Oleh: Ilfa Al Adibah,
owner ”Arabiyah Mabdaiyyah” kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur
Muslimah yang
mengenakan pakaian syar'i, kerudung dan jilbab, kini sudah mudah dijumpai.
Dulu, jangankan mengenakan pakaian Muslimah sesempurna itu, sekadar berkerudung
saja sangat langka. Kiranya masih tergambar jelas pada era tahun 1990-an, para
siswi yang berkerudung ketika bersekolah akan mendapatkan label ekstrimis,
garis keras, dan berbagai cap negatif lainnya. Fashion pun saat itu dibanjiri
dengan mode-mode barat ala Paris-Prancis sebagai mercusuar fashion dunia. Tanpa
kita sadari, semua tren itu mengalami perubahan.
Sekarang,
lembaga-lembaga pendidikan mulai tingkat dasar hingga tingkat atas telah
memberikan hak sepenuhnya bagi orangtua siswa yang ingin putrinya menutup aurat
dengan sempurna. Bukan hanya yang ber-background
agama saja, yang umum pun tak mau kalah memberikan ruang bebas bagi para
siswinya yang ingin berkerudung. Begitu pula fashion negeri ini, perlahan tapi
pasti telah menuju perubahan yang lebih positif. Masyarakat sudah semakin paham
akan kewajiban bagi para Muslimah untuk menutup auratnya.
Kondisi ini pun
didukung juga dengan semakin bertambahnya jumlah public
figure yang telah menanggalkan fashion jahiliyahnya menuju fashion
syar'i. Bahkan tidak hanya berhenti pada masalah fashion saja, seiring
pemahaman yang terus bertambah tentang Islam, mereka pun berlomba-lomba untuk
membentuk majelis taklim di sekitar lingkungan mereka yang semakin hari semakin
menjamur.
Pilar
Tegaknya Masyarakat Islam
Terlepas dari fenomena
membahagiakan ini, ada beberapa hal yang tidak boleh terlupakan. Bahwa
bergesernya perilaku masyarakat dari yang negatif menuju positif, jahiliyah
menuju Islami, ini semua tidak lepas dari peran dakwah, amar ma'ruf nahi munkar.
Apabila kita
menginginkan masyarakat kita menjadi masyarakat yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur, menjadi negara yang
diridhai Allah SWT, maka parameternya tidak berhenti pada individu-individunya
saja. Individu yang bertakwa belum cukup bagi tegaknya negara Islam yang kuat.
Ketika individu ini lemah, maka dibutuhkanlah kontrol masyarakat supaya menjadi
kuat kembali.
Rasulullah SAW
bersabda yang artinya, ”Perumpamaan orang-orang yang mencegah berbuat maksiat
dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang menumpang kapal. Sebagian dari
mereka berada di bagian atas dan yang lain berada di bagian bawah. Jika
orang-orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati
orang-orang yang berada di atasnya. Lalu mereka berkata: “Andai saja kami
lubangi (kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang
yang berada di atas kami” Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh
orang-orang yang berada di atas (padahal mereka tidak menghendaki), akan
binasalah seluruhnya. Dan jika dikehendaki dari tangan mereka keselamatan, maka
akan selamatlah semuanya." (HR. Bukhari)
Namun, saat kita masih
tetap berada dalam sistem kapitalis-sekuler-liberal seperti saat ini, mustahil
akan ditemukan kontrol masyarakat yang kuat, yang saling mengingatkan, amar ma'ruf nahi munkar. Yang ada adalah
tawar-menawar kepentingan dengan sejumlah materi yang menggiurkan. Tidak ada
lagi batas norma-norma agama, halal-haram pun sirna.
Sehingga, tidak ada
kata lain lagi sebagai solusi hakiki bagi tegaknya negara yang diridhai selain
adanya penerapan syariat Islam secara kaffah. Pintu tawar-menawar terkait hukum
Allah SWT sudah jelas akan tertutup rapat. Yang ada adalah fastabiqul khairat, saling berlomba dalam
menjalankan semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya. Mulai tingkat
pejabat hingga rakyat. Maka untuk saat ini, sejatinya esensi amar ma'ruf nahi munkar yang telah Baginda
Rasulullah SAW contohkan adalah dakwah untuk membaiat seorang khalifah yang
akan menerapkan Islam secara sempurna dalam institusi Daulah Khilafah Rasyidah,
hingga dengannya mutiara-mutiara umat akan tetap terjaga dan terus memancarkan
cahayanya, tidak hanya Indonesia tapi seluruh dunia. Insya AIIah. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 148, April 2015
---