak monopoli mutiara dari tangan Perancis di Qalah, karena mereka selalu menunda-nunda pembayaran pajak selama tiga tahun, serta tindakan mereka yang arogan bagaikan tindakan penguasa dan tuan-tuan. (Al-Maghrib AI-'Arabi AI-Kabiir, Syauqi Al-Jamal, hlm. 100.)

Tunisia Kembali Berada di Bawah Pemerintahan Aljazair

Qalj Ali bertekad untuk membersihkan basis-basis pasukan Spanyol di Tunisia sebelum memulai langkahnya di kepulauan Iberia. (Al-Maghrib AI-'Arabi AI-Kabir, jalal Yahya, hlm. 84.) Ini dia lakukan untuk mempertahankan Tripoli dan Aljazair. Sedangkan Spanyol, saat itu telah menjadikan Tunisia sebagai titik sentral dan titik-tolak penyerangan terhadap pasukan Utsmani di Tripoli dan Aljazair. (AI-Atrak AI-'Utsmaniyun fi SyamaIi Afriqa, 'Aziz Samih, hlm. 84.) Oleh sebab itu wajib diambil langkah-langkah pengamanannya....



Referensi: Bangkit Dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi
-----





KEBIJAKAN PEMERINTAHAN Gubernur Khilafah Utsmaniyah SALEH RAYIS



KEBIJAKAN PEMERINTAHAN SALEH RAYIS

DALAM melakukan kebijakan di negeri Aljazair, Saleh Rayis berusaha untuk merealisasikan dua hal: Pertama, merealisasikan kesatuan secara umum antara wilayah-wilayah yang ada di Aljazair. Kedua, memasukkan sisa-sisa gurun di Aljazair sebagai bagian dari kesatuan, sehingga dia bisa memusatkan diri untuk Andalusia.

Sedangkan dalam kebijakan luar negerinya, dia menginginkan terwujudnya tiga hal: (1) Mengusir Spanyol untuk selama-lamanya dari Aljazair; [2] Meletakkan batasan yang pasti agar tidak ada serangan mendadak yang dilakukan oleh pemerintahan Maghrib (Maroko) pimpinan Al-Sa'di; (3) Mengumumkan jihad umum lewat darat dan laut dengan cara memimpin pasukan Islam untuk merebut negeri Andalusia. (Juhud AI-Utsmaniyyun Li Inqadzi Al-Andalus, Dr. Nabil Abdul Hayy, hlm. 366.)

Saleh Rayis memulai awal pemerintahannya dengan melakukan konsolidasi internal. Dia mampu menundukkan kerajaan-kerajaan kecil berkat pengaruh pemerintahan Utsmani. Dengan demikian, posisi pemerintahan Utsmani menjadi lebih kuat dari masa-masa sebelumnya. Setelah itu Saleh Rayis memulai perjalanannya menuju wilayah Maghrib paling barat. Perjalanannya ini diuntungkan dengan kondisi yang sedang berkembang di dalam negeri. Dia bekerja sama dengan salah seorang keluarga Bani Waththas yang sedang kehilangan harapan dalam menghadapi pendudukan Spanyol.

Maka bergeraklah pasukan Utsmani bersama Abi Hasun Al-Waththasi dan terjadilah benturan kekuatan antara pasukan Muhammad Syaikh Al-Sa'di dengan pemerintahan Utsmani di dekat Badis (lokasi pendaratan armada Utsmani), dan kekalahan berada di pihak Al Sa'di. Dengan ini, maka terbukalah kesempatan bagi kekuatan Utsmani untuk melanjutkan serangan ke jantung kota. Sebelum tahun 963 H / 1553 M, kota Tazah telah jatuh ke tangan pemerintahan Utsmani yang saat itu sedang terlibat perang dengan pasukan Al Sa'di dalam sebuah peperangan terus-menerus. Di antaranya dalam sebuah peperangan paling besar di Kadiyah Al-Makhali di Fas, tatkala pasukan Utsmani yang dibarengi oleh Abu Hasun maju menuju Fas yang kemudian berhasil masuk pada tanggal 3 bulan Shafar tahun 964 H/ 8 januari 1554 M. (AI-Maghrib fi ’Ahdi Al-Daulat Al-Sa’diyyah, hlm. 80-81.) Sejak saat itulah Maghrib resmi menjadi bagian dari pemerintahan Utsmani, imam-imam masjid mengucapkan khutbahnya dengan menyebut-nyebut nama Sultan Utsmani. (Bidayat Al-Hukm Al-Maghribi fis Sudan AI-Gharbi, hlm. 91.)

Kejadian ini semakin menambah kerisauan pasukan Portugis dan Spanyol, karena mereka melihat armada-armada Utsmani telah menguasai sebagian pelabuhan-pelabuhan yang berada di wilayah Maghrib yang berdekatan dengan pusat-pusat pendudukan mereka. Itu artinya, mereka sudah dekat menuju Andalusia. Dalam surat yang dikirim Raja Portugis jean III kepada Kaisar Charles V, bisa kita baca bagaimana ketakutan itu merayap di tubuh mereka. Dia menulis surat, agar Kaisar segera melakukan intervensi di Maghrib dengan tujuan untuk menghadang lajunya pasukan Utsmani ke negeri itu. Sebab kedatangan mereka merupakan ancaman besar terhadap kekuasaan Portugis dan Spanyol. (AI-Maghrib fi ’Ahdi Al-Daulat Al-Sa’diyyah, hlm. 81.)

Saleh Rayis tinggal di Kota Fas selama empat bulan. Dalam masa tinggalnya selama itu, dia menjamin kemantapan kedudukan pemerintahan Utsmani di tempat itu. Selama di sana dia tidak meninggalkan jihad melawan orang-orang Spanyol. Dia mengirimkan sekelompok pasukan ke pedusunan Maghrib dan berhasil mengambil-alih benteng Badis (Falin) dari tangan pasukan Spanyol. (Harb Tsalatsa Mi 'ah Sanah, hlm. 342.) Selain itu, Saleh Rayis juga berupaya menggantikan Buhasun dengan Syarif Al-Idrisi Al-Rasyidi Maulana Bukabar untuk menjalankan roda pemerintahan di bawah pemerintahan Utsmani, sesuai permintaan kelompok Sufi. Namun pemberontakan sipil memaksa Saleh Rayis mengembalikan Buhasun ke kursi pemerintahan. Pada saat itu, dia menekankan pada Buhasun untuk memenuhi persyaratan pemerintahan Utsmani dalam menjaga wilayah kekuasaan dengan cara mengumandangkan khutbah dengan menyebutkan Sultan Utsmani, serta memberikan tempat bagi tentara Utsmani di Bilathah. (Athwar Al-Alaqah AI-Maghribiyya fi AI-Utsmaniyyah, lbrahim Syahathah, hlm. 147.)

Persiapan Bersama untuk Merebut Andalusia

Tak ada yang menjadi fokus utama Saleh Rayis, kecuali untuk memerangi Spanyol. Tidak ada tujuan yang lebih menjadi prioritasnya, kecuali menghimpun kekuatan Islam demi membersihkan negerinya dari keberadaan pasukan Nasrani. Dia melihat bahwa pengusiran orang-orang Spanyol dari Wahran akan menjadi pekerjaan pertama kali, sebelum dia turun ke Andalusia. Namun bagaimana semua itu bisa tercapai, sedangkan Sultan Sa'di di Maghrib selalu mencari-cari celah menyerang? Demikian juga dengan Sultan Qal'ah Bani Abbas yang berada di Bajayah sedang mendeklarasikan kemerdekaannya.

Saat itu datang kabar kepada Saleh Rayis tentang lemahnya kekuatan pemerintahan Spanyol di Kota Bajayah, selain karena tentara mereka juga mendapat tekanan dan ruang geraknya semakin sempit. Saleh Rayis melihat ini sebagai peluang, maka dia segera melakukan pembersihan di wilayah Timur dari orang-orang Spanyol, sebelum dia membersihkan wilayah bagian Barat. Dengan harapan bahwa pembersihan wilayah Timur akan memiliki dampak mengembalikan Raja Bajayah ke dalam lingkungan kesatuan Islam. Di bawah tekanan penduduk, Saleh Rayis berangkat menuju kota Bajayah pada bulan Rabiul Awal 963 H/Januari 1555 M. Dia membawa pasukan dalam jumlah besar yang terdiri dari 30.000 pasukan. Di tengah perjalanan mereka mendapat bantuan dari mujahidin yang datang dari Emirat Kuku. Maka pasukan Utsmani semakin kuat dan mereka segera mengepung kota. Pada saat itu pula pasukan Utsmani datang membawa senjata dan meriam. Sementara itu kaum muslimin terus-menerus melayangkan lontaran-lontaran peluru meriam ke benteng. (Harb Tsalatsa Mi'ah Sanah, hlm. 344.) Maka berkecemuklah peperangan yang sangat sengit dan berakhir dengan keberhasilan Saleh Rayis mengambil alih Bajayah dari Spanyol pada bulan Dzul-Qa'dah tahun 963 H / September 1555 M. Penguasa Napoli (italia) tidak mampu menolong penguasa Bajayah tepat pada waktunya, (Tarikh Al-jazair AI-Hadits, Muhammad Khairu Fans, hlm. 41) sedangkan penguasa Spanyol di sana menyerah kepada kekuatan Utsmani. (Tarikh AI-jazair AI-'Aam (3/88).)

Terbunuhnya Buhasun AI-Waththasi

Buhasun menghadapi persaingan keras Muhammad Syaikh As-Sa'di yang telah mengumpulkan kekuatan dari Sus dan Hauz. Kemudian datang bala tentaranya sampai ke perairan Ahwaz Fas. (Tarikh Afriqa aI-Syamaliyyah, Charles Golian (1 / 344).) Setelah penarikan pasukan Utsmani, Buhasun telah mempersiapkan pasukan dan alat-alat perang selama 8 bulan. Setelah itu, dia memerintahkan pasukannya keluar untuk berhadapan dengan Muhammad Syaikh dan sampai di Marakisy. Tatkala kedua pasukan telah berhadap-hadapan terjadilah peperangan yang sangat sengit antara keduanya. Dalam perang itu Buhasun mampu mengalahkan pasukan Sa'di dengan kekalahan yang sangat memedihkan, hingga mereka harus lintangpukang kembali ke tempat semula.

Setelah itu Buhasun mengirimkan seseorang kepada Muhammad Syaikh dan berkata: "Keluarlah engkau dan anak-anakmu untuk menemuiku, sedangkan aku akan keluar sendiri kepadamu, dan kita biarkan kaum muslimin tidak terlibat dalam peperangan." Maka muncullah Muhammad dan dia kembali menemui orangtuanya dan enam saudaranya. Mereka semua datang mengeroyok Buhasun yang sendirian. Kemudian Buhasun berusaha mengusir mereka, hingga dia terlempar dari pelana kudanya. Saat terjatuh itulah, Buhasun ditusuk oleh Muhammad dan saudara-saudaranya. Kepalanya kemudian dipenggal, lalu dibawa kepada hadapan pasukannya. Maka seketika itu menyerahlah pasukan Buhasun tanpa melalui peperangan, dan Muhammad Syaikh mengambil alih Fas. (Tarikh AI-Daulat AI-Sa'diyyah, pengarangnya tidak menyebutkan nama, hlm. 20-21.)

Demikianlah Buhasun meninggal setelah 9 bulan menjabat kembali sebagai Penguasa Fas. Walaupun dengan kematiannya hilang kesempatan untuk mendeklarasikan kekuasaan pemerintahan Utsmani di Fas, namun peristiwa-peristiwa ini menunjukkan masih ada peluang sangat luas bagi pemerintahan Utsmani untuk menerapkan perang lokal di wilayah Maghrib. Apalagi Muhammad Syaikh Sa'di dengan mengibarkan pembersihan terhadap pasukan Utsmani di negeri-negeri Maghrib, telah membunuh lebih dari 200 orang-orang terkemuka di Fas dan utamanya dua orang fakih yang sangat terkenal, seorang hakim bernama Wali Muhammad Abdul Wahhab Az-Zaqqaq, dan seorang khatib bernama Wali Al-Hasan Ali. (Athwar AI-'Alaqaat Al-Maghribiyyah, hlm. 147.)



Referensi: Bangkit Dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi
-----





Kerusakan Negara Sistem Republik



"Sering tidak disadari orang, bahwa demokrasi itu tidak pernah bisa mewujudkan idealismenya, tidak pernah murni berjalan sebagaimana teorinya. Kegagalan ini bukan semata karena kesalahan dari pelaku demokrasi yang menyimpang dari demokrasi ideal, melainkan karena sistem demokrasi memang cacat permanen. Demokrasi selalu bisa diperalat dan dicurangi sehingga demokrasi yang ideal itu mustahil diwujudkan. Memperjuangkan tegaknya Islam kaaffah melalui demokrasi juga pasti menemui kegagalan karena selalu bisa diakali, dicurangi, dizalimi, dipermainkan, ditipu, dan diakali dan dikadali."

Dalam sistem republik kedaulatan berada di tangan rakyat sedangkan dalam Islam kedaulatan berada pada pembuat syariah, yaitu ada pada Allah SWT,
sistem republik menetapkan keputusan berdasarkan suara terbanyak terlepas sesuai Islam atau tidak, sedangkan menurut Islam keputusan diambil berdasarkan istinbat dalil syariah.
tolok ukur keputusan dan perbuatan dalam sistem republik bersandar kepada azas manfaat sedangkan dalam Islam bersandar pada kaidah halal-haram syariah.
dalam sistem republik memilih pemimpin adalah untuk melaksanakan hukum buatan manusia sedangkan dalam Islam pemimpin dipilih untuk menjalankan hukum-hukum Allah SWT.

dalam sistem republik aturan Allah SWT hanya diperlukan untuk urusan kelahiran, pernikahan, aqiqah dan kematian, sementara dalam urusan kehidupan publik aturan Allah SWT disingkirkan. Justru manusia membuat peraturan tandingan yang bertentangan dengan ketetapan Allah SWT.

Secara prosedural, sistem republik di Indonesia dengan rangkaian Pemilu dan Pemilukada berbiaya sangat tinggi, sehingga ketika sang terpilih berkuasa, dia atau “investor”-nya akan mati-matian berusaha agar modal kembali dan meraup laba. Ini akan memicu korupsi baik secara langsung (korupsi APBN/APBD atau menerima gratifikasi dari rekanan) atau secara tak langsung melalui pembuatan peraturan yang tampak sah secara hukum namun menguntungkan dirinya, keluarganya, kroninya, atau investor baik domestik maupun asing.

Karena hanya mendapat kontrak lima tahunan, politisipun hanya berpikir bahwa dalam lima tahun itu dia harus menghasilkan “QuickWin”, yakni suatu kebijakan yang populis, maksudnya yang hasilnya dapat cepat dirasakan rakyat. Jarang sekali politisi dalam sistem republik berani mengambil kebijakan yang visioner, yakni yang mendasar dan berjangka panjang, yang justru baru akan dipanen atau dinikmati oleh penggantinya,

Demokrasi dengan one-man one-vote (setiap orang satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah. Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan. Yang termudah adalah dengan menjual “sesuatu” yang gampang diterima oleh massa. Kadang sesuatu itu masih dapat berupa gagasan (misalnya “sembako murah” atau citra “bersih”), kadang berupa public-figure seperti da’i kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang populer, dan yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik seperti bantuan uang atau materi lainnya. Semua hal mudah ini jelas berakibat semakin menjauh dari syariah Islam. Para pemilih bahkan tim sukses pun tidak lagi melihat ideologi atau visi partai yang umumnya terlalu abstrak di benak mereka. Mereka terpaku pada yang “gampang diterima massa”.

dalam sistem republik, proses pengambilan pendapat tidak dipilah, antara mana pendapat yang masuk wilayah qawânîn tasyrî’iyyah, dan mana yang masuk wilayah qawânîn ijrâ’iyyah. Semuanya diputuskan berdasarkan suara mayoritas. Adapun dalam sistem Islam, pendapat yang masuk wilayah qawânîn tasyrî’iyyah diambil berdasarkan mana pendapat yang paling kuat dalil-dalilnya, tanpa melihat apakah pendapat tersebut didukung oleh suara mayoritas atau tidak. Selain itu, satu-satunya yang berhak menyusun dan mengundang-undangkan bukanlah parlemen, tetapi kepala negara (Khalifah). Ini juga berlaku dalam qawânîn ijrâ’iyyah.
Karena itu, bisa dikatakan, bahwa semua perundang-undangan yang dihasilkan oleh sistem republik ini sejatinya bertentangan dengan sistem Islam, karena beberapa alasan. Pertama: dari aspek sumber perundang-undangan (mashâdir tasyrî’). UU yang dihasilkan oleh sistem republik jelas tidak menjadikan Islam sebagai sumbernya. Di Indonesia, misalnya, UU yang dihasilkan harus bersumber dari UU yang lebih tinggi, dan tidak boleh bertentangan dengannya, seperti UUD 45 dan Pancasila. Karena itu, sekalipun UU tersebut diklaim bersumber dari syariah, ketika UU tersebut diterima, alasannya bukan karena kesesuaiannya dengan syariah, melainkan karena tidak bertentangan dengan UU di atasnya, atau bertentangan dengan sumber perundang-undangan yang ada.
UU yang lahir dalam sistem republik jelas prosesnya berbeda dengan UU yang lahir dari sistem Islam. Di dalam sistem republik, semua UU digodok dan dihasilkan berdasarkan suara mayoritas. Ini jelas berbeda dengan Islam

Publik tidak bisa lagi membantah bahwa korupsi menjadi-jadi dalam sistem republik. Ini bukan tudingan kosong tanpa bukti. Selain akibat sanksi pidana yang terbilang ringan (sebagai catatan, Angelina Sondakh yang menilep uang negara sebanyak 14,5 miliar hanya dihukum 4,5 tahun), korupsi di alam sistem republik diakibatkan oleh sistem republik yang memang berbiaya tinggi. Apalagi setelah muncul kebijakan Pilkada.
calon kepala daerah banyak yang bergerilya mencari dana kampanye. Dana itu bisa didapat dengan dua cara. Pertama: melalui sumbangan anggota mereka yang duduk di legislatif. Ini akan memaksa anggota dewan menggelembungkan pundi-pundi kekayaan mereka dengan cara ilegal seperti korupsi, fee proyek atau mark up proyek, dsb. demi membiayai Pilkada jago dari parpol mereka.
Kedua: menerima sumbangan dari broker-broker politik yang menginvestasikan uang mereka dalam Pilkada kepada calon-calon kepala daerah. Saat sang calon menjabat kepala daerah, mereka akhirnya terjerat rente dalam jumlah besar. Akhirnya, mereka tunduk pada kemauan para broker tersebut untuk memuluskan proyek-proyek bisnis mereka.

Lobi politik, suap dan korupsi adalah modus sama di setiap negara sistem republik. Amerika Serikat yang sudah menerapkan sistem republik selama lebih 200 tahun lebih dulu berada dalam pengaruh lobi para pengusaha kakap ataupun kelompok-kelompok lain yang berpengaruh. Akan tetapi, lobi, suap dan korupsi yang dilakukan pengusaha dan penguasa AS dilakukan dengan halus dan tak tampak oleh kebanyakan orang, bahkan legal.
perjalanan sejarah membuktikan bahwa sistem republik hanyalah mainan bagi parpol dan kaum kapitalis.
Pada tahun 2010, industri tembakau menghabiskan dana sebesar 16.6 juta US$ untuk melobi Kongres. Industri rokok raksasa seperti Philip Morris, R. J. Reynolds Tobacco Company, and Lorillard Tobacco Co mempelopori lobi tersebut. Mereka bahkan ikut mensponsori regulasi tembakau di AS. Sebagian dari dana itu dipakai anggota Kongres dalam Pemilu mereka. Tujuannya agar pemerintah tidak terlalu ketat dalam menerapkan regulasi tembakau.

Kalau kedaulatan dikatakan ada di tangan rakyat, artinya kewenangan tertinggi untuk menetapkan hukum ada di tangan manusia. Ini jelas sekali bertentangan dengan Islam, karena dalam Islam yang berhak menetapkan hukum bukan manusia, melainkan hanyalah Allah saja. Ingat firman Allah: In al-hukmu illa lilLah (QS al-An’am [6]: 57). Jadi dalam Islam, kedaulatan bukan di tangan rakyat, tetapi di tangan syariah, karena syariah itu adalah wujud konkret dari hak Allah membuat hukum.

Dalam sistem republik, kriterianya adalah suara mayoritas untuk semua persoalan. Dalam Islam, kriterianya tidak selalu suara mayoritas. Untuk persoalan-persoalan teknis sederhana yang hukumnya mubah, kriterianya memang suara mayoritas. Namun, dalam persoalan-persoalan normatif yang menyangkut hukum, kriterianya bukan suara mayoritas, melainkan dalil syar’i, yakni mana dalil-dalil syar’i yang paling kuat. Untuk persoalan-persoalan strategis yang memerlukan keahlian, kriterianya juga bukan suara mayoritas, melainkan pendapat yang paling benar, yang datang dari para ahlinya.

jika sistem republik berpotensi menimbulkan bahaya berupa dominasi non-Muslim atau orang rusak, ini berarti, sistem republik telah menjadi sarana (wasilah) pada sesuatu yang haram, yaitu munculnya bahaya. Jadi, kaidah fikih yang relevan untuk menghukumi sistem republik adalah: al-wasilah ila al-haram muharramah (segala sarana menuju yang haram hukumnya diharamkan). Jadi, sistem republik itu hukumnya haram, karena dapat menimbulkan sesuatu yang haram, yaitu bahaya berupa dominasi non-Muslim atau orang rusak.


Pasca Khilafah Utsmani Kalahkan Armada Nasrani



Suasana Pasca Kekalahan Armada Nasrani

Orang-orang Aljazair menyamakan kekalahan armada Nasrani yang dipimpin oleh Charles Quint itu dengan kekalahan Pasukan Fil (tentara Gajah yang dipimpin Raja Abrahah untuk menghancurkan Ka'bah) seperti yang disebutkan dalam Surat Al Fiil. Dalam sebuah surat yang ditulis rakyat Aljazair kepada Sultan Sulaiman, di sana disebutkan: “Sesungguhnya Allah Swt. telah menurunkan adzab-Nya kepada Charles V dan bala tentaranya dengan siksaan seperti yang menimpa pasukan gajah. Dia jadikan tipu-daya mereka sia-sia dan Allah menurunkan kepada mereka angin putting-beliung dan ombak bergulung. Allah hancur-leburkan mereka di tepian-tepian pantai sebagai pasukan yang tawanan atau mati terbunuh. Tidak ada seorangpun pasukan musuh yang tidak tenggelam, kecuali sedikit.” (AI-Daulah AI-Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftaraa 'AIaiha, hlm. 2/920.)

Semua penduduk Aljazair, baik penduduk asli maupun kaum muslimin pendatang dari Andalusia, mereka sama-sama mengirimkan surat pada bulan berikutnya kepada Sultan Sulaiman mengabarkan tentang kekalahan Charles V. Mereka berterima kasih kepada Sultan Utsmani karena telah terlibat menolong kaum muslimin di Afrika Utara, khususnya kaum pelarian dari Andalusia. Dalam surat itu disebutkan antara lain:

"Sesungguhnya penduduk Andalusia telah pernah meminta pertolongan kepadanya (maksudnya Sultan Utsmani) dan dia telah menolongnya. Pertolongannya inilah yang menjadi salah satu sebab selamatnya kaum muslimin dari tangan orang-orang kafir jahat dan telah mampu memindahkan kaum muslimin ke negeri Islam dan menjadi rakyat pemerintahan Utsmani yang ikhlas. Aljazair menamakan dirinya dengan nama Tuan serta berada di bawah kekuasaan Tuan yang mulia. Kini hati-hati yang merana menjadi bahagia dan yang terpecah menjadi bersatu kembali.” Surat itu juga berisi permintaan kepada Sultan akan dua hal. Pertama, mereka meminta bantuan militer tambahan untuk membantu Aljazair, sebab ia merupakan negeri kaum muslimin dan menjadi “kuburan" bagi orang-orang kafir dan penjahat. (AI-Daulah AI-Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftaraa 'Alaiha, 2/921.)

Kedua, mereka juga meminta agar Sultan mengembalikan Khairuddin Pasya pada posisinya semula sebagai penguasa Aljazair. Khairuddin dianggap sebagai sosok yang mampu mengendalikan negeri dan menggairahkan situasi batin yang lesu. Dia telah membuat hati orang kafir menjadi gentar dan dengan armadanya mampu menghancurkan negeri orang-orang kafir yang durhaka... Sesungguhnya dia akan menjadi karunia besar bagi negeri Aljazair dan akan membuat orang-orang musyrik merasa takut dan bingung. (AI-Daulah AI-Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftaraa 'Alaiha, 2/921.)

Pasca kekalahan armada Spanyol, Sultan Sulaiman memberikan gelar Pasya kepada Hasan Agha At-Thusyi karena perannya sangat besar dalan menyelamatkan negeri Aljazair dan mengosongkan wilayah perairan Laut Tengah dari ancaman armada-armada Spanyol yang baru menderita luka besar dan ingin membalas dendam kembali. Maka berangkatlah kapal-kapal Utsmani menuju pesisir-pesisir Spanyol dan Italia. Di sana terjadilah perang demi perang sehingga menimbulkan rasa takut dan khawatir di tempat-tempat tersebut Pasukan Utsmani berhasil menduduki tempat itu dan mengambil harta-benda sebagai rampasan perang. (Harb Tsalatsa Mi'ah Sanah, hlm. 213.)

Khairuddin Barbarosa akhirnya kembali ke Kota Aljir dalam rangkaian Jihad panjang membela Islam dan mempertahankan negeri. Dengan taufik Allah kepada kaum muslimin serta keikhlasan hati mereka, maka mereka mampu mengalahkan armada besar Spanyol. Peperangan itu membuat Khairuddin tergerak untuk memeriksa kembali kondisi internal Aljazair. Setelah itu dia bersama armadanya mulai bergerak kembali menuju negeri Spanyol untuk mengirimkan kepedihan dan sengsara. Negeri-negeri Eropa akhirnya kembali mempertimbangkan secara serius ancaman pemerintahan Utsmani. Dengan peristiwa itu maka goncanglah markas orang-orang Spanyol di Wahran dan beberapa wilayah lain di Afrika Utara. (Al-Maghrib Al-Arabi Al-Kabir, Syauqi Athaullah Al-jamal, hlm. 9.) Di sisi lain, kabilah Sa'di juga mampu mengalahkan orang-orang Portugis dan mengambil-alih benteng Santa Cruz.

Setelah Raja Portugis Jean III mendengar kabar perebutan benteng itu, dia segera memerintahkan orang-orang Spanyol di Asifa dan Azmur untuk secepatnya meninggalkan tempat itu. Raja Jean III mengirim surat kepada duta besarnya di Madrid tanggal 22 Ramadhan 948 H/Desember 1541 M. Charles V juga membaca surat itu. Dalam surat itu disebutkan tentang sebab-sebab penarikan pasukan Spanyol dari markas militernya di Asifa dan Azmur. Dalam kondisi yang sangat kritis ini, kekuatan orang-orang Sa'di semakin bertambah kuat, karena mendapat bantuan pemerintahan Utsmani. Penguasa Sa'di kini mempunyai meriam Utsmani dan peralatan perang yang lengkap. Di samping itu juga ada tentara-tentara terlatih. Kekuatan mereka itu tampak saat pengepungan Santa Cruz sehingga membuat Spanyol sulit mempertahankan dua basis militernya itu. Namun dengan hengkangnya Spanyol dari Azmur dan Asifa, bukan berarti mereka telah sepenuhnya meninggalkan Maghrib (Afrika Utara). Pemerintah Spanyol memerintahkan agar Mazkan dibentengi dengan kuat, karena pelabuhan itu bisa dipakai sepanjang tahun. (Juhud AI-Utsmaniyyin Li lnqadzi AI-Andalus, Dr. Nabil Abdul Hayy, hlm. 328.)

Di sini kita bisa melihat sejauh mana bantuan pemerintahan Utsmani kepada kekuatan-kekuatan Islam di Maghrib dalam menghadapi orang-orang Nasrani di sana. Tidak aneh, jika pemerintahan Utsmani sangat antusias membantu orang-orang Sa’di untuk mengikis eksistensi Portugis di wilayah-wilayah Selatan Maghribi. Barulah setelah itu Ustmani berniat menyeberang menuju Andalusia, untuk merebut kembali wilayah Islam itu. Sebab Maghrib merupakan merupakan titik penyeberangan paling dekat menuju Andalusia. (Juhud AI-Utsmaniyyin Li lnqadzi AI-Andalus, Dr. Nabil Abdul Hayy, hlm.328.)

Nasib Charles Quint

Kegagalan Charles Quint dalam perang laut di Aljazair bukan hanya berpengaruh bagi diri Kaisar sendiri, tetapi juga berpengaruh besar bagi Kekaisaran Spanyol, bahkan berpengaruh di dunia secara umum. Dalam sebuah syair Arab disebutkan:

Tanyakanlah kepada Charles, berapa banyak tentara kami?
Yang ada dalam benaknya, hanyalah gertakan-gertakan.
Lalu dia persiapkan armada dan pasukan banyak.
Namun ternyata, dia harus menelan pil pahit yang sangat getir.

Kabar kekalahan Charles V laksana petir yang menyambar seluruh Eropa. Berita kekalahan itu bergerak cepat, menimbulkan wabah ketakutan. Saat itu tidak ada lagi sekutu bagi Charles V, selain Henry III, Raja Inggris. Sedangkan Duck de Clave, Raja Denmark dan Skandinavia sudah bergabung dengan Perancis.

Kemenangan ini juga membawa dampak sangat positif di Afrika Utara. Sedangkan kaum Nasrani Eropa dilanda wabah ketakutan membayangkan serbuan yang sewaktu-waktu dilakukan oleh kaum muslimin. Charles V tidak berpikir lagi untuk melakukan ekspedisi ke Aljazair. Wibawa Khairuddin dan Hasan Agha membumbung tinggi di Eropa, baik di mata orang khusus maupun umum. Sampai-sampai, jika mereka melihat mangkuk besar dari jauh, mereka bayangkan mangkuk itu adalah Khairuddin. Hingga teriakan putus-asa bergema di mana-mana, keluh-kesah merebak sedemikian banyak. Sementara itu penduduk lari dari rumah-rumah, ladang-ladang, serta tempat berdagang. Mereka ketakutan sendiri oleh bayangannya sendiri.

Jika ada badai atau angin ribut di laut, maka orang-orang Eropa membayangkan bahwa Khairuddin Barbarosa sedang mengaduk-aduk lautan dan ingin menenggelamkan kapal mereka. Ketakutan itu sudah sampai ke batas yang tidak wajar, sehingga orang-orang Spanyol dan Italia jika melihat ada kejahatan, pencurian, atau terjadi sebuah kerusakan, wabah penyakit, atau kelaparan, mereka segera menyalahkan Khairuddin dan sahabat-sahabatnya sebagai penyebab semua itu. Dalam syair yang populer mereka berkata: (Khairuddin Barbarosa, hlm. 200.)
Barbarosa... Barbarosa...
Kau pemilik semua kejahatan
Tak satupun rasa sakit dan perbuatan
Yang menyakitkan dan menghancurkan
Kecuali sebabnya ada pada dirinya Dia adalah perompak Yang tidak ada bandingannya di dunia." (Majalah Tarikh Wa Hadharah AI-Maghrib, diterbitkan Fakultas Sastra di Aljazair tahun 1969, no. 6, hlm. 5934.)

Hasan Agha Ath-Thusi sendiri setelah menunaikan tugas sucinya, beliau wafat pada tahun 951 H/ 1544 M. Setelah wafat, para pemuka negara sepakat untuk mendudukkan Haji Bakir sebagai penggantinya. Sementara penguasa di Istanbul mengangkat Hasan bin Khairuddin sebagai pemimpin baru sebagai pemimpin di wilayah itu. (Tarikh 'Aam Al-Jazair; Abdur Rahman Al-Jallali, 3/84.)


Referensi: Bangkit Dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi
-----




Dampak Jihad Khilafah Utsmani Di Maghrib Afrika Utara



Dampak Jihad Khairuddin di Maghrib

Sultan Ahmad Al-A'raj As-Sa'di banyak diuntungkan dengan gerakan pemerintahan Utsmani dan rakyat Aljazair di bawah pimpinan komandan Khairuddin Barbarosa. Maka dia melakukan pengepungan terhadap kota Asifa di Azmur pada tahun 941 H/1534 M. Hampir saja kota itu jatuh ke tangan Bani Sa'di, jika tidak datang bala bantuan Spanyol terhadap kota itu. Melalui peristiwa itu, telah terjalin kerjasama antara kekuatan pasukan Utsmani dengan kekuatan-kekuatan Islam di Maghrib dalam melawan pasukan Nasrani di Afrika Utara.

Tatkala Raja Portugis yang bernama Jean III mendengar tibanya armada Utsmani pada tanggal 3 Rabiul Awal 941 H/ 13 September 1534 M yang dipimpin oleh Khairuddin, dia berpikir untuk meninggalkan sebagian markas yang telah dia kuasai, seperti Sabt dan Thanjah. Kedua markas itu sangat penting untuk melindungi kepentingan-kepentingan pasukan Nasrani di Laut Tengah bagian Barat. Untuk membendung serangan Utsmani di kepulauan Iberia, maka Raja Johannes III meminta fatwa ke tokoh-tokoh dan para uskup di negerinya. Dia mengajukan beberapa pertanyaan, "Apakah wajib meninggalkan Asifa dan Armuz untuk orang-orang Maghrib? Apakah wajib meninggalkan tempat itu atau membiarkan sebagiannya? Dan jika wajib menjaga keduanya, berapa biaya minimal yang harus dikeluarkan? Lalu bahaya apa yang akan terjadi jika hal itu dilakukan? Lalu bagaimana kita harus menyelesaikannya?"

Raja Portugis itu mendapat jawaban beragam. Intinya, sebagian orang mendukung untuk tetap bertahan di wilayah selatan dan sebagian yang lain menolak. Sedangkan jawaban para pendeta dan uskup hampir sama. Mereka semua menasihatkan, agar raja meninggalkan wilayah selatan dan mengalihkan kekuatann ke wilayah utara untuk mencegah serangan pasukan Utsmani di bawah pimpinan Khairuddin Barbarosa. Uskup menasehati agar raja meninggalkan Santakaros, Asifa, dan Armuz, sebab biaya yang harus dikeluarkan untuk menjaga wilayah-wilayah itu lebih penting dialokasikan untuk menjaga tempat-tempat lain di utara. Mereka juga menasehatkan agar semua alat pertahanan ditingkatkan untuk menghadapi pasukan Khairuddin di tempat itu. (Juhud AI-Utsmaniyyin Li Istirdad AI-Andalus, hlm. 320.)

Keberadaan pasukan Utsmani di Aljazair memiliki dampak sangat kuat dalam mempengaruhi sikap Raja Portugis di Maghrib. Portugis tidak jadi melakukan operasi militer di tempat itu. Kemudian kemampuan tentara Utsmani menguasai Tunisia telah menimbulkan kebingungan bagi Paus dan Charles V. Jatuhnya Tunisia dianggap sebagai ancaman serius bagi agama Nasrani, serta sebagai ancaman bagi jalur transportasi laut di wilayah-wilayah itu. (Risalat Gharnathah Ila AI-Sulthan Sulaiman, Abdul Jalil At-Tamimi, nomer 3.Tunis.) Maka tekanan Utsmani telah mencapai puncaknya, ketika pemerintahan Utsmani menguasai perairan-perairan sempit antara Sicilia dan Afrika. (Juhud AI-Utsmaniyyin Li Inqadzi AI-Andalus, Dr. Nabil Abdul Hayy, hlm. 321.)

Tunisia Dikuasai Charles V

Charles V, Kaisar Romawi, berniat menguasai Tunisia. Hal itu tak lepas dari permintaan Sultan Hafashi Al-Hasan bin Muhammad ke Charles V untuk mewujudkan keinginannya memisahkan diri dari lstanbul. Kondisi Utsmani sendiri saat itu dilanda aneka tantangan. Mereka harus menghadapi pemberontakan kaum Syiah-Rafidhah di Persia. Kemudian Utsmani juga terlibat perang di beberapa front di Eropa. Adapun Raja Francis dari Perancis berjanji untuk bersikap netral. (Tarikh AI-jazairi AI-Hadits, Muhammad Khair Paris, hlm. 34.) Charles V memimpin operasi militer laut untuk merebut Tunisia. Dia membawa 30.000 personil pasukan dari Spanyol, Belanda, German, Napoli, dan Sicili. Mereka diangkut dengan sekitar 500 armada kapal. Kaisar itu mulai perjalanan lautnya dari Barcelona. Tatkala armada ini mendaratkan kapal-kapal di wilayah Tunisia, terjadilah perang sengit menghadapi mujahidin Islam. (Haqaiq AI-Akhbar 'An Dual AI-Bihar, 1/420.) Serangan ini berhasil, sehingga Spanyol kembali menguasai Tunisia pada tahun 942 H/ 1535 M. (Juhud AI-Utsmaniyyin Li Inqadzi AI-Andalus, Dr. Nabil Abdul Hayy, hlm. 321.) Pasukan Khairuddin sendiri saat itu tidak mampu melakukan perlawanan secara sepadan. Tentara Utsmani sendiri saat itu hanya berjumlah 7000 orang, datang bersama Khairuddin, dan didukung 5000 pasukan rakyat Tunisia. Ditambah lagi, banyak orang-orang Badui tidak mau melakukan jihad.

Charles dengan mudah mampu menguasai benteng Halqul Waad di Mursa Tunisia. (Harb Tsalatsa Mi'ah Sanah, hlm. 321.) Atas keberhasilan itu, orang-orang Spanyol segera menobatkan Al-Hasan sebagai penguasa Tunisia. Sesuai isi perjanjian yang telah ditandatangani, jika pasukan Spanyol menang, maka Al-Hasan wajib menyerahkan Bunah dan Al-Mahdiyyah kepada Charles V. Namun karena Al-Mahdiyyah masih berada di bawah kekuasan Utsmani, Al Hasan Hafashi tidak bisa memenuhi persyaratan itu. Maka Spanyol mensyaratkan, agar Al-Hasan menjadi sekutu dan pembantu tentara Kardinal Johannes di Tripoli. (AI-Atrak AI-Utsmaniyyun fi Afriqi AI-Syamaliyah, hlm. 38.) Selain itu dia juga harus menyatakan permusuhan kepada pemerintahan Utsmani dan harus menanggung semua biaya perang, minimal untuk 2000 pasukan Spanyol yang akan tinggal di benteng Halqul Waad. Charles V kemudian kembali ke Spanyol dan disambut sebagai pahlawan yang telah menang perang. Pada saat itu Sultan Sulaiman sendiri sedang gencar-gencarnya berperang untuk menumpas kesesatan kaum Safawid-Syiah Rafidhah di Persia. (Fath AI-Utsmaniyyin 'Adn, hlm. 130.)

Kembalinya Khairuddin ke Aljazair

Setelah kekalahan di Tunisia, Khairuddin kembali ke Aljazair. Untuk pertama kalinya dia menetap di Costantine. Di tempat ini, dia mempersiapkan diri untuk memulai jihad melawan Spanyol di wilayah-wilayah yang akan menjadi sasaran. Untuk sementara, dia menetap di kota Aljazair sebagai usaha mengevaluasi langkah-langkah strateginya. Dalam posisi Khairuddin sebagai komandan pasukan laut Utsmani, Khairuddin merasa bertanggung jawab untuk membalas serangan yang dilakukan Charles V di Tunisia. Maka dia segera melancarkan serangan ke Baleares dan ke tepian pantai wilayah Selatan, kemudian menyeberangi Selat Jabal Thariq. Khairuddin terjun sendiri untuk melancarkan serangan ke kapal-kapal Portugis dan Spanyol yang baru datang dari Amerika sambil membawa emas dan perak. Serangan itu sangat mengguncangkan masyarakat Nasrani dan sekaligus membuat Charles V sangat bersedih. Mereka sebelumnya meyakini bahwa setelah kekalahan di Tunisia, Khairuddin tidak lagi memiliki kekuatan berarti. (Harb Tsalatsah Mi'ah Sanah, hlm. 227, 236, 241, 242.)

Serangan-serangan tersebut dianggap sebagai pembalasan atas serangan Spanyol ke Tunisia. (Harb Tsalatsah Mi'ah Sanah, hlm.324.) Dengan demikian tampak jelas, bahwa Kekaisaran Romawi telah dikepung oleh pasukan Utsmani dan Perancis. Itu artinya, perang baru antara dua kekuatan itu dimulai kembali. Seperti dimaklumi, Spanyol dan Portugis memiliki ambisi yang sama untuk menaklukkan markas-markas utama kaum muslimin di negeri Maghrib.

Diplomasi Portugis dan Perpecahan di Afrika Utara

Raja Ahad Al-Waththas harus menerima pil pahit kekalahan pada tahun 943 H/ 1536 M di tangan Bani Sa’di dalam peperangan Bir 'Uqbah, di dekat Lembah Al 'Abid. Salah satu faktor yang menyebabkan kekalahan ini adalah, karena kabilah-kabilah Khaluth meninggalkannya. Padahal kabilah-kabilah itu merupakan ujung tombak kekuatan pasukan Al-Waththas. Dampak dari kekalahan ini, pihak Al-Waththas mulai mendekat ke Portugis. Hal itu dia lakukan, karena pasukan Utsmani saat itu sedang sibuk berperang melawan Spanyol. Dia kemudian menjalin perjanjian dengan Portugis yang berlaku selama sepuluh tahun. (Juhud AIa Utsmaniyyin Li Inqadzi Al-Andalus, Dr. Nabil Abdul Hayy, hlm. 323.)

Perjanjian tersebut membuat orang-orang Maghrib di pinggiran Ashila, Thanjah, dan Qashr Shaghir berada di bawah kekuasaan Raja Fas. Dalam perjanjian itu, rakyat Raja Waththas boleh melakukan bisnis di wilayah laut, kecuali perdagangan senjata dan barang-barang terlarang. jika ada perahu-perahu Utsmani, atau Perancis, atau orang-orang Nasrani non Spanyol dan Portugis, tiba di negeri Perancis dengan membawa barang rampasan dari wilayah Maghrib, maka barang-barang itu jangan dibeli. Demikian pula dengan orang-orang Maghrib, mereka tidak boleh membeli barang-barang dari orang Utsmani. Harta rampasan itu bisa dikuasai dan dikirimkan ke sana-sini, sepanjang musuh tidak diberi kekuasaan untuk menyerangnya. (Juhud AIa Utsmaniyyin Li Inqadzi Al-Andalus, hlm. 324.)

Orang-orang Portugis juga berusaha menjalin kesepakatan dengan pemerintahan Sa'di. Maka mereka pun mengirim delegasi ke Marakisy untuk melakukan perundingan dengan Maula Ahmad Al-A'raj yang ternyata menerima tawaran kesepakatan itu. Maula Ahmad merasa sangat membutuhkan kerjasama dalam rangka membereskan urusan negerinya, setelah mereka berhasil mengalahkan musuhnya yaitu orang-orang Waththas dalam perang Bir ‘Uqbah, pada tahun 943 H / 1536 M. Orang-orang Portugis sepakat menjalin kesepakatan dengan pemerintahan Sa'di pada tanggal 25 Dzul Qa'dah tahun 944 H/ 25 April 1537 M dalam jangka waktu tiga tahun. Lalu terjalin hubungan bisnis antara kedua belah pihak. (Juhud AIa Utsmaniyyin Li Inqadzi Al-Andalus, hlm. 324.)

Tujuan orang-orang Portugis menjalin kesepakatan dengan orang-orang Sa'di dan Waththas adalah, untuk menghambat terjadinya hubungan harmonis antara pemerintahan Utsmani dengan orang-orang Waththas dan Sa'di. Sebab jika terjadi kerjasama antara mereka, maka itu berarti ancaman bagi wilayah Kepulauan Iberia di Maghrib. Dan yang lebih penting lagi, Spanyol dan Portugal sangat takut akan serangan pasukan Utsmani di Kepulauan Iberia, apalagi terhadap rencana Utsmani untuk merebut kembali tanah Andalusia. (Juhud AIa Utsmaniyyin Li Inqadzi Al-Andalus, hlm. 324.)

Bagaimanapun, Andalusia (Spanyol) pernah menjadi negeri Islam, maka kaum muslimin berhak merebutnya kembali dengan semangat Jihad Fi Sabilillah. Pintu-pintu jihad akan terus terbuka, sampai Andalusia jatuh kembali ke tangan kaum muslimin.


Referensi: Bangkit Dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi

-----



Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam