Lebih
Bahaya dari Penjajahan Belanda
Pelan tapi pasti asing
masuk dan menguasai Indonesia. Kekuatan ekonomi Indonesia yang begitu lemah dan
ketiadaan konsep pembangunan yang jelas membuat situasi negeri ini tambah
buruk. Tanpa sadar justru pemerintah sendiri yang menyerahkan pengaturan negeri
ini kepada asing. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Benarkah kita terjajah? Ikuti
wawancara wartawan Media Umat Joko Prasetyo dengan Salamuddin Daeng, peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI). Berikut petikannya.
Mengapa
Indonesia kini di ambang krisis ekonomi?
Memang ada situasi
internal kita yang sangat buruk. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu
terjadi. Pertama, kondisi di dalam neraca transaksi berjalan kita mengalami
defisit yang luar biasa besar, sekitar USD 27 milyar dalam setahun. Itu tidak
bisa ditutupi dengan surplus perdagangan kita yang sangat kecil.
Dalam transaksi
berjalan juga ada pendapatan primer. Tahun lalu sekitar USD 29 milyar. Jadi
sekitar hampir mendekati Rp 400 trilyun kalau dikurskan dengan Rp 14 ribu per
USD 1. Itu menguras sumber keuangan dalam negeri karena itu adalah akibat dari
aliran keuntungan modal asing yang melakukan investasi di Indonesia dan
pembayaran bunga utang dan cicilan pokok.
Sehingga secara
fundamental kita mengalami arus keluar modal yang sangat besar dan itu tidak
tergantikan. Dalam sistem seperti ini, ada dua yang bisa menggantikan.
Mendapatkan lagi investasi asing secara besar-besaran atau mendapatkan utang
luar negeri secara besar-besaran. Akan tetapi jika hal itu terjadi, itu akan
menjadi beban bagi generasi mendatang.
Selanjutnya?
Kedua, kita mengalami
masalah kelemahan ekonomi secara makro yang ditandai dengan inflasi yang
tinggi, daya beli yang rendah, dan penyerapan tenaga kerja yang sangat rendah.
Padahal perusahaan-perusahaan yang ada umumnya meminjam utang luar negeri.
Swasta utangnya besar sekali sekitar USD 100 milyar. Itu nanti kalau penerimaan
di dalam negeri ini menurun maka otomatis akan mempengaruhi kemampuan mereka
membayar utang dan bunga baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Hal ini juga membuat
penerimaan pajak yang semakin menurun di tengah upaya pemerintah memburu pajak
secara besar-besaran karena target kenaikan pendapatan pajaknya 30 persen untuk
tahun ini. Untuk mencapai target sebesar itu, pemerintah akan berburu luar
biasa dan itu akan semakin menekan kegiatan ekonomi rakyat di dalam negeri.
Nah, itu semua membuat
para calon investor menjadi enggan berinvestasi di lndonesia. Mereka beralasan
untuk apa berinvestasi di Indonesia sementara rakyatnya tidak mampu beli.
Ketiga, rendahnya
efektivitas penyerapan anggaran pemerintah. Sayangnya itu terjadi karena
masalah-masalah yang dibikin oleh pemerintah sendiri. Misalnya, perubahan
nomenklatur kabinet, lelang jabatan di dalam kabinet, pilkada-pilkada. Itu
semua membuat politik menjadi sangat crowded, butuh perhatian yang sangat
ekstra sehingga untuk memikirkan masalah-masalah ekonomi riil tersendat.
Kalau
faktor dari luar negeri juga ada?
Faktor dari luar yaitu
penguatan dolar Amerika (USD) kepada hampir seluruh mata uang dunia. Menguatnya
USD semakin memperlemah rupiah yang memang secara internal sudah buruk. Karena
rupiah ini kan melemah dengan semua mata uang asing, bahkan dengan Irak, dolar
Australia, dolar Singapura, Thailand dan semua mata uang Asia. Ditambah lagi
dengan menguatnya USD karena digunakan sebagai alat transaksi internasional.
Kita kalau jual beli dengan negara mana saja kan pakai dolar, itu yang membuat
rupiah semakin tertekan dan tidak ada harapan.
Mengapa
masuknya tenaga kerja asing semakin masif?
lni berkaitan dengan
investasi dari negara mereka berasal. Pemerintah memang mendorong tenaga asing
masuk ke Indonesia karena berharap dengan demikian akan masuk pula investor
asing. Jadi dengan kata lain, didorongnya tenaga asing masuk ke Indonesia sebagai
pemancing masuknya modal asing. Nanti ketika modal dan tenaga asing masuk
bersamaan, jelas tidak lagi membawa manfaat bagi kepentingan nasional karena
uang yang masuk akan diserap negara asing itu sendiri. Uang dari investor
asing, barang baku impor sekarang ditambah lagi tenaga juga impor. Jadi tidak
menyisakan apa-apa bagi kita kecuali pajak yang dibayarkan kepada pemerintah.
Pajak
untuk membangun negara?
Bukan, tapi untuk
membayar utang dan bunga yang semakin membesar kepada asing, sama dengan
bohong.
Selain
inflasi, apa pula yang membuat utang luar negeri semakin membengkak?
Pemerintah ugal-ugalan
mencari utang dalam rangka membiayai defisit di dalam neraca berjalan.
Mengapa
pula kepemilikan properti asing semakin menjamur?
Itu ada kaitannya
dengan investasi asing. Kemudian arus tenaga kerja asing. Pemerintah berharap
tenaga kerja asing membeli properti-properti itu. Asing yang membeli properti
ini bisa menggadaikan propertinya untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Secara
otomatis, asinglah yang memiliki ekonomi kita. Ya, lama-lama negara kita ini
menjadi negara asing.
Akar
masalah dari semua itu karena diterapkannya liberalisasi gaya baru
(neoliberalisme) dan dibiarkannya penjajahan gaya baru (neoimperialisme)?
Oh iya, neoliberalisme
memang melegalkan seluruh sektor-sektor strategis kita dikuasai asing. Seperti
listrik, BBM, jalan tol maupun tol laut, kapal-kapal laut, properti, dll. kini
dikuasai asing. Sehingga swasta dalam hal ini asing, dapat dengan leluasa
mengendalikan dengan kata lain menjajah politik, ekonomi dan budaya kita.
Apa
bahayanya bila neoliberalisme dan neoimperialisme tetap bercokol di Indonesia?
Lebih berbahaya
daripada penjajahan (imperialisme) Belanda dulu.
Mengapa?
Kalau dulu Belanda
hanya mengangkut rempah-rempah, tetapi neoimperialisme mengangkut semuanya.
Rempah-rempah diangkut, uang diangkut, emas diangkut, minyak diangkut, dan
seterusnya. Lalu kita, tinggal membayar utang dan bunga. Sehingga semua
sumber-sumber kehidupan kita bergantung kepada negara lain. Kita jadi numpang
di negeri sendiri, bahkan seperti budak di negeri sendiri. Tapi kalau budak
masih mending ya, dikasih tempat tinggal sama tuannya, tapi kita nanti lebih
parah dari itu, kita akan tersingkir karena tidak mempunyai tempat tinggal. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 157, September 2015
---