Sebuah laporan Komite
PBB untuk Hak-Hak Anak menyatakan bahwa ratusan anak-anak dilaporkan tewas,
“akibat gempuran dan serangan udara oleh pasukan militer AS di Afghanistan”
antara tahun 2008 dan 2012 , karena penggunaan “serangan tidak pandang bulu”.
Di mana hak anak-anak
ini? Jelaslah bahwa kematian mereka “hanyalah” bonus kerusakan tambahan yang
dapat ditolerir oleh pemerintah kolonial tersebut demi mengamankan kepentingan
mereka di wilayah tersebut. Kondisi pendudukan, perang dan ketidakstabilan ini
juga telah menciptakan lingkungan tanpa hukum yang penuh dengan kejahatan,
penculikan, dan pemerkosaan. Semua ini telah menyebabkan banyak orangtua
mencegah anak perempuan mereka bepergian jauh dari rumah mereka, termasuk ke
sekolah. Lalu, bagaimana negara penuh ketidakstabilan, kehancuran, dan
ketidakamanan bisa memberikan kualitas pendidikan yang baik kepada warganya?
Setelah lebih dari 10 tahun pendudukan, hampir 9 dari 10 perempuan di
Afghanistan tetap buta huruf. Oleh karena itu, kebijakan luar negeri penjajah
Barat yang destruktif lah yang tidak hanya merampok pendidikan para remaja
perempuan, tapi juga merampok kehidupan dan martabat mereka, dan menjadi salah
satu hambatan utama bagi persekolahan yang efektif untuk mereka.
Pelaksanaan syariah
Islam secara kaffah menjamin minimalnya
kasus kehamilan tak diinginkan, baik akibat tindak pemerkosaan ataupun karena
pergaulan bebas. Hukum seputar pergaulan ditegakkan seperti: memisahkan
kehidupan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram(infishol),
mengharamkan khalwat,
memerintahkan untuk menahan pandangan (ghadhul-bashar),
menjaga batas-batas aurat laki-laki dan perempuan hingga anjuran untuk
menikah.
Khilafah memberikan
sanksi kuratif terhadap pelaku pelanggaran pemerkosaan baik berupa hudud,
jinayat, ta’zir dan mukhalafat. Pelaku perkosaan akan mendapatkan sanksi
berat. Sementara korban akan mendapatkan pemulihan baik fisik maupun
psikis, hingga secara mental siap menjaga kandungannya bahkan merawat anak
tersebut. Keluarga dan masyarakat dalam Islam harus 1) memiliki pandangan yang
benar, 2) turut serta memberikan suasana kondusif bagi korban, sehingga mampu
melewati masa sulitnya, tanpa mendapatkan stigma negatif dan pengucilan, 3)
memahami hak hidup bayi yang masih dikandung terjamin kelangsungannya.
pentingnya penerapan
syariah Islam dan penegakan Khilafah untuk mengatasi masalah pemerkosaan dan
seluruh problematika kehidupan manusia.
Persoalan Palestina
sudah berlangsung lebih dari 60 tahun. Selama puluhan tahun itu pula bangsa
Palestina tak henti mengalami penderitaan. Mereka terus mengalami penistaan,
pemerkosaan, pengusiran bahkan pembantaian yang keji oleh Zionis Israel yang
tak punya perasaan.
Sekitar
1400 anak menjadi korban pemerkosaan dalam jangka waktu 16 tahun di kota kecil
Rotherham, Inggris. Kasus menghebohkan itu membangkitkan kontroversi tentang
perlindungan anak.
Kasus pemerkosaan anak
yang terungkap di kota kecil Rotherham di Inggris sungguh menghebohkan. Betapa
tidak, selama kurun waktu 16 tahun diperkirakan ada 1400 anak yang menjadi
korban pemerkosaan jaringan predator. Tapi jumlah korban yang sebenarnya mungkin
lebih besar lagi.
Pemerkosaan anak
secara massal itu terjadi selama tahun 1997 sampai 2013, kata Profesor Alexis
Jay, yang memimpin komisi pemeriksa di Rotherham. Komisi tersebut dibentuk
tahun 2010 setelah lima lelaki dinyatakan bersalah mencoba memperkosa seorang
anak gadis.
“Ada contoh kasus
dimana anak-anak disiram dengan bensin dan diancam akan dibakar, mereka juga
diancam dengan todongan senjata, mereka disuruh menyaksikan pemerkosaan bruta
terhadap anak lain, dan mereka diancam akan menjadi korban berikutnya, jika
mereka membuka mulut”, kata Jay.
Indonesia yang sejak
awal ‘konsisten’ mengadopsi sekularisme—sejak zaman Orde Lama, zaman Orde Baru
hingga Orde Reformasi—faktanya makin terpuruk dalam segala bidang. Demokrasi
dan ekonomi liberal hanya memproduksi banyak masalah di negeri yang kaya-raya
ini: kebejatan moral (kebebasan seksual, KDRT, kehamilan di luar nikah,
narkoba, korupsi, dll), angka kriminalitas yang tinggi (perampokan, pencurian,
pembunuhan, pemerkosaan, dll), kemiskinan, pengangguran, anak putus sekolah,
gizi buruk, dll.
Kita juga tidak
melihat keributan seperti di tahun-tahun terjadinya pemerkosaan sistematis oleh
rezim Maliki, penyiksaan dan pembunuhan terhadap kaum Sunni di Irak. Semua ini
menunjukkan bahwa masalah bagi Barat bukanlah kekerasan tapi ‘kepentingan Barat’
–suatu eufimistis untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan politik yang diperoleh
melalui eksploitasi negara-negara yang lebih lemah.
Rentetan berbagai
kejadian perkosaan yang selama beberapa pekan terakhir marak terjadi, sebut
saja kasus pemerkosaan dua gadis di India, telah memicu simpati dari berbagai
pihak. Hanya saja, berbagai upaya antisipasi yang dilaksanakan belum menyentuh
akar permasalahan, bahkan cenderung sekedar respon reaktif atas maraknya
pemberitaan di berbagai media massa. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia
pernah melakukan razia atas angkutan kota menyusul kasus perkosaan yang menimpa
seorang karyawati beberapa tahun silam. Kebijakan ini, tentu tidak terasa
efektivitasnya tanpa adanya penghilangan pemicu rangsangan seksual seperti
miras, tindakan dan tayangan pornografi-pornoaksi, hukuman ringan yang menjerat
para pelaku, dan lain sebagainya.
Pemerintah Raheel –
Nawaz bersegera memperpanjang undangan kunjungan bagi Modi, bahkan sebelum dia
resmi menjabat Perdana Menteri. Kemarin sore, Nawaz Sharif menyebut Modi, sang
pembantai dari Gujarat, mengucapkan selamat kepada dia dan menawarkan keinginan
baiknya. Hizbut Tahrir bertanya kepada rezim Raheel – Nawaz, bagaimana mereka
bisa mengucapkan selamat kepada orang yang mengawasi pembantaian terhadap
ribuan Muslim dan pemerkosaan terhadap kaum perempuan Muslimah? Apakah rezim
Raheel – Nawaz mewakili umat Hindu ekstremis sehingga mereka bersukacita atas
kemenangan Modi, dan meninggalkan hal-hal lain yang lebih mendesak hanya untuk
memanggil dia?