Menghadap
Arah Ka'bah, Bukan Pada Bendanya
Seorang Muslim tidak
wajib untuk menghadap ke Ka'bah atau tempat Ka'bah sebagai bendanya, kecuali
bagi kaum Muslim yang berada di Masjidil Haram, atau di satu tempat di Makkah
al-Mukarramah, di mana dia bisa melihat bangunan Ka'bah. Dalam kondisi ini wajib
atasnya untuk menghadap pada benda Ka'bahnya, karena Ka'bah itu adalah kiblat,
bukan arah Ka'bah atau sisi Ka'bah. Bagi orang yang berada di Makkah dan tidak
melihat Ka'bah, tetapi dia bisa melihat Masjidil Haram atau satu sisi dari
Masjidil Haram, maka dia menghadapkan wajahnya ke arah Masjidil Haram, dan itu
sudah cukup baginya. Sedangkan orang yang berada di luar kota Makkah, tetapi
dekat dari Makah, maka dia berusaha agar menghadap ke arah Makkah. Begitulah
seterusnya, semakin jauh jaraknya maka semakin kecil penekanan untuk berusaha
mencari benda Ka'bah, sehingga upaya mencari itu hanya pada arah atau sisi
Ka'bah saja. Misalnya seseorang yang jauh dari Makkah, seperti jauhnya jarak
penduduk kota Madinah dari Ka'bah, maka dia harus menghadap ke arah yang agak
leluasa dalam rentang yang ada, antara arah paling kanan dengan paling kirinya,
sehingga kiblat penduduk Madinah itu terbentang antara Timur dan Barat, di mana
sebelah Timur itu ada di sebelah kirinya dan Barat ada di sebelah kanannya. Inilah
kiblat seluruh negeri yang terletak di belakang kota Madinah ke arah Utara,
mencakup negeri Syam, Irak, Turki, dan Eropa Timur. Arah kiblat inilah yang
ditunjukkan dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw.,
beliau bersabda:
“Apa yang ada di
antara Timur dengan Barat, itulah kiblat.” (HR. Malik)
Ibnu Umar ra. berkata:
“Jika engkau
menjadikan arah Barat berada di sebelah kananmu, dan Timur ada di sebelah
kirimu, maka yang ada di antara keduanya adalah kiblat. Dengan demikian engkau
telah menghadap kiblat.” (HR. Tirmidzi)
Sebaliknya, penduduk
Yaman, tanduk Afrika, kiblat mereka terletak di antara Timur dan Barat, akan
tetapi Timur berada di sebelah kanan mereka dan Barat di sebelah kiri mereka.
Penduduk daerah Timur,
seperti Najd dan Selatan Iran serta negeri Hindia, maka kiblat mereka terletak
antara Utara dan Selatan, di mana Utara ada di sebelah kanan mereka, dan
Selatan ada di sebelah kiri mereka. Sebaliknya, negeri-negeri Afrika Tengah dan
sekitarnya maka kiblat mereka terletak antara Utara dan Selatan, di mana Utara
berada di sebelah kiri mereka, dan Selatan berada di sebelah kanan mereka.
Bagi mereka yang
berada di wilayah pinggiran, seperti Mesir, Oman, dan negeri-negeri Turkistan
dan Sudan bagian Tengah, maka mereka harus menghadapkan wajahnya dengan ukuran
sudut tersebut, sehingga perkara ini menjadi luas, yang tidak sampai
menyulitkan orang-orang. Misalnya dengan mewajibkan mereka mencari benda
Ka'bah, atau bahkan posisi kota Makkah. Bagi mereka, cukup dengan mengetahui
arah luar. Meski demikian, ini tidak berarti bahwa arah kiblat untuk menentukan
kiblat masjid tidak perlu dicari, terutama ketika telah ditemukannya kompas
yang berfungsi untuk menentukan arah secara teliti. Orang yang memiliki kompas
mampu untuk menghadapkan wajahnya ke arah Makkah secara teliti. Dalam kondisi
ini, dia tidak boleh menyalahi arah yang teliti tersebut, misalnya dengan
alasan bahwa kiblat itu berada di antara Timur dan Barat. Sebab, orang yang
memiliki kemampuan untuk menentukan arah secara teliti, tidak boleh bergeser ke
kanan atau ke kiri, sama seperti orang yang tinggal di Makkah. Menurut syariat,
dia tidak boleh bergeser dari arah Ka'bah atau arah Masjidil Haram ke kanan
atau ke kiri. Dengan kata lain, orang yang memiliki kompas bisa menentukan
kiblat dengan teliti, maka hukumnya fi haqqihi
menjadi wajib untuk menghadap ke kiblat secara pasti, sehingga perkara ini
baginya tidak memiliki keleluasaan lagi.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(artikel blog ini
tanpa tulisan arabnya)