Baru sebulan kaum
Muslimin di Tolikara diserang teroris Gereja Injili di Indonesia (GIDI)
sehingga menghanguskan masjid satu-satunya di daerah minoritas Muslim tersebut,
kini sebuah pesantren di Jayapura dilalap si jagomerah.
Kabid Humas Polda
Papua Kombes Pol Patrige Renwarin menyatakan kebakaran yang terjadi pada Senin
(24/8/2015) subuh di Pondok Pesantren Al Muttaqin, Waena, Jayapura tidak ada
unsur kesengajaan tetapi dugaan sementara karena hubungan arus pendek listrik
(korsleting).
Namun di lapangan,
Media Umat menemukan indikasi-indikasi yang menunjukkan pesantren tersebut
sengaja dibakar, bukan terbakar lantaran arus pendek listrik seperti yang
diberitakan sejumlah media lokal Papua yang mengutip pernyataan pihak
kepolisian. ”lni dibakar bukan terbakar sebagaimana yang ramai dimuat di
berita,” ungkap Kepala MA Al Muttaqin Ustadz lis Sugianto kepada Media Umat,
Sabtu (29/8) di tempat kejadian perkara (TKP).
Pertama, empat hari
sebelum kejadian, ada orang pribumi Papua yang tidak dikenal datang ke kantin
sekolah, sambil memperhatikan keadaan sekolah kemudian ditegur sama ibu kantin,
tapi orangnya malah cuek dan berlalu begitu saja.
Kedua, kalau karena
korsleting mengapa lampu tetap menyala? Pada hari kejadian santri pergi shalat
subuh seperti biasanya, karena malam hujan deras santri tidak memakai teras
asrama dan kelas sebagai tempat belajar seperti biasanya ketika selesai shalat subuh
jadinya mereka agak berlama-lama di masjid. "Dari asrama yang berjarak 15
meter ke masjid tersebut, istri saya memanggil-manggil dan memberitahukan kalau
asrama Al Jundi dan ruang kelas terbakar," ujar lis.
Anehnya, sumber api
pertama kali malah terlihat dari bawah alias lemari yang berisi buku-buku, dll.
bukan berasal di plafon atau lainnya. ”Dan ketika terbakar justru lampu dalam
ruangan kelas dan asrama tetap menyala, saya sendiri malah yang menarik kabel
yang dalam keadaan menyala-nyala agar tidak terjadi kosleting listrik,” aku
Ustadz Yatiman, Pimpinan Ponpes Al Muttaqin.
Ketiga, ada upaya
menutup-nutupi kejadian yang sebearnya. Siang hari setelah kejadian, TKP diberi
garis polisi (police line). Dan menurut salah satu sumber yang juga mengajar di
pondok tersebut bahwa kesepakatan dalam rapat mereka tetap tidak merobohkan bangunan
bekas terbakar.
"Tapi Bapak
Walikota dan Wakil Walikota turun ke TKP dan langsung menginstruksikan
bangunannya dibongkar saja, padahal seharusnya TKP dan bukti-bukti kebakaran
harusnya dibiarkan tetap ada,” ujar sumber tersebut.
Dibakar
Lagi
Lima hari kemudian,
tepatnya pada Sabtu (29/8/2015) subuh, Al Muttaqin kembali dibakar. Kata lis,
pria asal Brebes yang dibesarkan di Cirebon ini menuturkan ketika itu santri
sudah selesai shalat dan sudah berada di asrama yang sekarang sudah dirobohkan,
ada seorang santri melihat kobaran api yang terlihat dari sudut kantin dekat
jalan (kebetulan kantinnya dekat dengan jalan), lalu mereka ramai-ramai
berusaha memadamkan api tersebut.
Dan santri menemukan
bukti kuat bekas orang membakar kertas yang dipakai untuk membakar plafon
kantin sekolah bahkan topi si pelaku tertinggal, di samping itu tampak pagar
semak berlapis kawat besi berduri, terkoyak melengkung, bekas diinjak atau
disibak menggunakan alat berat. ”Untungnya, kobaran api masih kecil belum
menyebar ke seluruh ruangan kantin,” ujarnya kepada Media Umat pada hari itu
juga.
Namun, sampai
investigasi ini ditulis, belum diketahui siapa pihak yang bertanggung jawab
dalam pembakaran ini. Tapi yang jelas, ada benang merah dari dua kebakaran
tersebut. ”Ini bisa ditarik benang merah, ternyata kejadian pertama ada kaitan
erat dengan kejadian yang kedua, artinya kejadian pertama memang benar dibakar
bukan terbakar,” pungkas lis. []
Habib
Idrus Al Hamid, Ketua STAIN Jayapura
Usut
Aktor Intelektualnya
Kami mempertanyakan
mengapa pemerintah Kota Jayapura, sehari setelah kejadian merobohkan TKP
kebakaran yang masih terpasang police line? Gambaran kita TKP yang masih
dipasang police line itu, harus koordinasi dan mendapatkan persetujuan dari
pihak kepolisian. Meskipun ada niat baik untuk memulihkan kembali psikologis
siswa atas peristiwa, tetapi di satu sisi ada fakta lain yang memang harus kita
gali. Apakah ini memang korslet atau dibakar. Kalau korslet logika apapun tidak
bisa dipakai karena lampu-lampu masih nyala. Kalau dibakar, siapa pelakunya?
Tapi ada hal yang lebih penting lagi, siapa aktor intelektualnya siapa? Karena
seribu pelaku pun yang ditangkap tidak akan menyelesaikan masalah kalau tidak
aktornya yang diangkat. []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 157, September 2015
---