Pemblokiran situs ini
hanya mengarah kepada situs-situs berita Islam. Tidak ada situs komunis,
separatis, atau situs pornografi.
Dengan alasan
deradikalisasi, pemerintah tiba-tiba memblokir situs-situs media Islam.
Pemblokiran itu merupakan inisiatif Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT). Pelaksananya adalah Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Maka, 22 situs media
Islam ini dalam beberapa hari hilang dari layar monitor pengguna internet.
Tidak hanya membuat gusar pembacanya, penutupan itupun meresahkan sebagian
masyarakat. Soalnya, sebagian dari situs yang diblokir tersebut merupakan milik
organisasi masyarakat (ormas) Islam.
Cap 'radikal' kadung
disematkan kepada situs tersebut. Maka para orangtua yang anaknya bersekolah
atau nyantri di lembaga milik ormas itu pun khawatir terhadap status anak
mereka. Jangan-jangan anak-anak mereka pun ikut diradikalkan.
Pemerintah sendiri
terkesan plin-plan mengenai alasan pemblokiran itu. Di satu kesempatan menyebut
bahwa situs-situs itu menyebarkan paham radikalisme, tapi mereka sendiri tak
bisa menunjukkan buktinya. Mereka berlindung di balik dalih, ”situs-situs itu sudah
kami awasi sejak 2012." Atau ”Kita punya buktinya." Namun, para
pengeloIa situs yang mencoba mencari kejelasan latar belakang pemblokiran harus
gigit jari karena memang BNPT tak pernah menyodorkan bukti.
Serangan yang
bertubi-tubi dari kalangan media massa dengan dukungan tokoh-tokoh publik pun
membuat pemerintah tersudut. Saling lempar tanggung jawab pun terjadi. Di
tengah situasi itu, terlontarlah alasan lain: karena media-media itu dianggap
menjelek-jelekkan Jokowi.
Pertahanan rezim
Jokowi pun jebol. Sepuluh hari kemudian, blokir terhadap situs media Islam
itupun dicabut sebagian. Namun pemerintah tetap bungkam, mengapa blokir itu
dibuka lagi. Apakah berarti mereka sudah tidak radikal? Ataukah memang
pemerintah hanya 'test the water' terhadap kekuatan media massa Islam di dunia
maya? Pengelola situs media Islam pun tetap gusar karena pemerintah Jokowi tak
melakukan rehabilitasi atas nama baik mereka yang sudah tercoreng dengan cap
'radikal.'
Yang jelas,
pemblokiran situs media Islam ini menggelindingkan kembali upaya revisi UU
Antiterorisme. Isu-isu radikalisme kembali terangkat. Bahkan pemerintah
kemudian membentuk tim panel untuk menelisik Iebih jauh situs-situs yang
mengandung paham radikalisme. Panel ini antara lain terdiri atas Majelis Ulama
Islam (MUI), Dewan Pers, Kementerian Agama dan BNPT sendiri.
Anehnya, pemblokiran
situs ini hanya mengarah kepada situs-situs berita Islam. Tidak ada situs
komunis, separatis, atau situs pornografi. Mengapa hanya situs Islam? Bukankah
banyak situs lain yang lebih berbahaya? Begitu banyak analis dan orang awam
berpendapat.
lslamophobia
Para aktivis dakwah
tak terlalu kaget dengan kebijakan pemerintah ini. Soalnya Sebelumnya rezim
Jokowi ini terus mencoba melontarkan gagasan-gagasan yang anti-Islam. Mulai
dari menghapus kolom agama di KTP, mengevaluasi doa di sekolah, sampai melarang
guru agama dari luar negeri masuk ke Indonesia. Bahkan yang paling menonjol
adalah ketika Al-Qur'an dijadikan barang bukti terorisme oleh Densus 88. Apakah
ini bukan untuk memojokkan lslam?
Menjadi pertanyaan
besar yang sampai sekarang belum terjawab: apa sih definisi radikal? Jika
pemerintah saja tidak bisa mendefinisikan hal itu, ini sangat berbahaya.
Soalnya ini bisa memunculkan pemaknaan yang semaunya sendiri dan kemudian
digunakan untuk menyerang siapa saja yang dianggap lawan. Ini bisa melahirkan
rezim represif seperti di zaman Belanda. Bahwa setiap yang melawan Belanda
adalah ekstrimis. Atau seperti di zaman Orde Baru, siapa saja yang tidak
sejalan dengan pemerintah dicap sebagai ekstrim.
Jika dirunut ke
belakang, istilah 'radikal' itu sendiri sengaja disematkan oleh Barat kepada
siapapun yang tidak sejalan dengan prinsip Barat. Dalam kajian RAND
Corporation, lembaga think tank yang dibiayai Amerika, kalangan radikalis atau
fundamentalis adalah mereka yang ingin menerapkan Islam secara kaffah, menolak
demokrasi, dan tidak sejalan dengan Barat.
Kata yang sebenarnya
netral itu akhirnya memiliki konotasi buruk karena menjadi propaganda Amerika
Serikat dan Barat untuk melemahkan Islam dan kaum Muslim. Mengapa itu dilakukan
Barat kepada Islam? Itu tidak lain dan tidak bukan karena mereka khawatir terhadap
perkembangan Islam yang tumbuh hampir di semua negeri-negeri Islam belakangan
ini. Sayangnya Islam yang tumbuh itu bukanlah Islam seperti yang diinginkan
oleh Barat.
Terlebih lagi Barat
pun telah melakukan kajian mendalam dalam beberapa tahun terakhir terkait hal
itu. Kesimpulan mereka, lslam akan menjadi salah satu kekuatan politik di dunia
selain kekuatan yang sudah ada. Dan ini bukan main-main. Mereka khawatir dominasi
mereka di dunia Islam akan hancur.
Jika itu terjadi, maka
keIangsungan hidup mereka habis. Soalnya, mereka selama ini hidup dari
imperialisme atas dunia Islam. Kebangkitan Islam sangat menakutkan mereka.
Berbagai upaya
penghadangan dilakukan. Propaganda busuk terhadap media Islam, pengemban
dakwah, lembaga Islam, digalakkan. Ini untuk mencegah agar umat Islam tidak
mengamalkan ajaran agamanya yang benar. Mereka berharap kaum Muslim mau
mengikuti ajaran Islam versi Barat.
Selain itu, Barat
dengan kekuatan politik dan ekonominya menggunakan para penguasa dan
pembebeknya untuk melemahkan Islam itu sendiri. Dengan tangan orang lain inilah
musuh-musuh lslam menyerang Islam. Ibarat pepatah: lempar batu sembunyi tangan.
Mereka mencoba mengadu domba sesama MusIim.
Ujung-ujungnya Barat
ingin tetap bercokol di negeri Muslim, merampok kekayaan alamnya, dan
meninabobokkan rakyatnya dengan jargon-jargon indah tapi semu seperti
demokrasi, HAM, persamaan gender dan sebagainya. lnilah mengapa islamophobia
selalu muncul dengan berbagai bentuk dan warna. Bahkan 'penyakit' islamophobia
inipun bisa diidap oleh rezim penguasa negeri Islam sehingga merekapun alergi
terhadap Islam, meskipun mengaku Muslim.
Waspadalah! []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 149, April 2015
---