Perbudakan sebagai
realitas sosial telah ada sejak sebelum Islam. Pintu perbudakan pun terbuka
lebar. Adakalanya orang yang berutang, lalu gagal bayar, maka ia pun bisa
dijadikan budak. Kadang seseorang dijadikan budak sebagai hukuman karena dosa
atau kesalahannya. Orang merdeka pun bisa menjadikan dirinya sebagai budak,
dengan cara menjual dirinya kepada orang lain, dengan syarat setelah beberapa
waktu bisa bebas. Kabilah yang kuat membenarkan dirinya memperbudak kabilahnya
yang dianggap lemah. Peperangan juga begitu, telah membuka praktik perbudakan.
Pendek kata, pintu perbudakan ini terbuka lebar.
Ketika Islam datang,
perbudakan tersebut diselesaikan dengan cara yang khas. Bagi orang yang
berutang dan gagal bayar, maka diberi tenggat waktu. Bagi orang yang melakukan
tindak kriminal, khususnya pencurian, dengan sanksi dijadikan budak, maka Islam
telah menetapkan sanksinya dalam bentuk potong tangan, bukan yang lain. Islam
juga mengharamkan orang merdeka dijadikan budak. Mengenai kondisi perang telah
dirinci oleh Islam.
Jenis
dan Pembebasan Budak
Budak dalam pandangan
Islam bisa dipilah menjadi tiga: Pertama, budak mukatab.
Kedua, budak mudabbar. Ketiga, budak umm
al-walad. Mukatab adalah budak yang
melakukan akad dengan pemiliknya, dengan membayar sejumlah uang tertentu agar
menjadi orang merdeka. Mudabbar adalah
budak yang merdeka, jika pemiliknya meninggal dunia. Karena itu, dia tidak
boleh dijual, kecuali jika majikannya mempunyai utang yang menggunung, dan
tidak mampu bayar, kecuali dengan menjual budak tersebut, maka boleh. Umm al-Walad adaIah budak yang disetubuhi
pemiliknya, kemudian hamil, dan melahirkan anaknya. Pemiliknya boleh
memanfaatkan jasa dan menidurinya, tetapi tidak boleh menjual atau
memberikannya kepada orang lain. Karena begitu pemiliknya meninggal dunia, dia
berstatus merdeka. Anaknya juga berstatus merdeka (Rawwas Qal'ah Jie,
al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Juz I/970).
Islam telah menghapus
perbudakan dengan cara membebaskan budak (i'taq).
Bisa karena kewajiban, seperti pembebasan budak sebagai kafarat atas berbagai dosa bagi seseorang. Bisa karena
kesunahan, seperti pembebasan budak biasa, bukan sebagai karena kafarat. Sabda Nabi, ”Siapa saja yang
membebaskan seorang Muslim, Allah akan menyelamatkan tiap anggota badannya dari
api neraka.” (HR Bukhari).
Pembebasan budak bisa
terjadi secara otomatis karena hubungan darah. Sabda Nabi, ”Siapa saja yang
mempunyai hubungan kekerabatan, maka dia merdeka.” (HR. Abu Dawud). Juga bisa
terjadi, karena penganiayaan pemiliknya. Jika pemiliknya tidak membebaskannya,
maka Khalifah wajib memaksa pemiliknya agar membebaskannya. ”Siapa saja yang
menampar budaknya, atau memukulnya, maka kafaratnya
adalah membebaskannya.” (HR. Muslim).
Pembebasan budak ini
tidak hanya di tangan pemiliknya, tetapi budaknya sendiri bisa menentukan
nasibnya, dengan cara membayar tebusan (mukatabah).
Negara khilafah juga bisa mengalokasikan dana zakat untuk membebaskan para
budak, atas nama riqab.
Mengenai persetubuhan
yang dilakukan oleh pemiliknya terhadap budak perempuan, maka tindakan ini
justru mengangkat derajatnya, dan menjadikannya merdeka, begitu pemiliknya
meninggal. Anaknya pun berstatus merdeka.
Islam
Menutup Pintu Perbudakan
Semua pintu munculnya perbudakan
telah ditutup oleh Islam. Tinggal satu, yaitu pintu peperangan. Itupun telah
dijelaskan status hukumnya oleh Islam.
Islam membedakan
antara tawanan perang (asra) dengan
sabiyyah. Tawanan perang (asra) adalah
orang yang ditawan saat perang. Mereka bisa dibebaskan melalui salah satu dari
dua opsi, ditebus (fida') atau bebas
murni (mann), sebagaimana yang
disebutkan dalam Al-Qur’an surat Muhammad: 4.
Adapun sabiyyah, yaitu
perempuan dan anak-anak yang menyertai pasukan perang untuk memberikan semangat
dan memperbanyak jumlah, mereka boleh dijadikan budak. Tetapi, khalifah juga
bisa memberi opsi yang lain, yaitu dibebaskan, bukan dijadikan tebusan. Ini
sebagaimana yang dilakukan Nabi terhadap sabiyyah Perang Hunain. Awalnya
dijadikan budak, kemudian dibebaskan. Nabi juga membiarkan sabiyyah Perang
Khaibar merdeka.
Tentu saja dalam
praktiknya, sangat mungkin terjadi penyimpangan. Namun penyimpangan seperti ini
tentu tidak bisa dijadikan acuan. Sebaliknya harus diluruskan dengan standar
hukum Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahua'lam.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 143, Januari-Pebruari 2015
---