Merubah
Tempat Ibadah Orang Kafir dan Kuburan Mereka Menjadi Masjid
Apabila dalam merubah
tempat ibadah orang kafir itu dilakukan dengan cara memaksa mereka dan merampas
hak-hak ahlu dzimmah dalam beribadah,
maka tindakan seperti ini tidak dibolehkan oleh syariat. Itu dibolehkan setelah
orang-orang kafir menyerahkannya, dan mereka meninggalkan tempat ibadah
tersebut, atau mereka membangun tempat ibadah mereka dengan menyalahi hukum
(akad) ahlu dzimmah.
Dibolehkan merubah
gereja orang Nasrani, sinagog orang Yahudi, dan tempat-tempat ibadah orang
Hindu, serta tempat-tempat ibadah orang kafir lainnya menjadi masjid. Tentu
saja setelah menghilangkan terlebih dahulu berbagai kemungkaran yang ada di
dalamnya: seperti keberadaan berhala, patung, dan berbagai syiar-syiar
kekufuran. Dari Utsman bin Abil Ash:
“Bahwasanya Nabi Saw.
telah memerintahkannya untuk membangun Masjid Thaif, bagaimanapun banyaknya
patung dan berhala di sana.” (HR. Abu Dawud)
Dibolehkan pula
merubah kuburan orang-orang kafir sebagai masjid setelah meratakannya dengan
tanah dan membersihkannya dari bangkai-bangkai mereka. Anas ra. telah
meriwayatkan -kisah Rasulullah Saw. membangun Masjid Nabawi ketika Beliau Saw.
tiba di Madinah- bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Wahai Bani Najar,
tetapkanlah harga untukku atas lahan kalian ini. Mereka berkata: 'Tidak, demi
Allah, kami tidak akan meminta harganya kecuali hanya kepada Allah.’ Anas
berkata: “Di atasnya ada sesuatu yang aku katakan pada kalian, yakni ada
kuburan orang-orang musyrik, lubang-lubang, dan ada pohon kurma. Maka Nabi Saw.
memerintahkan agar kuburan orang-orang musyrik tersebut digali, kemudian
lubangnya diratakan, dan pohon kurmanya ditebang. Setelah itu dijajarkanlah
pohon kurma itu sebagai kiblat masjid, dan mereka menjadikan kedua sakanya dari
batu, lalu mereka mengangkat batu besar sambil bersajak…” (HR. Bukhari, Muslim,
Abu Dawud dan al-Nasai)
Namun, apabila dalam
merubah tempat ibadah orang kafir itu dilakukan dengan cara memaksa mereka dan
merampas hak-hak ahlu dzimmah dalam
beribadah, maka tindakan seperti ini tidak dibolehkan oleh syariat. Itu
dibolehkan setelah orang-orang kafir menyerahkannya, dan mereka meninggalkan
tempat ibadah tersebut, atau mereka membangun tempat ibadah mereka dengan
menyalahi hukum (akad) ahlu dzimmah. Dalam kondisi ini kaum Muslim boleh
merubah tempat ibadah mereka tadi sebagai masjid, atau menjadikannya sebagai
kantor negara.
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(artikel blog ini
tanpa tulisan arabnya)