Imam Muslim
meriwayatkan dari Anas bin Malik ra., bahwa dahulu ada seorang Arab badui
datang menemui RaSulullah SAW. Lelaki badui itu berkata, “Wahai Rasulullah,
kapankah hari kiamat itu?" Beliau menjawab, ”Apa yang sudah kamu
persiapkan untuk menyambut datangnya kiamat?" Dia menjawab, ”Kecintaan
kepada Allah dan rasulNya.” Beliau pun bersabda, ”Sesungguhnya kamu akan
bersama dengan yang kamu cintai.”
Anas bin Malik pun
berkata, ”Maka tidaklah kami bergembira setelah datangnya Islam dengan suatu
kegembiraan yang lebih besar daripada mendengar sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya
kamu akan bersama dengan orang yang kamu cintai.”
Anas berkata, ”Kalau
begitu, aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar, dan 'Umar. Aku berharap
kelak aku bisa bersama dengan mereka -di akhirat-, walaupun aku tidak bisa
beramal seperti amal-amal mereka" (HR. Muslim no.2639)
Imam Nawawi
menjelaskan bahwa hadits yang agung ini menyimpan makna di antaranya adalah:
[1] Keutamaan mencintai Allah dan rasul-Nya SAW. Begitu pula terkandung
keutamaan mencintai orang-orang shalih yang masih hidup ataupun yang sudah
meninggal. [2] Termasuk dalam bentuk kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya
adalah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya,
demikian pula menghiasi diri dengan adab-adab syariah (lihat Syarh Muslim, 8/234-235).
Maka, orang yang
mengaku cinta kepada Allah dan Rasulullah SAW tidak akan ada keberatan
sedikitpun di dalam dirinya terhadap risalah yang dibawa Nabi SAW. Mereka akan
menempatkan risalah Nabi SAW menjadi yang tertinggi, mengalahkan aturan
manapun, termasuk aturan yang dibuat manusia secara berjamaah. Tidak ada di
dalam dada mereka keberatan sedikitpun.
"Maka demi
Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (TQS. An-Nisa: 65)
Imam Asy Syaukani
berkata: "…Dalam ancamaan yang keras ini ada hal yang membuat kulit
bergetar dan hati merinding, karena sesungguhnya: pertama, hal ini merupakan
sumpah Allah dengan nama Allah sendiri yang dikuatkan dengan harfu nafyi bahwa mereka tidak beriman. Allah
meniadakan iman dari mereka, yang mana iman itu merupakan modal yang baik bagi
hamba-hamba Allah, sampai mereka mengerjakan "ghayah" yaitu menjadikan rasul sebagai hakim (tahkim rasul). Lalu Allah tidak mencukupkan
dengan itu saja namun Allah lalu berfirman, "Lalu mereka tidak menemukan
kesempitan dalam diri mereka atas keputusanmu." Allah menggabungkan
perkara lain dari tahkim, yaitu tidak
adanya kesempitan (rasa berat), artinya kesempitan dalam dada.
Ia melanjutkan....
"Jadi tahkim dan tunduk saja tidak
cukup, sampai dari lubuk hatinya muncul sikap ridha, tentram dan hati yang
sejuk dan senang. Allah belum mencukupkan dengan ini semua, namun masih
menambah lagi dengan hal lain, yaitu firman-Nya: "menerima/ menyerahkan
diri” maksudnya tunduk dan menaati secara lahir dan batin. Allah belum
mencukupkan dengan hal ini saja, namun masih menambah dengan menyebut masdar -tasliman.
Maka tidak ada iman bagi seorang hamba sampai ia mau bertahkim kepada Rasulullah lalu ia tidak mendapati rasa berat
(kesempitan) dalam hati atas keputusan nabi dan ia menyerahkan dirinya kepada
hukum Allah dan syariah-Nya sepenuh penyerahan, tanpa dicampuri oleh penolakan
dan menyelisihi." (Fathul Qadir,
1/611)
Imam Ibnu Katsir
berkata mengenai ayat ini, “Allah Ta'ala bersumpah dengan Dzat-Nya yang Mulia
dan Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai
hakim dalam seluruh urusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah yang haq yang
wajib dikuti lahir dan batin." (Tafsiru
Ibni Katsir 1/461)
Semoga kita layak
disebut sebagai pengikut Nabi SAW!
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 193
---