Indonesia darurat
pelecehan seksual, darurat narkoba, darurat pergaulan bebas dan darurat
HIV/AIDS. Jika kita abai, lalai dan bersikap masa bodoh akan fenomena ini, ke
depan bangsa ini akan didominasi oleh generasi hedonis yang menyukai kehidupan
materialistis penuh hura-hura dan kebebasan, generasi pembuli, generasi
tawuran, generasi pemerkosa, generasi sakau dan lain sebagainya. Mereka adalah
generasi gagal yang melihat kehidupan ini dengan pemikiran dangkal. Tolok ukur
hidup bagi mereka ini hanya dilihat dari kacamata materi dan manfaat.
Bagaimana generasi ini
lahir? Tidak dapat kita pungkiri bahwa keluarga menjadi pilar utama yang
menduduki posisi pertama bagi pembentuk output pendidikan generasi masa depan,
di samping juga peran masyarakat dan negara ikut mempengaruhi dalam pendidikan anak.
Keluarga yang tidak respek terhadap pendidikan anak, dari sisi penanaman
akidah, maka akan membentuk anak yang jiwanya senantiasa resah sepanjang
perjalanan hidupnya. Demikian pula jika orangtua tidak membekali anak dengan
aturan Islam dan standarisasi perbuatan yang dilekatkan padanya maka anak akan
cenderung lahir sebagai individu tak memiliki adab, tanpa aturan dan sekehendak
hati.
Menjadi keluarga
ideologi Islam di tengah masyarakat yang sekularis, materialis dan liberalis
dewasa ini merupakan sebuah kebutuhan mendasar bagi keluarga Muslim khususnya.
Dalam Islam, proses
pendidikan anak telah dimulai sejak usia pra-baligh. Terdapat tiga tahapan yang
hendak dicapai: pertama, menyiapkan anak menjadi waladin
shalih (anak yang shalih) dengan mendidik anak melaksanakan amal shalih
secara tuntas dan rutin.
Kedua, pembentukan
pola pikir anak menuju level kecerdasan dan kecemerlangan berpikir. Pada tahap
ini anak diajak untuk mengarahkan perhatiannya terhadap benda-benda yang ada di
alam semesta, fenomena hidup di sekitarnya dan dirinya sendiri. Hingga ia dapat
membuktikan dengan akalnya bahwa alam semesta, kehidupan dan dirinya sendiri
ada yang menciptakan. Dan Tuhan yang menciptakan manusia, alam semesta dan
kehidupan ini pastilah azali (tak
terbatas) baik Baqa' (kekal) yaitu tidak
mungkin hancur atau binasa dan Qidam
(tak terbatas waktu) yaitu tidak berawal dan tidak berakhir.
Ketiga, membangun
kesadaran akan hubungannya dengan Allah dalam setiap amal perbuatannya sehingga
anak dapat melakukan aktivitas amal shalih secara mandiri tanpa perlu
diperintah setiap saat oleh orangtuanya.
Dalam keluarga
ideologis yang Islami, ayah berperan sebagai penegak, pengawas dan pemelihara
jalannya sistem. Sementara ibu pelaksana berjalannya sistem. Dalam proses
pengasuhan seorang ibu dituntut memiliki kapasitasnya sebagai guru pertama bagi
anak (ummun madrasatul ula) dan pengatur
rumah (ummun wa rabbah al-bayt).
Keluarga berideologi
Islam mencetak generasi cemerlang. Anak-anak yang dididik dalam keluarga tumbuh
menjadi anak yang memiliki kepribadian khas dan istimewa. Anak-anak semacam ini
telah menemukan jati dirinya sebagai anak Muslim yang terikat aturan Allah
karena kepahaman dirinya sebagai mahluk ciptaan-Nya. Mereka mampu menggali
potensi hidupnya sehingga dapat berkarya dalam bidang sains dan teknologi tidak
lain karena ia paham tujuan hidup di dunia ini hanya mencari ridha Allah SWT.
Merekapun memiliki
misi dan visi hidup terkait pemahamannya tentang kehidupan setelah kematian.
Dengan demikian, kesuksesan dan kegagalan suatu generasi sesungguhnya tidak
terlepas dari sistem kehidupan yang melingkupinya.
Jika kasus Yuyun, Eno
dan masih banyak lagi terus bermunculan dengan jumlah kasus yang semakin masif,
itu karena tidak ada penjagaan bagi terpeliharanya syariah Islam di tengah
umat. Keluarga, masyarakat dan negara tidak menjadikan hukum syara' sebagai sistem
hidup. Sementara keluarga Islam ideologis adalah oase di tengah padang pasir
sekularisme, liberalisme, demokrasi yang menyengsarakan. Ia akan melahirkan
generasi cemerlang yang bertakwa, pengemban dakwah dan calon pemimpin masa
depan yang memayungi umat dengan menjunjung tinggi syariah kaffah. []
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 175, Juni 2016
---