Dulu saya selalu
bertanya-tanya, bagaimana mungkin kita dapat mengopinikan Islam, padahal
media-madia hampir semuanya dimiliki oleh pihak yang anti kepada Islam? Yang
alih-alih mengopinikan Islam secara baik, bahkan justru sebisa mungkin
memberikan stigma negatif bagi Islam dan kaum Muslim.
Kita bisa lihat dalam
pemberitaan-pemberitaan yang lalu. Saat ditangkap seorang yang diduga teroris
misalnya, media langsung menyorot segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam
seperti sajadah, buku-buku Islami sampai gambar Ka'bah. Seolah-olah ingin mengopinikan,
semakin Islami Anda maka akan semakin dekat Anda dengan terorisme.
Pernyataan yang
menyudutkan Islam ditayangkan terus-menerus, tak berimbang dengan pernyataan
lain yang lebih logis tapi membela Islam. Media berseberangan dengan Islam, dan
pasalnya kebanyakan orang dipengaruhi oleh media, bagaimana caranya?
Tapi saya yakin, Allah
ya pasti punya cara, yang perlu kita lakukan toh hanya perintah Allah yaitu
beriman dan meyakini akan pertolongan Allah itu, dan beramal
seshalih-shalihnya, semaksimal mungkin yang kita mampu. Pasti ada jalannya,
Rasulullah dan sahabatnya pun sudah berkali-kali membuktikannya.
Siapa sangka itu
terjadi di zaman kita. Revolusi komunikasi via media sosial menjungkirbalikkan
semua logika. Media mainstream semisal TV dan koran kehilangan pangsa pasar
yang sangat besar, generasi baru digital lebih banyak menghabiskan waktunya di
internet, di media sosial.
Yang berarti,
informasi menjadi sesuatu yang lebih egaliter, tidak lagi didikte dari atas ke
bawah, tapi horizontal antar kita. Artinya, umat lebih mudah untuk mendapatkan
kebenaran, sebab siapa saja pada zaman media sosial ini bisa menjadi sumber
berita.
Memang ada kurang dan
lebihnya, hoax yang semakin umum di
antara kita, cyber-bullying, sampai
tiadanya privasi menjadi kekurangan. Hanya saja kelebihannya juga banyak, opini
bisa cepat dibentuk di antara umat, dan umat lebih bisa satu perasaan.
Lihat saja, bagaimana
heroisme para mujahid Ciamis. Opini umum yang tadinya buruk terhadap aksi
#BelaQuran 212, sebab dikaitkan dengan makar, menggoyang negara, dan sarat
politis, dihabisi bahkan dibalikkan secara indah lewat langkah-langkah kaki
mereka. Bahasa medianya killer content.
Walau media mainstream
menutupi, tapi jiwa-jiwa yang jujur tidak bisa tidak, tertaut satu sama lain,
haru bercampur bangga juga malu menjalar dengan cepat, menggerakkan para
mujahid Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, untuk melakukan hal yang serupa,
berjalan kaki berjamaah menuju ibukota. Mereka ingin membuktikan, tak ada yang
bisa melawan panggilan iman. Epik!
Peserta Aksi
#BelaQuran 212 menjadi saksi bagaimana saat perasaan umat menjadi satu sebab
opini umum berpihak pada mereka. Jutaan massa yang berkumpul di ibukota tak
buyar oleh panas, tetap khusyuk dalam hujan, tetap damai walau hati mereka
terluka, tetap berbagi walau mereka berkekurangan.
Allah punya cara, dan
kita tak punya kesempatan lebih baik daripada hari-hari ini dalam membentuk
opini positif bagi Islam dan perjuangan dakwah. Sebab hari-hari ini bukan awak
media yang menentukan apa yang jadi pembicaraan, tapi ide dan jari-jari kitalah
yang menentukan. Opini ada di ujung jari, tergantung kita mau berpartisipasi
atau hanya jadi penonton.
Bendera Rasulullah
yang dulu ditakuti dan diopinikan negatif, bisa disukai, diarak, digiring,
diangkat dengan bangga oleh kaum Muslim, bahkan ibu-ibu pun berfoto welfie dengan bangga dengan bendera itu.
Beberapa channel televisi nasional dan merek roti terkenal sudah merasakan efek
kebangkitan opini umum kaum Muslim ini.
Bagaimana dengan kita?
Sudahkah kita turut serta membentuk opini positif ini, terus-menerus berjuang
sampai umat sepakat dengan penegakan syariah dan khilafah? Walau hanya dengan
mengklik like dan share postingan positif tentang Islam? Kalau
belum, bisa jadi Anda belum serius dalam dakwah!
Felix Y. Siauw: Member
@YukNgajiID
---
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 187