Tri
Sakti yang Tak Sakti
Jokowi-JK memiliki
visi dan misi yang terangkum dalam semboyan Tri Sakti yakni kedaulatan di
bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang
kebudayaan.
Awalnya, kabinetnya
akan diberi nama sesuai visi dan misi tersebut. Namun entah kenapa, nama
kabinetnya diubah menjadi Kabinet Kerja. Bisa jadi, karena tidak mudah untuk
mewujudkan visi dan misi tersebut dalam lima tahun. Lebih enak Kabinet Kerja,
yang penting kerja.
Bagaimana mau
mewujudkan berdikari dalam bidang ekonomi jika para menteri di bidang
perekonomian lebih pro pasar dibanding pro rakyat. Peneliti IGJ Salamuddin
Daeng pun menunjuk Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral, Menteri BUMN, Menteri Luar Negeri dan Menteri Perdagangan.
”Sudah hampir kita bisa pastikan mereka pasti akan menjalankan
kebijakan-kebijakan neoliberal, pasti itu! itu dapat dipastikan. Tetapi untuk
membuktikan itu, kita akan melihat Iangsung dari praktik kebijakannya di
awal-awal,” prediksinya.
Ia mengambil contoh,
Menteri Keuangan dan Menteri ESDM karena ini berkaitan dengan rencana
pemerintah mengurangi atau mencabut subsidi BBM dan akan menaikkan harga BBM
pada akhir tahun 2014.
“Kalau kita lihat pada
kebijakan yang seperti itu maka itu kan
sudah tidak menuduh lagi bahwa Menteri ESDM dan Menteri Keuangan merupakan
kepanjangtanganan dari kepentingan asing,” jelasnya.
Tak
Bisa Diharapkan
Majalah Times membuat
judul sampulnya ”A New Hope" disertai foto Jokowi. Sebagian masyarakat
Indonesia pun berharap Jokowi mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Bisakah
Jokowi memenuhi harapanitu?
Di mata juru bicara
Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto, Jokowi bersama kabinetnya tak akan
membawa perubahan yang signifikan. Mungkin ada perubahan tapi perubahan ala
kadarnya.
Ismail beralasan,
Jokowi dan kabinetnya bekerja dalam kerangka sistem lama, yakni sistem
sekuler-kapitalis-liberal. Sistem ini terbukti gagal mewujudkan kesejahteraan.
Ia menyebut, selama
masa rezim SBY, indeks gini -menunjukkan tingkat kesenjangan pendapatan
masyarakat- malah terus meningkat. Dari sebelumnya sekitar 0.31 menjadi 0.41.
Itu artinya, sekian
banyak program bidang ekonomi selama sekian belas tahun itu tidak memberikan
pengaruh positif terhadap kesejahteraan seluruh masyarakat. Kalaupun memberi
efek, tapi efek peningkatan kesejahteraan itu hanya dinikmati segelintir orang
saja. Akibatnya kesenjangan makin melebar.
Apalagi, lanjutnya,
sejumlah menteri dalam kabinet Jokowi-JK adalah pengusaha. Sudah lama
diketahui, banyak program di bidang industrialisasi, misalnya di bidang
otomotif, tidak berjalan bagus karena dikalahkan oleh kepentingan kaum
pedagang.
Menurut Ismail, selama
ini mereka lebih suka berperan sebaqai ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek)
ketimbang memproduksi kendaraan sendiri yang memang memerlukan usaha yang Iebih
keras untuk melakukan disain, riset pengembangan teknologi dan sebagainya. Dengan
menjadi ATPM saja mereka sudah untung besar.
”Begitu juga soal
korupsi. Bila diharap akan ada usaha pemberantasan korupsi, mungkin harapan itu
akan sia-sia mengingat para menteri yang ditunjuk, bahkan juga Jokdwi-JK itu
sendiri, bukanlah figur-figur yang benar-benar bersih," jelasnya.
Perubahan
Hakiki
Dulu SBY
digadang-gadang mampu menyejahterakan rakyat. Dua kali kepemimpinannya ternyata
tak membuahkan hasil. Justru utang yang kian banyak. Kini Jokowi yang bila
dihitung perolehan suaranya jauh lebih kecil dari SBY mau melakukan hal serupa.
Bayang-bayang
kegagalan tampak di depan mata. Kenapa? Sebuah perubahan, menurut pengamat
pemerintahan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Suswanta, tidak cukup
hanya diwujudkan dengan sosok yang ramah, murah senyum, dan suka blusukan. "Harus ada perubahan sistem,” tandasnya.
Menurut Ismail, tak
mungkin mempertahankan sistem kapitalisme liberal ini karena justru sistem
itulah biang masalah keterpurukan negeri ini. Mempertahankan sistem kapitalisme
liberal, lanjutnya, berarti melanggengkan Indonesia dalam cengkeraman asing, tidak
bisa mandiri, dan menuju jurang kehancuran budaya.
Demikian pula sistem
sosialis-komunis. Sistem itu terbukti gagal dan telah hancur. Mengembalikan
sistem sosialis ke tengah umat Islam, menurutnya, berarti bunuh diri.
Maka, ia menegaskan, pilihan satu-satunya sistem yang
bisa mewujudkan perubahan hakiki hanya sistem Islam. ”Inilah
satu-satunya sistem yang akan membawa rahmatan
lil 'alamin atau kebaikan bagi negeri ini, sekarahg dan yang akan
datang,” tandasnya.
Dengan syariat Islam,
paparnya, seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan diatur
dengan cara yang benar. Dampaknya, ekonomi akan tumbuh, stabil dan akan
memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat. SDA yang melimpah
itu akan dikelola oleh negara untuk rakyat. Dengan syariat pula akan terwujud
sistem pendidikan dan budaya yang akan membentuk SDM yang beriman dan bertakwa
serta mampu menjawab tantangan kemajuan zaman. Dan dengan kekuatan khilafah,
penjajahan baru dalam segala bentuknya bisa dihentikan dengan segera.
Pertanyaannya, maukah
Jokowi-JK menerapkan sistem Islam ini? []
Kado
Pahit, BBM Naik
Jokowi tak lama lagi
akan memberikan kado bagi rakyat lndonesia. Bukan suatu yang menyenangkan, tapi
suatu yang menyesakkan. Ia akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Wakil Presiden Jusuf
Kalla menegaskan, pengumuman kenaikan harga BBM itu akan dilaksanakan sebelum
tahun 2014 habis. Menteri-menteri di jajaran ekonomi pun telah mengisyaratkan
hal itu. Hanya saja mereka memilih bahasa yang lebih halus yakni memindahkan alokasi
subsidi BBM kepada yang lebih berhak.
Tak tanggung-tanggung,
kenaikan harga BBM diperkirakan antara Rp2.000-Rp3.000 per liter. Ini sesuai
dengan skenario yang disodorkan oleh Bank Dunia. Lembaga swasta internasional
itu berharap, subsidi dihapuskan sama sekali.
Padahal, saat ini
justru harga minyak dunia lagi rendah. Artinya, tidak sesuai dengan alasan
bahwa APBN akan jebol jika tidak menaikkan harga BBM.
Yang pasti, rakyat
akan diajak berpesta oleh rezim Jokowi-JK. Bukan pesta kemeriahan, tapi pesta
air mata karena harga-harga akan melambung ke angkasa. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 138, Nopember 2014
---