Ribut-ribut spanduk
menolak menshalatkan jenazah penista agama memunculkan kembali isu politisasi
agama. Politisasi agama juga dikaitkan dengan sikap umat Islam yang menolak
pemimpin kafir. Disebut-sebut politisasi agama membahayakan sistem politik
demokrasi, ujung-ujungnya membahayakan negara.
Isu politisasi agama,
bukanlah merupakan hal baru. Sama dengan isu radikalisme agama, ekstrimis,
militan, ancaman terhadap kebhinekaan, merupakan isu propaganda untuk
menyudutkan Islam. Sebagaimana, isu-isu propaganda, politisasi agama sendiri,
tidaklah memiliki pengertian yang jelas apalagi tunggal. Karena defenisi yang
kabur, tidak mengherankan isu propaganda ini digunakan secara inkonsisten dan
subyektif berdasarkan kepentingan produser isu.
Umat Islam dan ulama
yang menyerukan haram pemimpin kafir berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadits,
kerap dituding melakukan politisasi agama.
Di sisi lain, pihak
penuding, juga menggunakan jargon-jargon agama untuk kepentingannya. Mereka
juga menggunakan ulama-ulama bayaran untuk memenangkan jagonya, mengadakan dan
hadir dalam acara-acara agama, memberikan hadiah umrah dan haji, termasuk membanggakan
diri telah membangun masjid. Padahal semua itu jelas-jelas hanyalah topeng!
Politik Islam sendiri
sangat mungkin terjadi. Namun bukan berarti agama dan politik harus dipisahkan,
sebagaimana halnya propaganda kelompok sekuleris-liberal.
Dalam pandangan Islam,
agama dan politik itu tidak bisa dipisahkan, Imam al-Ghazali menyebutnya dua
saudara kembar. Ia menyatakan: "Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan
kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi
(asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi
niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya akan
musnah." (Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi
al-I'tiqad, hlm.199)
Sementara Ibnu
Taymiyah menegaskan, ”Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama
terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatawa, XXVIII/394).
Apa yang dipraktikkan
langsung oleh Rasulullah SAW saat menjadi kepala negara Islam di Madinah
menunjukkan hal yang jelas, bahwa Islam dan politik tak dipisahkan. Tampak
jelas peran Rasulullah SAW sebagai kepala negara, sebagai qadhi (hakim) dan panglima perang. Rasul SAW
pun mengatur keuangan Baitul Mal, mengirim misi-misi diplomatik ke luar negeri
untuk dakwah Islam, termasuk menerima delegasi-delegasi diplomatik dari para
penguasa di sekitar Madinah. Masjid Nabawi sendiri pada masa Rasulullah SAW
bukan hanya digunakan untuk urusan ibadah ritual, tetapi juga menjadi tempat
Rasulullah SAW bermusyawarah bersama para sahabatnya untuk membicarakan segala
urusan rakyatnya, termasuk mengatur strategi perang.
Ya, Islam dan politik
tidak bisa dipisahkan, karena hakikat politik adalah pengaturan urusan-urusan
rakyat. Sementara itu, Islam merupakan agama yang wajib menjadi pedoman hidup
dalam pengaturan urusan-urusan manusia, termasuk mengatur urusan rakyat. Karena
itu dalam pandangan Islam, urusan rakyat haruslah diatur oleh syariah Islam.
Untuk itu mutlak membutuhkan kekuasaan dan negara yang didasarkan kepada
syariah Islam. Negara inilah yang dalam fiqh
siyasah disebut khilafah.
Yang perlu kita
lakukan adalah membedakan mana politik Islam sejati, mana sekadar politisasi
agama dalam pengertian hanya menggunakan agama sebagai topeng dan alat
mendukung kekuatan politik.
Beberapa indikator
politisasi agama antara lain, pertama,
Islam tidak dijadikan landasan dan tujuan dalam berpolitik. Politik Islam
sejati, wajib menjadikan Islam sebagai landasan, kekuasaan yang diraih
digunakan untuk menerapkan syariah Islam secara totalitas. Karenanya, kita
patut curiga kalau ada pihak yang menggunakan slogan-slogan agama, tapi menolak
penerapan syariah Islam secara totalitas. Dalam Islam, kekuasaan itu bukanlah
sekadar mendudukkan Muslim untuk berkuasa tapi untuk menerapkan seluruh syariah
Islam dalam negara, menjadikan syariah Islam berkuasa.
Kedua, cenderung inkonsisten dalam menggunakan
dalil agama. Di satu kesempatan menggunakan Al-Qur’an untuk menolak pemimpin
kafir, namun di lain waktu dan kesempatan, justru mendukung pemimpin kafir
untuk berkuasa dengan berbagai dalih. Di satu sisi mereka mengecam sikap
menolak untuk mensholati jenazah penista agama dengan alasan bertolak belakang
dengan ajaran Islam, tapi dalam urusan politik mereka tidak mau diatur oleh
aturan Islam.
Ketiga, pelaku politisasi agama cenderung
tingkah lakunya bertentangan dengan syariah Islam. Kerap menggunakan
simbol-simbol agama dalam berpakaian, namun tetap berpraktek muamalah ekonomi
ribawi, atau tetap korupsi dan memakan uang rakyat. Ini juga merupakan indikasi
politisasi agama.
Karena itu politik
Islam sejati, adalah menjadikan kekuasaan untuk menerapkan syariah Islam secara
totalitas di bawah naungan khilafah. Bukan sekadar mendudukan Muslim di tahta
kekuasaan, tapi juga mengubah sistem sekuler dan liberal dengan syariah Islam.
Karena itulah politik Islam sejati hanya terwujud dengan adanya khilafah yang
menerapkan seluruh syariah Islam. Allahu Akbar!
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 193
---