Belum pernah ada era
yang kegemilangannya bisa mengalahkan era Khilafah Islam, terutama dalam
mencetak generasi unggul di zamannya. Lihat saja, jumlah ulama kaum Muslim dari
berbagai disiplin ilmu yang tak terhitung jumlahnya. Lihat karya yang mereka
hasilkan rasanya bagai samudera, saking banyaknya. Dan tak pernah habis dibaca.
Itu menggambarkan betapa dahsyatnya era Khilafah dalam menghasilkan sumber daya
manusia yang belum pernah bisa ditandingi oleh peradaban manapun.
Ini seperti simbiosis
mutualisme, satu dengan yang lain seperti rangkaian yang tak bisa dipisahkan,
karena saling kait-mengait dan berpengaruh. Ilmu, seperti kata para ulama
adalah pancaran nur ilahiyyah. Nur ilahiyyah ini tidak akan diberikan kepada
orang yang maksiat kepada Allah. Dengan diterapkan sistem Islam dalam seluruh
aspek kehidupan di tengah masyarakat, maka potensi maksiat di era Khilafah
sangat kecil. Karena, jalan dan celah kemaksiatan telah ditutup rapat-rapat.
Dengan begitu, generasi kaum Muslim yang lahir dan hidup di dalamnya sangat
mudah mendapatkan pancaran nur ilahiyyah
ini.
Selain itu, dengan
diterapkannya sistem Islam ini juga membawa keberkahan dalam hidup mereka,
sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam QS. Al-A'raf: 96. Karena itu, waktu,
umur dan ilmu mereka berkah dengan dilipatgandakan oleh Allah. Lihatlah,
bagaimana anak-anak di zaman itu, di usia 3-6 tahun mereka sudah hapal
Al-Qur’an 30 juz, di bawah bimbingan masyayikh
yang bersanad hingga Nabi SAW. Di usia 7
tahun, mereka sudah hafal Mandhumah Alfiyah
Ibn Malik, kitab Nahwu yang paling tinggi dan rumit, dengan 1.000 bait. Setelah
itu, mereka menghapal kitab-kitab hadits. Kitab al-Muwatha'
karya Imam Malik, kitab Shahih al-Bukhari, Muslim, Kutub Sunan, termasuk al-Masanid,
mereka hapal saat usia belia. Setelah itu, mereka mempelajari kitab-kitab
fikih.
Hasilnya, lihatlah
pada diri Imam Syafii. Di usia belum genap 14 tahun, ia sudah bisa mengeluarkan
fatwa dan berijtihad. Ini bukan soal kecerdasan semata, tetapi kesungguhan,
keberkahan dan perjuangan orang tua, ia, dan lingkungan masyarakat dan negara di
zamannya. Imam Syafii lahir dari orang tua yang miskin, dan lahir sebagai anak
yatim. Dari Gaza, ia dibawa ibundanya ke Makkah. Di Makkah, Imam Syafii kecil
menghabiskan ilmu para ulama di Tanah Haram. Ibundanya kemudian meminta memo
dari Amir Makkah untuk diserahkan kepada Imam Malik agar putranya bisa berguru
kepada Imam Dar al-Hijrah itu.
Tetapi bukan karena
memonya, Imam Malik bersedia menjadi guru Imam Syafii karena melihat potensi
kecerdasan dan kehebatan anak belia ini. Di hadapan Imam Malik, Imam Syafii
kecil sanggup menghafal kitab al-Muwatha'
dengan tepat dan tak ada yang salah. Dalam riwayat lain, Imam Syafii, karena
saking miskinnya, sampai harus mengikuti kajian Imam Malik dengan nguping. Ketika di majelis Imam Malik, ia
terpaksa menulis dengan jari telunjuk kanannya yang dicelupkan ke mulutnya
kemudian digoreskan ke telapak tangan kirinya. Sesuatu yang membuat marah Imam
Malik karena dianggap main-main. Tetapi, setelah diketahui, ia melakukan itu
karena memang tidak sanggup membeli pena dan kertas, barulah Imam Malik
memaafkannya. Hasilnya, apa yang ditulis dengan simbolik oleh Imam Syafii kecil
itu ternyata setelah dites Imam Malik tak ada satupun yang kelewat.
Kalau
bukan karena waktu yang berkah, bagaimana mungkin Imam Syafii, bisa
mengkhatamkan Al-Qur’an, konon sehari sebanyak tiga kali atau minimal sekali
sehari. Semua itu karena keberkahan waktu, yang datang, karena memang suasana
lingkungan masyarakat dan negaranya benar-benar hidup dalam cahaya Islam dan
ketaatan. Bandingkan dengan zaman kita sekarang. []har
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 194
---