Kembali terbukti,
dalam sistem politik demokrasi yang sarat dengan pragmatisme, hanya uang dan
kekuasaan yang menyatukan para pelaku sistem bukan-Islam itu. Rujuknya dua kubu
yang berseteru, tidak lebih demi kepentingan uang dan kekuasaan. Bukan hanya rujuk,
tapi sepakat mendukung rezim.
Sebagai partai yang
pragmatis, uang dan kekuasaan adalah yang paling penting. Semua ini, merupakan
konsekuensi dari sistem politik demokrasi yang menjadikan uang sebagai
panglima. Terbentuklah "vicious cycle”
(siklus tak berujung). Berpolitik untuk mendapatkan uang, dan mendapatkan uang
untuk mempertahankan kekuasaan politik. Karena itu jangan berharap, dalam
sistem demokrasi, politisi akan memperhatikan kepentingan rakyat. Bagi mereka
yang terpenting adalah uang dan kekuasaan. Kalaupun seolah-olah memperhatikan
rakyat, tidak lebih dari pencitraan, demi kekuasaan dan uang juga.
Yang pada awalnya
keras beroposisi, tajam mengkritisi pemerintah, lantang mengecam hampir setiap
kebijakan rezim Jokowi, dengan berbagai alasan. Namun pada akhirnya bertekuk
lutut demi kekuasaan dan uang.
Pasalnya, berada di
luar kekuasaan tidaklah nyaman, tidak menguntungkan secara ekonomi. Tidak
memiliki akses politik, berarti memutus akses ekonomi. Padahal uang sangat
mereka butuhkan untuk mempertahankan dan mendapatkan kekuasaan.
Dukungan terhadap
rezim Jokowi, sekaligus akan memperkuat rezim neoliberal yang selama ini
terbukti menyengsarakan rakyat. Dengan bersatunya hampir sebagian besar partai
ke rezim Jokowi, kebijakan-kebijakan liberal yang selama ini terhambat karena
basa-basi penolakan pihak oposisi, akan mulus. Siapa yang menjadi korban?
Lagi-lagi rakyat.
Ke depan dipastikan
kebijakan neoliberal akan terus berlanjut dan semakin kokoh. Pemerintah sendiri
sudah mencabut subsidi listrik pelanggan rumah tangga 450-900 VA. Diperkirakan
partai-partai tidak akan memperjuangkan yang lebih baik. Padahal dengan kebijakan
ini jumlah penduduk miskin akan meningkat dan berpengaruh pada naiknya inflasi.
Pengamat Ekonomi UI Riyanto menyatakan ada 3 sampai 5 juta orang yang jatuh ke
kelompok rentan miskin di 2016 (menambah jumlah orang yang rentan miskin).
Jangan harap politisi
pragmatis akan bersikap keras terhadap perpanjangan kontrak PT Freeport.
Kalaupun ada kritik, lagi-lagi hanya sekadar pencitraan, tanpa tindakan nyata
menghentikan kontrak karya PT Freeport. Semuanya akan manut dengan kebijakan
pemerintah yang sudah pakai harga mati kontrak harus diperpanjang. Sementara
pemerintah sendiri, dipastikan akan berpihak pada PT Freeport. Alih-alih
menghentikan kontrak karya, pemerintah justru akan melayani PT Freeport, dengan
mencari-cari celah hukum yang aman. Sehingga kontrak karya yang merugikan
rakyat ini bisa diperpanjang dengan mulus.
Pertanyaan kembali
kepada kita, apakah kita masih percaya dengan sistem demokrasi busuk seperti
ini? Padahal terbukti sudah di depan mata, kacau balau politik ala demokrasi,
kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat, bukan sekadar persoalan
individu. Bukan pula sekadar kelemahan kepemimpinan Presiden Jokowi. Tapi semua
ini berakar dari sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan di negeri ini.
Politisi-politisi
busuk bisa lahir karena sistem demokrasi. Kekuatan uang yang mereka miliki
membuat mereka terpilih. Kebijakan menyengsarakan rakyat pun bisa mulus karena
memang ada landasan hukumnya yang juga merupakan produk dari sistem demokrasi.
Kalaupun landasan hukumnya belum ada, mereka tinggal melobi pembuat hukum baik
parlemen atau pemerintah, agar membuat payung hukumnya. Senjatanya, hanya satu,
gelontorkan uang untuk mempengaruhi dengan berbagai bentuk.
Walhasil adalah utopis
sekaligus berkhayal, berharap dengan sistem seperti ini rakyat akan
diperhatikan. Di sinilah relevansi memperjuangkan syariah Islam secara
totalitas. Karena hanya dengan syariah Islam, lahir kebijakan-kebijakan yang
memperhatikan kesejahteraan rakyat. Kebijakan politik ekonomi berdasarkan
syariah Islam adalah jelas. Syariah Islam menjamin kebutuhan pokok tiap
individu rakyat (sandang, pangan, dan papan) dan menjamin pendidikan dan
kesehatan gratis bagi rakyat.
Perampokan terhadap
kekayaan alam oleh negara-negara imperialis akan dihentikan. Sebab,
barang-barang tambang yang jumlahnya melimpah, migas, air, dan hutan adalah
milik umum (milik rakyat). Dilarang individu/ swasta apalagi negara-negara
imperialis untuk memilikinya. Negara harus mengelolanya dengan baik, dan
hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Dan negara yang akan menerapkan
syariah Islam secara total tersebut dinamakan Khilafah Islam. Lantas, atas
dasar apa Muslim yang ingin bertakwa membenci penegakan syariah khilafah?
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 161, Nopember 2015
---