Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Tampilnya Muhammad SAW Dalam Pembangunan Kembali Ka'bah


16. Tampilnya Muhammad Saw. dalam Membangun Ka'bah

Ka’bah merupakan bangunan yang terbuat dari batu yang tersusun tanpa menggunakan perekat tanah liat. Orang-orang Arab takut merusaknya, meski untuk dibangunnya kembali. Keadaan seperti ini terus berlangsung hingga terjadi banjir besar. Melihat itu mereka takut ada air yang masuk ke dalam Ka’bah, maka mereka bersepakat untuk menghancurkannya dan membangunnya kembali. Pada saat yang bersamaan, perahu pedagang asal Romawi yang berlayar menuju Jeddah terdampar di Makkah. Sehingga pecahan kayu dari perahu yang terdampar itu mereka buat sebagai langit-langit Ka’bah. Waktu itu di Makkah ada tukang kayu berkebangsaan Qibthi (Mesir), maka setelah semua kebutuhannya siap, mereka sepakat untuk menghancurkannya dan membangunnya kembali.
Lalu berdirilah Abu Wahhab bin Amru bin A’iz bin Abdu bin Amran bin Mahzum mengambil batu dari Ka’bah. Menurut mereka, batu itu melompat dari tangannya hingga kembali ke tempatnya semula. Dia berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, jangan kalian campurkan dalam membangun Ka’bah dari hasil usahamu, kecuali yang baik. Jangan dicampurkan pula uang hasil melacur dan uang hasil usaha apapun yang diperoleh dengan cara zhalim.”

Membangun Ka’bah merupakan kemulyaan terbesar. Untuk itu, orang-orang Quraisy ingin kemulyaan itu mereka rasakan bersama. Sehingga dalam membangun Ka’bah mereka membagi tugas sebagai berikut: Bani Abdi Manaf dan Bani Zuhrah ditugaskan membangun bagian pintu; Bani Mahzum dengan dibantu beberapa suku Quraisy lainnya ditugaskan membangun bagian antara ruknul aswad (sudut hitam) dan ruknul yamani (sudut yamani); Bani Jumah dan Suham ditugaskan membangun permukaan Ka’bah; sedang Bani Abdul Dar bin Qushai, Bani Asad bin Abdil Uzza, dan Bani Adi bin Ka'ab ditugaskan membangun bagian pondasi.

Meski demikian, mereka masih takut untuk menghancurkan Ka’bah. Sehingga berkata al-Walid bin al-Mughirah, “Saya yang akan memulai menghancurkan Ka'bah.” Kemudian dia mengambil cangkul dan lalu berdiri di atas Ka’bah sambil berdoa, “Ya Allah, kami tidak berharap, kecuali kebaikan.” Setelah itu, baru dia menghancurkan dua sudut Ka’bah.
Pada malam itu mereka berjaga-jaga, mereka berkata, “Kita lihat dulu. Jika kita mendapatkan musibah, berarti kita dilarang menghancurkannya, sedang yang terlanjur kita rusak, kita kembalikan lagi ke tempatnya semula. Jika kita tidak mendapatkan musibah, berarti Allah merestui apa yang kita perbuat dan kita akan menghancurkannya.”
Malam berlalu, pagi pun tiba. Al-Walid datang mendahului yang lainnya untuk meneruskan pekerjaannya. Ketika ia mulai menghancurkannya, orang-orang pun ikut menghancurkannya, sehingga yang mereka hancurkan mencapai pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim as. Semua suku dari suku Quraisy mengumpulkan batu untuk membangun Ka’bah. Setiap suku mengumpulkan batu sebanyak-banyaknya.
Setelah pembangunan kembali Ka’bah sampai pada tahap meletakkan Hajar Aswad, mereka berselisih, masing-masing suku merasa yang berhak untuk meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya. Perselisihan semakin memanas hingga mereka siap untuk berperang. Namun, tidak lama kemudian mereka berdamai dan akan menyerahkan keputusannya kepada orang yang pertama masuk dari pintu masjid ini.
Ternyata orang yang pertama masuk adalah Muhammad Saw. Ketika mereka melihatnya, mereka berkata, “Ini al-amin, kami semua senang dengannya." Setelah mereka selesai menceritakan apa yang terjadi di antara mereka, maka Muhammad Saw. berkata, “Beri aku sorban.” Mereka pun memberi Muhammad Saw. sorban. Kemudian Muhammad Saw. mengambil Hajar Aswad dan menaruhnya di atas sorban, lalu berkata, “Sekarang masing-masing suku memegang ujung sorban, selanjutnya kita angkat bersama-sama.” Mereka melakukannya hingga Hajar Aswad sampai di tempatnya. Seterusnya Muhammad Saw. yang menaruhnya dan yang membangunnya.

Dengan demikian, Muhammad Saw. menjadi perhatian, bahkan mereka tidak akan pernah melupakan kejadian itu. Mereka menganggap itu semua bukti akan kecerdasan dan kepiawaiannya dalam menyelesaikan berbagai krisis. Sehingga kejadian itu menjadi bekal yang akan membantu Muhammad Saw. di masa yang akan datang, ketika Muhammad Saw. mengajak manusia ke jalan Allah, dan di saat Muhammad Saw. menerima tongkat kepemimpinan Negara Islam.

Yang patut diingat bahwa orang-orang Quraisy membatasi perhatiannya dalam membangun Ka’bah pada pondasi-pondasi yang dibangun Ibrahim mulai dari arah Hijir Ismail. Oleh karena itu, orang yang melakukan thawaf di Ka’bah saat ini harus memasukkan Hijir Ismail dalam thawafnya, sebab ia termasuk bangunan Ka'bah. Rasulullah Saw. tidak menemukan hal yang penting untuk menghancurkan Ka’bah sekali lagi -setelah sempurna pembangunannya di Makkah. Sebab, berdasarkan ajaran Islam, Ka’bah tidak hanya sekedar batu dan tanah, namun menjadi lambang persatuan dan kesatuan, serta arah dan tujuan (kiblat) bagi seluruh kaum muslimin.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Hikmah Poligami Nabi SAW



15. Hikmah Poligami Rasulullah Saw.

Akan tetapi, setelah Khadijah wafat dan Rasulullah Saw. hijrah dari Makkah ke Madinah, maka mulailah periode baru dalam perjalanan dakwah. Periode yang baru ini menuntut Rasulullah Saw. untuk berpoligami. Oleh karena itu, di sini kami ringkas hikmah poligami Rasulullah Saw. -padahal poligami merupakan beban yang berat bagi setiap orang, sebab betapa sulitnya mengharmoniskan di antara mereka, namun Rasulullah Saw. punya kekhasan tersendiri dalam berpoligami.
Hikmah itu kami ringkas dalam tiga perkara:
Pertama, kehidupan Rasulullah Saw., baik yang khusus (pribadi) maupun yang umum semuanya merupakan teladan yang wajib diikuti oleh setiap orang Islam. Semua kehidupan Rasulullah Saw. merupakan sunnah (tuntunan) yang tidak boleh diabaikan.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (TQS. al-Ahzab [33]: 21)

Karena orang yang paling tahu tentang kehidupan seorang yang sifatnya khusus (sangat pribadi) adalah para istrinya, maka Rasulullah Saw. dituntut untuk berpoligami. Mereka para istri Rasulullah Saw. berperan sebagai penerjemah dan penyampai atas kehidupan Rasulullah Saw. yang sifatnya khusus kepada manusia, serta sebagai pengontrol peraturan dakwah di antara barisan wanita.

Kedua, orang yang dengan cermat mengamati para istri Rasulullah Saw., maka ia akan menemukan bahwa mereka itu berbeda-beda, di antaranya ada anak-anak yang masih senang bermain boneka, ada yang sudah tua, ada yang berasal dari anak wanita musuh yang sangat memusuhinya, ada yang berasal dari anak wanita orang yang sangat mengaguminya, dan ada pula di antara mereka yang senang mengasuh anak yatim... Mereka adalah cermin tipe-tipe individu manusia. Dengan demikian, Rasulullah Saw. telah menyuguhkan kepada para sahabatnya dan kaum muslimin undang-undang (peraturan) yang indah yang mengajari mereka bagaimana cara bergaul yang sukses dengan tiap-tiap tipe dari tipe-tipe manusia.

Ketiga, setelah Rasulullah Saw. memproklamirkan berdirinya Negara Islam di Madinah al-Munawwarah, maka suku-suku di Arab memusuhinya, sehingga yang memusuhinya tidak hanya suku Quraisy, seperti ketika di Makkah. Rasulullah Saw. melihat bahwa hikmah poligami di antaranya dapat menghentikan beberapa kekuatan musuh, sebab bagi orang-orang Arab ada kewajiban menjaga dan melindungi siapa saja yang menikah dengan wanita dari kalangannya. Oleh karena itu mereka menamakan dirinya al-Ahma’ (para pelindung). Maka dari itu, Rasulullah Saw. berusaha menikahi wanita dari berbagai suku untuk menghentikan atau meringankan permusuhannya.

Pernikahan Rasulullah Saw. dilakukan demi meraih kemaslahatan yang lebih besar, tuntutan dakwah, dan memperkuat sendi-sendi Negara Islam. Semua ini menjadi bukti bahwa Rasulullah Saw. adalah seorang politikus handal, di samping beliau seorang Nabi yang menerima wahyu. Sebaliknya, kemaslahatan tersebut bisa menimbulkan kesibukan yang berdampak buruk, sebab masalah seksual bisa membuat jiwa seseorang terengah-engah. Namun, Allah memberi keistimewaan tersendiri kepada Rasulullah Saw. sebab Allah membatasi jumlah istri bagi umatnya maksimal empat atau kurang dari itu, artinya selain Rasulullah Saw. tidak boleh beristri lebih dari empat sekaligus.

Ada beberapa konspirasi untuk melenyapkan Islam, atau orang-orang bodoh yang selalu menyerang Islam. Alasannya, karena Islam membolehkan poligami. Semua itu dapat kami lihat dengan jelas, sehingga kami katakan bahwa serangan mereka terhadap Islam -karena Islam membolehkan poligami- merupakan konspirasi global yang dilakukan oleh dua negara besar: Amerika dan Inggris. Untuk melancarkan usahanya mereka membuka berbagai Universitas, di antaranya Universitas Amerika di Beirut dan di Iskandariyah. Mereka juga mengirim beberapa alumninya ke negeri-negeri Islam untuk membuka lembaga pendidikan di sana. Konspirasi mereka ditempuh melalui tiga tahapan:

1. Marhalah at-Tasykik, yaitu tahapan menciptakan keraguan terhadap kelayakan dan kebaikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam, seperti masalah bolehnya poligami, cerai, haramnya riba, dan sebagainya.

2. Marhalah an-Nabdu, yaitu tahapan menjauhkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam, setelah mereka berusaha meyakinkan umat Islam, bahwa nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam sudah tidak layak lagi.

3. Marhalah ath-Tharhu, yaitu tahapan penawaran. Dalam tahapan ini mereka berkonspirasi menawarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mereka buat sendiri sebagai pengganti atas nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam.

Motivasi dilakukannya konspirasi global tersebut adalah karena negara-negara itu yakin bahwa mereka tidak akan mampu menguasai negeri-negeri kaum muslimin, selama kaum muslimin tetap berpegang teguh dengan agamanya. Mengingat hanya dengan Islam kaum muslimin akan senantiasa memperoleh kemuliaannya. Untuk itu, kaum muslimin harus menolak setiap kekuasaan asing (kafir). Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidak ada bagi orang kafir kekuasaan atas orang Islam.”

Maka untuk dapat menguasai negeri-negeri Islam, mereka harus melenyapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam terlebih dahulu, selanjutnya mereka ganti dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dapat membantu sampainya mereka kepada kepentingannya.
Agar mudah sampai pada tujuannya ini, mereka melakukan dua hal berikut:

Pertama, menebarkan perbuatan amoral dan akhlak yang tidak terpuji di tengah-tengah kaum muslimin. Mereka melakukannya dengan cara memperalat para wanita penghibur (prostitusi), dan para pecandu narkoba. Mereka berkata, “Segelas minuman keras dan seorang wanita tuna susila mampu berbuat di tengah-tengah umat Muhammad sesuatu yang tidak mampu dilakukan oles seribu tentara.”
Maka dengan banyaknya wanita yang senang membuka auratnya, akan membantu keberhasilan usaha mereka dalam menebarkan perbuatan amoral dan akhlak yang tidak terpuji. Mengingat jumlah wanita di dunia lebih banyak dibanding jumlah laki-laki, maka dengan menghalangi dijalankannya hukum (aturan) poligami dari kehidupan, akan melahirkan banyak wanita yang tidak bermoral. Dengan demikian, perbuatan amoral dan akhlak yang buruk akan mudah mereka tebarkan.

Kedua, membatasi pertumbuhan penduduk di dunia Islam, sebab pertumbuhan penduduk yang ada di dunia Islam telah membuat mereka risau. Secara umum di Barat sedang mengalami kekurangan penduduk, maka bertambahnya jumlah penduduk di dunia Islam, berarti bertambahnya kekuatan yang besar, padahal keadaan seperti itulah yang sangat mereka takutkan. Mereka telah mencegah para wanita hamil dengan menghalangi mereka bersuami. Cara ini memungkinkan untuk membatasi jumlah penduduk. Sedang cara yang dapat mewujudkan itu semua adalah dengan cara menghalangi diberlakukannya hukum poligami dari kehidupan.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Perjalanan Muhammad Bersama Pamannya Ke Syam, Dan Kisah Buhaira



11. Perjalanan Muhammad Bersama Pamannya Ke Syam, Dan Kisah Buhaira

Ketika Muhammad telah berumur dua belas tahun, Abu Thalib pergi bersama rombongan pedagang menuju Syam. Di saat mereka bersiap-siap dan sepakat untuk berangkat, Rasulullah Saw. ikut bersama rombongan yang di dalamnya ada Abu Thalib. Abu Thalib berkata, “Demi Allah, aku akan membawamu bersamaku, sebab aku dan dia tidak dapat berpisah selamanya.”
Setelah lama berjalan sampailah mereka di kota Bushra. Di Bushra ada tempat pertapaan rahib. Tempat itu tidak pernah sepi dari rahib yang sedang belajar dan mengajarkan ilmu tentang agama Nasrani yang terdapat dalam kitab-kitab yang mereka wariskan dari generasi ke generasi -seperti yang mereka tuturkan. Rahib yang ada ketika itu bernama Buhaira.
Sebelumnya, rombongan itu sudah biasa melewati tempat tersebut, namun rahib itu tidak pernah berbicara, apalagi menemui mereka. Ketika rombongan itu sudah dekat dengan tempat pertapaannya, maka dia membuat makanan yang banyak untuk mereka. Hal itu dia lakukan karena dia melihat sesuatu dari tempat pertapaannya, sesuatu itu adalah Muhammad Saw. yang sedang bersama rombongan, dan awan yang selalu menaungi mereka. Ketika mereka berada di bawah pohon yang tidak jauh dari tempatnya, dia melihat awan juga menaungi pohon itu, serta dahan-dahannya yang mengarah pada Rasulullah saw, sehingga Rasulullah Saw. dapat berteduh di bawahnya. Wallahu a’lam.
Setelah melihat itu semua, Buhaira turun dari tempat pertapaannya, kemudian dia menemui mereka dan berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, sungguh aku telah membuatkan makanan untuk kalian, dan aku akan merasa senang jika kalian bisa hadir semua untuk menikmatinya, baik yang besar maupun yang kecil, budak maupun yang merdeka.”

Salah seorang dari mereka berkata, “Demi Allah, punya hajat apa, hai Buhaira? Sebelumnya, kamu belum pernah berbuat seperti ini terhadap kami. Padahal, kami sudah biasa lewat di sini, maka apa hajatmu hari ini?” Buhaira berkata, “Benar, apa yang kamu katakan, namun sekarang kalian adalah tamuku, sehingga aku ingin memulyakan dan menghidangkan makanan untuk kalian, maka aku berharap kalian semua sudi menikmatinya.”
Mereka semua berkumpul di tempat Buhaira, sedang Rasulullah Saw. mereka tinggalkan di bawah pohon bersama kendaraan mereka, sebab Rasulullah Saw. masih kecil. Ketika Buhaira mengamati orang-orang yang ada di tempatnya, dia tidak melihat di antara mereka adanya sifat-sifat seperti yang dia ketahui dari kitabnya.
Buhaira berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, adakah dari kalian yang tidak turut menikmati hidangan ini.” Mereka berkata, “Wahai Buhaira, semuanya ada di sini, kecuali seorang anak kecil yang kami tinggalkan bersama kendaraan kami, sebab dia masih terlalu kecil menurut kami.” Buhaira berkata, “Kalian jangan berbuat seperti itu, panggillah dia, sehingga dia juga dapat menikmati hidanganku bersama kalian.”
Salah seorang dari mereka berkata, “Demi Lata dan Uzza, kami merasa dilecehkan karena tidak mengajak putra Abdullah bin Abdul Muththalib menikmati hidangan bersama kami.” Lalu orang itu pergi, dan tidak lama kemudian dia datang dengan Muhammad Saw. dan membawanya duduk di tengah-tengah mereka.

Ketika Buhaira melihat Rasulullah Saw., maka mulailah dia mengamati fisik dan gerak-geriknya, akhirnya Buhaira menemukan bahwa sifat-sifat itu ada pada putra Abdullah bin Abdul Muththalib. Setelah mereka selesai menikmati hidangan dan meninggalkannya. Buhaira mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai anak kecil, aku bertanya kepadamu tentang kebenaran Lata dan Uzza, atau beri tahu aku apa itu Lata dan Uzza.” Buhaira berkata begitu karena dia mendengar di antara mereka bersumpah dengan Lata dan Uzza. “Kamu jangan bertanya kepadaku tentang Lata dan Uzza, sebab tidak ada sesuatu yang paling aku benci selain keduanya,” jawab Rasulullah Saw.
Buhaira berkata, “Sungguh, kamu tidak akan memberi tahu apa yang aku tanyakan.” Muhammad Saw. berkata, “Bertanyalah kepadaku tentang sesuatu yang kamu anggap lebih penting.” Maka mulailah Buhaira bertanya kepadanya tentang keadaan tidurnya, gerak-geriknya, dan kejadian-kejadian yang pernah dialaminya. Semua jawaban Rasulullah Saw. sesuai dengan sifat-sifat yang diketahui Buhaira dari kitabnya.
Kemudian Buhaira membuka punggung Rasulullah Saw., lalu dia melihat stempel kenabian ada di antara dua pundaknya, ini juga persis dengan sifat yang diketahui dari kitabnya.
Setelah merasa cukup puas, Buhaira mendekati pamannya Abu Thalib. Buhaira berkata, “Mengapa anak ini bersamamu?” “Dia anakku,” jawab Abu Thalib. Buhaira berkata, “Bukan, ini bukan anakmu, sebab tidak mungkin dia begini kalau saja ayahnya masih hidup.” Abu Thalib berkata, “Yang benar, dia adalah putra saudaraku.” Buhaira berkata, “Bagaimana dengan ayahnya?” Abu Thalib berkata, “Wafat sejak dia dalam kandungan ibunya.” Buhaira berkata, “Kamu benar, sekarang bawa pulang kembali keponakanmu, dan berhati-hatilah dengan orang-orang Yahudi, sebab kalau mereka tahu, pasti mereka akan berbuat buruk kepadanya. Sebenarnya dalam diri keponakanmu tersimpan sesuatu yang sangat besar. Untuk itu, bawalah dia segera ke negerinya.”

Apa yang dikatakan Buhaira tidak berpengaruh sedikitpun pada diri Muhammad Saw., beliau tidak pernah mengingatnya, dan beliau tidak punya keinginan untuk memimpin kaumnya. Sehingga akhirnya wahyu turun kepadanya, dan beliau menerima pucuk kepemimpinan umat.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Muhammad SAW Kecil Diasuh Halimah Sa’diyah



7. Berkah Menyusui Rasulullah Saw. Bagi Bani Sa'ad

Halimah berkisah bahwa dia pergi meninggalkan daerah tempat tinggalnya bersama suaminya al-Harits bin Abdul ‘Uzza dan anaknya yang masih menyusu, yaitu Abdullah bin al-Harits. Sudah menjadi kebiasaan para wanita Bani Sa’ad mencari pekerjaan sebagai tukang menyusui bayi.
Sehingga, ketika musim paceklik tiba dan mereka sudah tidak memiliki apa-apa lagi... Halimah berkata, “Aku mempunyai keledai betina yang warnanya agak hijau dan unta betina yang sudah tua. Demi Allah, unta betina itu tidak menghasilkan susu setetes pun, sehingga kami setiap malam tidak dapat tidur, sebab bayi kami terus menangis karena lapar, air susuku tidak mencukupi, sedang air susu untaku tidak membuat aku kenyang, namun kami terus berharap untuk mendapatkan pertolongan dan kemudahan hidup. Aku pergi mengendarai keledaiku, ketika aku sudah merasa lelah dan kurus karena perjalanan yang sangat jauh, maka sampailah aku di Makkah. Di Makkah aku menawarkan jasa sebagai tukang menyusui bayi. Namun, tidak satupun wanita yang menawarkan bayinya untuk disusukan kepadaku, kecuali satu orang wanita saja, yaitu Aminah yang menawarkan Rasulullah (Muhammad) Saw. Awalnya, aku tidak mau menerimanya, sebab dia itu yatim, sedang aku berharap mendapatkan bayi yang ayahnya masih ada (hidup). Sebab, kalau anak itu yatim, apa yang akan diperbuat oleh ibu dan kakeknya, aku tidak suka itu. Melihat semua wanita dari Bani Sa’ad sudah mendapatkan bayi untuk disusuinya, kecuali aku, maka ketika kami hendak kembali, aku berkata pada suamiku, Demi Allah, aku tidak ingin pulang tanpa membawa bayi yang akan aku susui. Demi Allah, aku akan pergi mengambil bayi yatim itu. Suamiku berkata, Lakukanlah, mudah-mudahan Allah memberi kita berkah dengan adanya bayi itu.”

Halimah berkata, “Aku pun pergi mengambil bayi yatim itu. Setelab aku ambil, aku gendong dia menuju kendaraanku. Ketika aku taruh dia di pangkuanku, maka air susuku menjadi deras, sehingga dia dan saudaranya dapat minum dengan puas, lalu keduanya tidur. Kami pun dapat merasakan tidur nyenyak yang tidak pernah kami rasakan sebelumya. Dan ketika suamiku pergi melihat unta betina kami, maka ia mendapatinya sedang air susunya penuh. Lalu suamiku mengambil air susunya untuk kami minum bersama-sama hingga kami merasa puas dan kenyang. Itulah malam pertama yang kami lalui dengan penuh kebaikan dan kebahagiaan.”

Halimah berkata, “Ketika pagi suamiku berkata: Ketahuilah! Hai Halimah, sungguh kamu telah mengambil manusia pembawa berkah.” Aka berkata: Demi Allah, memang itu yang aku harapkan.” Kemudian kami pergi. Sedang aku dan bayi yatim yang aku bawa menunggang keledaiku. Demi Allah, keledaiku mampu menempuh perjalanan yang tidak dapat dilakukan oleh keledai-keledai yang lain, sehingga teman-temanku berkata kepadaku: “Hai anak perempuan Abi Duaib, lihatlah kami, tidakkah ini keledaimu yang kamu tunggangi sebelumnya?” Aku berkata: “Tentu, keledai ini adalah keledai yang aku tunggangi sebelumnya.” Mereka berkata: “Demi Allah, keledaimu sekarang lain daripada yang lain.” Tidak lama kemudian, kami pun sampai di rumah di daerah Bani Sa’ad. Tanah di daerah Bani Sa’ad meupakan tanah yang paling gersang yang ada di bumi Allah ini. Namun, ketika kami sampai di rumah, kami dapati kambing-kambing kami sudah kenyang dan putingnya penuh dengan susu, lalu memerasnya dan meminumnya. Sedang kambing-kambing tetanggaku tidak didapati setetespun air susu di putingnya. Sehingga mereka berkata kepada tukang gembalanya: “Gembalakanlah kambing-kambing ini di mana kambing-kambing anak perempuan Abi Duaib digembalakan.” Meski demikian, kambing-kambing mereka pulang dalam keadaan masih lapar dan putingnya tidak berisi air susu setetespun. Sedang kambing-kambing kami pulang dalam keadaan kenyang dan putingnya penuh dengan air susu.”

“Kami senantiasa mendapatkan tambahan kebaikan dari Allah hingga Muhammad berumur dua tahun dan aku menyapihnya. Muhammad mengalami pertumbuhan yang sangat cepat tidak seperti anak-anak yang lain. Ketika umurnya masih belum mencapai dua tahun dia sudah kelihatan sebagai anak yang kekar dan kuat. Kami kembalikan dia pada ibunya. Padahal kami masih sangat ingin dia tinggal bersama kami, sebab kami melihat berkah yang ada padanya. Kami memohon kepada ibunya, agar mengijinkan Muhammad tetap tinggal bersama kami hingga besar dan kuat, dan dia mengijinkannya.”

Dengan demikian kami yakin bahwa berita tentang Muhammad dan berkahnya terhadap keluarga rumah yang ditempatinya telah tersebar ke seluruh penjuru daerah (pedalaman). Tersebarnya berita itu dikuatkan dengan perintah para orangtua kepada para anaknya, “Gembalakanlah kambing-kambing kalian di mana kambing-kambing Halimah digembalakan.” Ketika kambing-kambing mereka pulang keadaannya tetap seperti semula, sedang kambing-kambing Halimah pulang dalam keadaan kenyang. Melihat hal itu, pasti timbul dalam diri mereka beribu-ribu pertanyaan untuk mengetahui rahasianya. Sebab keadaan Halimah tidak pernah mengalami perubahan, kecuali setelah masuknya anak ini (Muhammad) ke dalam rumahnya. Semua ini berpengaruh dalam menarik perhatian masyarakat pedalaman terhadap Muhammad Saw. sejak dini.

8. Muhammad Dibelah Dadanya Dan Dikembalikan Pada Keluarganya

Kejadian tentang dibelahnya dada Muhammad, maka kami serahkan kepada Halimah as-Sa’diyah untuk menceritakannya, sebab dialah orang yang paling tahu tentang hal itu.
Halimah berkisah, “Beberapa bulan setelah Muhammad aku bawa kembali ke daerah pedalaman, dia bersama saudaranya -Abdullah bin al-Harits putra Halimah-dan beberapa anak kambing sedang berada di belakang rumah, tiba-tiba saudaranya datang kepada kami dalam keadaan tegang dan tergopoh-gopoh, lalu dia berkata, “Saudaraku orang Quraisy itu diambil dua orang lelaki berpakaian putih-putih, kemudian kedua orang itu membaringkannya dan lalu membelah dadanya, selanjutnya kedua orang itu mengacak-acak isi perutnya.” Mendengar itu semua, maka aku dan ayahnya segera keluar, ternyata kami mendapati Muhammad dalam keadaan berdiri sedang wajahnya tampak lemah dan pucat, lalu dengan cepat kami memeluknya. Kami bertanya, “Apa yang terjadi pada dirimu, wahai anakku?” Dia berkata, “Telah datang kepadaku dua orang lelaki berpakaian putih-putih, lalu aku dibaringkan dan perutku dibelah, terakhir keduanya menaruh sesuatu ke dalam perutku, namun aku tidak tahu apa itu?”

“Setelah kami kembali ke rumah, suamiku berkata, “Wahai Halimah, aka khawatir anak ini akan terkena musibah, maka lebih baik kita kembalikan saja, sebelum musibah itu menimpanya.” Kami gendong dia untuk dikembalikan kepada ibunya. Ibunya berkata, “Mengapa kamu kembalikan Muhammad, hai Halimah, padahal kamu sangat merasa senang jika dia tetap tinggal bersamamu?” Aku berkata, “Allah telah menjadikan dia besar, dan telah lama hidupnya dihabiskan bersamaku, namun sekarang aku takut dia tertimpa musibah, untuk itu aku kembalikan dia kepadamu, meski aku sangat mencintainya.” Ibunya berkata, “Apakah kamu takut dia akan dikerjai setan?” Aku berkata, “Ya.” Ibunya berkata, “Jangan takut, demi Allah, tidak ada jalan bagi setan untuk mengerjainya, sebab putraku akan memiliki kedudukan penting, maukah kamu aku beritahu berita tentang dia.” Aku berkata, “Tentu aku mau.” Ibunya berkata, “Ketika aku mengandungnya, aku melihat dariku keluar cahaya yang menerangi Istana Bushra di daerah Syam, dan aku tidak merasakan ada beban sedikitpun ketika aku mengandungnya, sedang di saat dia lahir, dia meletakkan kedua tangannya di bumi, sementara kepalanya dihadapkan ke langit. Karena itu, biarkanlah dia tetap tinggal bersamamu hingga besar.”
Dengan demikian, Rasulullah Saw. tinggal bersama Halimah selama empat tahun, dan setelah itu baru dia dikembalikan kepada ibunya di Makkah.

Kejadian tersebut merupakan salah satu bentuk di antara bentuk-bentuk persiapan yang dilakukan oleh Allah terhadap Muhammad Saw. sebab dia akan menjadi Nabi sekaligus pemimpin bagi semua umat.

Kami katakan bahwa pembelahan dada ini merupakan upaya untuk menarik perhatian, sehingga pribadi Muhammad menjadi sorotan sebagai introduksi sebelum Muhammad menerima kepemimpinan, dan agar manusia selalu ingat bahwa Muhammad tidak sama dengan manusia yang lain. Dengan demikian, manusia sudah tahu tentang keistimewaan Muhammad sejak bayi hingga beliau menyusu pada Halimah.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Muhammad SAW Keturunan Dari Dua Orang yang Disembelih



2. Keturunan dari Dua Orang yang Disembelih

Allah Swt. memerintahkan Ibrahim as. agar menyembelih putranya, Ismail. Ketika Ibrahim as. melaksanakan perintah-Nya, maka Allah Swt. menggantinya dengan sembelihan yang besar. Dan dari Ismail inilah lahir nasab Rasulullah Saw.
Ketika Abdul Muththalib kakek Rasulullah Saw. hendak membuka Zamzam, maka orang-orang Quraisy menentangnya dengan keras. Kemudian Abdul Muththalib bernadzar, kalau dia dikaruniai sepuluh orang anak dan semuanya hidup, maka dia akan menyembelih salah satu dari mereka untuk Allah di sisi Ka’bah. Ketika dia benar-benar dikaruniai sepuluh orang anak, dan dia yakin bahwa mereka akan menolaknya, maka dikumpulkanlah mereka, lalu dia memberitahukan kepada mereka tentang nadzarnya, dan dia mengajak mereka agar menepati nadzarnya karena Allah, mereka mentaatinya, dan berkata: “Bagaimana kami melakukan?” Abdul Muththalib berkata: “Hendaklah masing-masing dari kalian mengambil satu anak panah, lalu tulislah nama pada anak panah itu, kemudian serahkan kepadaku.” Mereka melaksanakan apa yang diperintahkannya dan masing-masing menyerahkan anak panah kepadanya. Kemudian Abdul Muththalib memasukkan semua anak panah itu ke dalam Hubal (Hubal adalah nama berhala (sesembahan) orang-orang Quraisy). Sedang Hubal terletak di atas sumur di tengah Ka’bah. Sumur itu merupakan tempat untuk mengumpulkan apa saja yang dihadiahkan untuk Ka’bah.

Abdul Muththalib berkata kepada pemilik batu pemukul: “Pukullah tempat yang di dalamnya semua anak panah putra-putraku dikumpulkan.” Abdul Muththalib memberitahukan kepada pemilik batu pemukul tentang nadzarnya dan apa yang dia perintahkan kepada putra-putranya. Ketika itu, Abdullah bin Abdul Muththalib merupakan putra yang paling kecil dan paling disayanginya, sehingga dia berharap agar anak panah yang keluar nanti bukan milik Abdullah. Ketika pemilik batu pemukul telah siap memukulnya, maka Abdul Muththalib berdiri di sisi Hubal sambil berdo'a kepada Allah, lalu pemilik batu pemukul memukulkannya dan keluarlah anak panah dengan nama Abdullah.

Abdul Muththalib mengambil anak panah itu dan pisau, lalu dia mendekati putranya yang anak panahnya keluar untuk disembelihnya. Orang-orang Quraisy tidak tega melihat hal itu terjadi, maka berdirilah mereka dan berkata: “Apa yang kamu inginkan, hai Abdul Muththalib?” Abdul Muththalib berkata: “Aku akan menyembelihnya.” Orang-orang Quraisy dan anak-anaknya berkata kepadanya: “Demi Allah, jangan kamu lakukan itu selamanya. Jika tidak, maka kamu akan menyesalinya. Jika kamu tetap ingin melakukannya, maka kamipun tetap akan menghalanginya, kecuali kalau kamu sudah menyembelihnya.”
Apa arti pembelaan mereka dalam kasus ini! Al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum sepupu Abdullah berkata kepada Abdul Muththalib: “Demi Allah, jangan kamu lakukan itu selamanya. Jika tidak, maka kamu akan menyesalinya. Jika Abdullah bisa diganti dengan harta kami, maka kami akan menggantinya.”
Orang-orang Quraisy dan anak-anaknya berkata kepadanya: “Jangan teruskan! Sekarang, pergilah kamu ke Hijaz sebab di sana ada seorang paranormal yang memiliki jin laki-laki. Tanyakanlah kepadanya, kemudian selesaikanlah urusanmu. Jika dia memerintahkan kamu agar menyembelihnya, maka sembelihlah Abdullah, dan jika dia memerintahkan kamu dengan perintah yang menggembirakan kamu dan Abdullah, maka terimalah perintahnya itu.”

Mereka pun berangkat dan berjalan dengan cepat hingga sampai di Madinah. Mereka mengetahui bahwa paranormal itu tinggal di Khaibar. Mereka terus berjalan sampai bertemu dan bertanya kepadanya. Abdul Muththalib bercerita kepada paranormal itu tentang dirinya dan putranya, serta apa yang diinginkan dari putranya dan juga nadzarnya. Paranormal itu berkata: “Sekarang menyingkirlah kalian dariku, sampai jin laki-laki milikku datang dan aku bertanya kepadanya.” Mereka pun menyingkir darinya.
Ketika mereka bersiap-siap hendak pulang, Abdul Muththalib berdiri dan berdo’a kepada Allah. Setelah mereka selesai sarapan, paranormal itu berkata: “Telah datang berita kepadaku. Berapa diyat (tebusan) yang kalian miliki?” Mereka menjawab: “Sepuluh ekor unta.” Paranormal itu berkata: “Pulanglah ke negeri kalian, dan sesampainya di sana kurbankan anak kalian berikut sepuluh ekor unta itu, lalu pukullah dengan batu pemukul itu, jika yang keluar anak panah milik anak kalian, maka tambahlah sepuluh ekor unta lagi, dan jika yang keluar anak panah untuk unta, maka sembelihlah unta itu. Dengan demikian, selamatlah anak kalian.”

Mereka pulang ke Makkah. Ketika sudah di Makkah dan persiapan semua kebutuhan telah tersedia, maka Abdul Muththalib berdiri sambil berdo'a kepada Allah. Kemudian mereka kurbankan Abdullah bersama sepuluh ekor unta. Abdul Muththalib berdiri di sisi Hubal sambil berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, lalu dipukullah tempat dikumpulkannya anak panah, dan keluarlah anak panah milik Abdullah, maka mereka tambahkan sepuluh ekor unta lagi, sehingga jumlahnya menjadi dua puluh ekor unta. Anehnya, kejadian itu terus berulang, setiap kali tempat anak panah dipukulnya, maka yang keluar selalu anak panah milik Abdullah, sehingga jumlah untanya mencapai seratus ekor. Abdul Muththalib berdiri dan berdo’a kepada Allah, lalu dipukulnya tempat anak panah itu, dan keluarlah anak panah untuk unta.

Orang-orang Quraisy dan orang-orang yang hadir di tempat itu berkata: “Cukup! Tuhanmu telah ridha wahai Abdul Muththalib.” Abdul Muththalib berkata: “Tidak, demi Allah, aku tidak akan berhenti sehingga aku memukulnya tiga kali lagi.” Dan setiap kali dipukulnya, maka yang keluar anak panah untuk unta, lalu disembelihlah unta-unta itu. Orang-orang pun berpaling membiarkannya tidak menghalanginya.
Dengan demikian, orang-orang Quraisy telah menjaga Abdullah ayah Muhammad-Rasulullah Saw. sesudah itu. Ini merupakan introduksi dalam membangun argumentasi yang pasti bagi mereka yang akan menentang dakwah Rasulullah Saw. dan haknya sebagai pemimpin.

Allah Swt. telah menyelamatkan ayah Muhammad dari penyembelihan, maka Muhammad pun merasakan keselamatan itu. Tujuan dari peristiwa ini dan semua kejadian di dalamnya merupakan sorotan atas pribadi Muhammad Saw. sejak dini. Kesiagaan orang-orang Quraisy menjaganya dan tidak menyia-nyiakannya, sebab suatu saat anak dari ayah yang diselamatkan dari penyembelihan itu akan dirasakan nikmatnya, ia akan tumbuh besar dan menghasilkan buah yang matang, segar dan enak dimakan oleh semua umat manusia.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Waktu Aqiqah Dan Hewan Untuk Aqiqah


 
Pertama, Sifat Sembelihan yang Layak (Sah) Sebagai Aqiqah

Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya, al-Majmu', ”Hewan yang layak (sah) disembelih sebagai aqiqah adalah domba yang dewasa dan kambing yang dewasa yang sudah memiliki gigi seri (gigi depan). Domba dan kambing itu harus selamat dari cacat. Karena aqiqah adalah mengalirkan darah secara syar'i (sesuai dengan tuntunan Islam) maka sifat-sifat hewan yang disembelih untuk aqiqah sama dengan sifat-sifat hewan yang disembelih untuk kurban…”

Sifat-sifat hewan yang disembelih sebagai aqiqah harus sama dengan sifat-sifat hewan yang disembelih sebagai kurban.

Kedua, Waktu Penyembelihan Hewan Aqiqah

Menurut sunnah Nabi, penyembelihan hewan aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahirannya dengan menghitung hari kelahirannya. Jadi, hewan aqiqah hanya terhitung disembelih pada hari keenam jika hari kelahiran tidak dihitung. Apabila sang anak dilahirkan pada malam hari maka dihitung dari hari setelah malam kelahiran itu.

Penyembelihan hewan kurban dilaksanakan pada hari ketujuh, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abdullah ibn Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda,

"Hewan aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, hari keempat belas, dan hari kedua puluh satu.” (Hadits shahih, silakan lihat: Shahih al-Jami’ (4132) diriwayatkan oleh al-Baihaqi' (9/303), ath-Thabrani dalam ash-Shaghir halaman 149 dan dalam al-Ausath (1/143) dalam riwayat tersebut terdapat nama Isma’il ibn Muslim, ia dinyatakan dha'if karena banyak berbicara dan berdusta)

Samurah ibn Jundab r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda,

Setiap anak yang dilahirkan itu tergadai dengan aqiqahnya, yaitu seekor kambing yang disembelih untuknya pada hari ketujuh, lalu si anak diberi nama dan rambut kepalanya dicukur.” (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam kitab Qurban (1575) ia berpendapat hasan shahih, Abu Dawud dalam kitab Qurban pada bab: al-'Aqiqah (2838) dan Ibnu Majah (3165). Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi (1229)

Menurut penganut Mazhab Hanbali, aqiqah disembelih pada hari ketujuh dan seterusnya, kelipatan tujuh. Mereka memiliki beberapa riwayat untuk itu.

Sedangkan menurut penganut Mazhab Syafi'i disebutkan bahwa penyebutan tujuh itu untuk ikhtiyar (pilihan) bukan keharusan. Rafi'i menambahkan bahwa waktu penyembelihan hewan aqiqah dimulai dari kelahiran bayi.

Imam Syafi'i berkata, ”Makna hadits itu adalah penyembelihan aqiqah diusahakan tidak ditangguhkan hingga melewati hari ketujuh. Namun jika memang belum sempat beraqiqah sampai sang bayi telah mencapai usia baligh, maka gugurlah tanggung jawab orang yang seharusnya mengaqiqahkannya. Tetapi jika sang anak ingin beraqiqah untuk dirinya sendiri maka ia boleh melakukannya.

Hadits-hadits yang menjelaskan bahwa anak laki-laki diaqiqahkan dengan dua ekor kambing adalah hadits-hadits yang memiliki kelebihan (jika dibandingkan dengan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa anak laki-laki diaqiqahkan dengan satu kambing).

Disunnahkan memakan hewan aqiqah, boleh juga menghadiahkannya atau menyedekahkannya kepada orang lain, karena aqiqah adalah menyembelih hewan yang hukumnya sunnah muakkad maka hukumnya sama dengan hewan kurban.

Rafi'i berkata, ”Sunnah memberikan bagian kaki dari hewan aqiqah kepada bidan, dokter atau dukun bayi (yang membantu proses kelahiran) sebagaimana yang disebutkan dalam sunan al-Baihaqi, dari Ali r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. memerintahkan Fathimah r.a., “Timbanglah rambut al-Husain, kemudian bersedekahlah dengan perak (seberat rambut yang ditimbang) dan berikanlah bagian kaki hewan aqiqah kepada wanita yang membantu proses kelahiran” (diriwayatkan secara mauquf sampai pada Ali r.a.).

Bacaan: Ahmad ibn Mahmud ad-Dib, Aqiqah: Risalah Lengkap Berdasarkan Sunnah Nabi, Qisthi Press

Islam Juga Agama Untuk Jin



Berimannya jin Nashibin

(Telah ditetapkan secara syar’i bahwa agama Islam ini untuk manusia dan jin. Dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah kepada manusia dan jin, dengan dalil firman Allah Swt.:

“Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengan al-Qur'an ini aku memberi peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur'an (kepadanya).” (TQS. al-An’am [6]: 19)

Dan al-Qur'an diyakini telah sampai kepada jin. Allah Swt. berfirman:

“Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Qur'an), lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur'an yang mena’jubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya.” (TQS. al-Jin [72]: 1-2)

Rasulullah telah menuturkan tentang sampainya risalah Allah dan al-Qur’an kepada mereka (para jin), sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Mas’ud. Ibnu Mas’ud berkata, “Pada suatu malam kami berada bersama Rasulullah, lalu kami kehilangan beliau, kemudian kami mencarinya di lembah-lembah dan jalan-jalan setapak. Dikatakan: menyebarlah! Kalau tidak beliau akan dibunuh dengan cara tipudaya! Akhirnya kami menghabiskan malam dengan perasaan tidak enak. Ketika memasuki pagi, tiba-tiba beliau datang dari arah Gua Hira'. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami kehilanganmu, kami telah mencarimu, namun kami tidak berhasil menemukanmu, akhirnya kami pun menghabiskan malam dengan perasaan tidak enak.” Rasulullah berkata, “Telah datang kepadaku para juru dakwah jin, lalu aku pergi bersama mereka, kemudian aku mengajari mereka al-Qur'an...”)

 Setelah penguasa Thaif menolak memberi pertolongan kekuasaan untuk berdirinya negara Islam di Thaif, Rasulullah Saw. meninggalkan Thaif dan kembali ke Makkah, ketika beliau merasa putus asa untuk mendapat kebaikan dari Bani Tsaqif. Sehingga, ketika beliau telah sampai di lembah kurma, maka di tengah malam beliau mendirikan shalat. Lalu tujuh rombongan jin dari komunitas Nashibin melintasi Rasulullah Saw., mereka mendengarkan apa yang dibacanya. Setelah beliau selesai menjalankan shalat, mereka para rombongan jin kembali kepada kaumnya untuk memberi peringatan. Mereka benar-benar beriman dan mereka merespon dengan baik apa yang telah mereka dengar.
Allah menceritakan kepada kami kisah mereka di dalam al-Qur’an. Allah Swt. berfirman:

“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Qur'an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).” Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata, “Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Qur'an) yang telah diturunkan setelah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.” (TQS. al-Ahqaf [46]: 29-31)

Sungguh berimannya jin kepada Rasulullah Saw. setelah beliau mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari orang-orang Bani Tsaqif merupakan hiburan yang mampu meringankan dan bahkan menghilangkan perasaan sakitnya.
Berimannya jin ini menjadi penegasan baru bagi Rasulullah Saw. bahwa Allah sekali-kali tidak akan mengabaikannya, bahkan Allah senantiasa menyertainya. Allah mengubah kesedihan yang dihadapi menjadi cahaya yang meneranginya, dan mengubah perasaan sakit menjadi hiburan.
Berimannya jin merupakan penegasan baru bagi Rasulullah Saw. bahwa penduduk bumi apabila mereka lari dari Rasulullah Saw. dan menganiaya, maka di dunia lain, yaitu dunia jin dan malaikat ada yang akan membantunya, menolongnya dan menyerukan dakwahnya. Berimannya jin juga merupakan semangat baru bagi Rasulullah Saw. dalam mengubah masyarakat dari kesombongan dan ketololan orang-orang kafir menjadi beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana berubahnya jin -padahal menurut asalnya mereka adalah makhluk Allah yang paling jahat di antara keturunan iblis yang terlaknat- menjadi kaum yang beriman. Bahkan mereka menjadi para juru dakwah bagi agama yang baru ini, yakni agama yang diserukan oleh Rasulullah Saw.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam