Selasa (11/4), menjadi
hari yang menghentikan langkah Novel Baswedan mengungkap perilaku kotor oknum
pemakan duit negara untuk sementara. Pada hari itu ia disiram air keras oleh
dua orang tak dikenal usai shalat shubuh. Cairan H2SO4 telah membakar kulit muka
dan mata kirinya.
Novel Baswedan dikenal
sebagai penyidik KPK paling ulet, banyak kasus suap dan korupsi besar yang
ditanganinya, dan tak sedikit pula sejumlah pejabat atau pengusaha besar
terseret dalam kasus yang diungkap oleh Novel.
Meski pelaku
penyiraman belum tertangkap dan motif dari para pelaku belum diketahui,
masyarakat menilai bahwa kejadian tersebut ada sangkut-pautnya dengan pekerjaan
Novel. Lagi pula ini bukan penyerangan yang pertama kalinya. Menurut data yang
dihimpun Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, Novel sudah berkali-kali
mengalami upaya kekerasan dan pembunuhan.
Seperti yang terjadi
pada tahun 2010, saat mengusut kasus cek pelawat yang melibatkan 25 anggota
Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 dan mantan Deputi Gubernur Senior
Bank Indonesia Miranda Gultom. Juga kasus korupsi pengadaan simulator SIM pada
2012, dengan tersangka Irjen Djoko Susilo.
Dan pada 2015, mobil
tim penyidik KPK serta penyidik Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP), termasuk di dalamnya Novel, mengalami kecelakaan masuk sungai di Dompu,
Nusa Tenggara Barat. Saat itu mereka sedang mengecek fisik terkait kasus dugaan
korupsi pengadaan e-KTP.
Menurut pengamat
sosial dan politik Iwan Januar, kejadian yang menimpa Novel adalah bentuk dari
hilangnya rasa takut para pelaku koruptor terhadap operasi pemberantasan
korupsi.
”Bukan berarti selama
ini aparat penegak hukum yang berperang memberantas korupsi tidak pernah
menerima ancaman dan intimidasi, tapi bahwa para koruptor dan kaki tangannya
membuktikan ancaman mereka secara fisik dan dilakukan di tempat publik,
menandakan bahwa mereka ini orang-orang kuat, dan yakin negara tidak akan
sanggup menggulung mereka," jelas Iwan kepada Media Umat.
Iwan menilai bahwa KPK
sudah lama coba dilumpuhkan melalui produk hukum, kemudian anggotanya
dikriminalisasi, termasuk Novel. Sekarang para koruptor dan pendukungnya mulai
melakukan aksi kekerasan fisik. Ini pesan yang dikirim oleh mereka bahwa
koruptor ini sudah marah sekali karena eksistensi mereka diusik-usik.
”Siapa yang tidak
kesal, apalagi sekarang semua parpol sudah pasang kuda-kuda untuk pemilu 2019.
Mereka butuh citra yang bersih dan uang yang banyak. Pantas saja mereka kesal
pada orang-orang seperti Pak Novel,” kata Iwan.
Iwan juga mengatakan
adat korup di negara Indonesia sudah seperti lingkaran setan, hampir tak ada
parpol, anggota legislatif, politisi bahkan aparat keamanan yang tak berada
dalam pusaran korupsi. Kalaupun bukan pelaku mereka adalah temannya koruptor
atau anggota parpol yang pejabat parpolnya melakukan korupsi.
"Nah, celakanya
bukan saja koruptor yang moralnya bejat, tapi teman-teman di sekelilingnya
malah memberikan support, perlindungan,
dan perlawanan. Ini kan sama-sama bejat,
dan berarti memang lingkaran setan,” ungkapnya.
Korupsi yang terjadi
di Indonesia dinilai Iwan sudah secara sistematis dan kolektif, yang
menyebabkan adanya politik sandera hingga akhirnya kasus korupsi tidak akan
pernah habis.
”Akhirnya semua orang
pegang kartu truf masing-masing. Sehingga ketika ada koleganya disidik aparat
karena dugaan kejahatan korupsi, kawan-kawannya membantunya dengan cara apa
saja agar ia bisa lolos," kata Iwan.
Menurut Iwan, sebab
korupsi yang dirasakan saat ini adalah sistem Demokrasi yang bisa dibilang
mahal, sehingga memancing banyak orang untuk melakukan apa saja demi membayar
apa yang sudah dia keluarkan untuk masuk sistem demokrasi.
”Tidak
ada jalan lain selain pilih pejabat yang punya integritas, berakhlak mulia,
aturannya jelas, dan mau tidak mau harus campakkan demokrasi. Karena biang
keroknya memang demokrasi,” pungkasnya. []fatih
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 195
---