Orang yang shalat
harus menjauhkan dan menghilangkan najis yang menempel di baju, sandal ataupun
badan, serta tempat shalatnya. Haram baginya melakukan shalat ketika najis
menempel pada salah satu dari keempatnya. Dari Asma binti Abu Bakar ra., ia
berkata:
“Seorang wanita
bertanya kepada Rasulullah Saw., ia berkata: 'Wahai Rasulullah, bagaimana
menurutmu jika salah seorang dari kami terkena darah bekas haid di bajunya, apa
yang harus dia lakukan?’ Beliau berkata, “Jika salah seorang dari kalian
terkena darah haid maka hendaklah dia menggosoknya, kemudian memercikinya
dengan air. Setelah itu barulah dia shalat.” (HR. Abu Dawud)
Dari Abu Said ra., ia
berkata:
“Ketika Rasulullah
Saw. shalat mengimami para sahabatnya, tiba-tiba Beliau Saw. mencopot dua
sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya. Tatkala orang-orang melihatnya
mereka pun melemparkan sandal-sandal mereka. Usai Rasulullah Saw. dari
shalatnya Beliau bertanya: “Apa yang menyebabkan kalian melemparkan
sandal-sandal kalian?” Mereka berkata: ‘Kami melihatmu melemparkan sandal, lalu
kami ikut melemparkan sandal-sandal kami.' Maka Beliau Saw. berkata:
“Sesungguhnya Jibril as. telah mendatangiku dan memberitahukan aku bahwa dalam
kedua sandalku itu ada kotoran atau najis.” Beliau Saw. berkata lagi: “Jika
salah seorang dari kalian datang ke masjid maka hendaklah dia memperhatikan,
apabila dia melihat pada dua sandalnya itu ada kotoran atau najis, hendaklah
dia menghilangkannya dan kemudian shalatlah pada keduanya.” (HR. Abu Dawud,
Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Baihaqi)
Di dalam hadits ini
nampak jelas bahwa Nabi Saw. menjauhkan kedua sandalnya yang bernajis itu dari
shalatnya, Beliau Saw. melepaskannya dan meneruskan shalatnya. Beliau Saw.
tidak mengulangnya dan tidak menghentikan shalatnya.
Apabila si mushalli mengetahui adanya najis di sepanjang
shalatnya, maka dalam hal ini harus dilihat dulu, jika dia mampu melemparkan
dan menghilangkan najisnya dengan tindakan kecil atau sedikit, dan najisnya
terdapat pada sandalnya, serbannya, penutup kepalanya atau pada sutrahnya
kemudian dia bisa menghilangkannya, maka boleh baginya tetap terus dalam
shalatnya. Namun, jika najis itu terdapat pada bajunya dan dia tidak akan mampu
menghilangkannya di sepanjang shalatnya, maka wajib atasnya untuk menghentikan
shalat dan menghilangkan najis, kemudian mengulang shalatnya kembali dari awal.
Ini terkait dengan najis yang ada pada baju dan sandal.
Lain lagi dengan najis
yang ada pada badan. Abu Hurairah ra. telah meriwayatkan dari Nabi Saw., Beliau
Saw. berkata:
“Siksa kubur yang
paling banyak disebabkan karena air kencing.” (HR. Ahmad)
Karena itu, seorang
Muslim diperintahkan untuk mensucikan diri dari air kencing dan menjauhinya
dalam shalatnya. Dan ini merupakan perkara yang pasti diketahui dalam perkara
agama (ma’lum min ad-diin bid dharurah).
Dalam hal najis yang
ada di tempat shalat, dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
“Seorang Arab Badwi
berdiri lalu dia kencing di masjid. Orang-orang pun menahannya. Lalu Nabi Saw.
berkata kepada mereka: “Lepaskanlah dia, dan siramlah air kencingnya dengan
satu timba air atau satu ember air, karena sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan,
bukan untuk menyusahkan.” (HR. Bukhari)
Jika orang yang shalat
menjadi batal dari kondisi suci badannya maka batal pula shalatnya.