terlepas dari semua
pembicaraan seputar hak-hak perempuan, perempuan di Irak seperti halnya di
Afghanistan telah membayar mahal atas intervensi barat di negeri mereka. Mereka
terjebak dalam kekacauan tak berujung, kekerasan, dan ketiadaan hukum membawa pada
tingginya angka penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan.
Pelecehan seksual dan
pemerkosaan kerap mendera kaum wanita. Anehnya, banyak di antara mereka malah
memberi peluang untuk dilecehkan bahkan diperkosa. Atas nama emansipasi mereka
menuntut peluang besar untuk berkiprah di ranah publik. Ditambah busana mereka
yang jauh dari syar’i bahkan terkesan
seksi. Tak merasa bersalah menggunakan rok mini. Dalihnya, ini hak asasi.
Sistem kapitalisme
sekuler dengan ide-ide feminis dan gendernya sejatinya telah mengeksploitasi
perempuan dari sisi fisik belaka bukan dari sisi pengetahuan dan keahliannya.
Sistem ini pula yang telah memaksa para perempuan bekerja karena tuntutan
ekonomi rumah tangga. kemiskinan perempuan menjadi problem cukup serius di
sebagian besar negri-negri kaum muslim. Sementara perempuan Barat yang meski
berkecukupan dari sisi materi, namun jauh dari kebahagiaan sejati. Perempuan
Barat sangat rentan mengalami tindak kekerasan seperti pemerkosaan, pelecehan
seksual bahkan pembunuhan.
fakta saat ini
perempuan dalam cengkeraman Kapitalisme. Neoliberal dan Neoimperialis telah
menyebabkan perempuan hanya jadi budak nafsu. Tidak ada ketenangan dan
ketentraman terlebih kesejahteraan, yang ada justru perempuan mengalami
penderitaan, kemiskinan, pemerkosaan, dan kehinaan yang terus menerus terjadi.
Sehingga tidak ada alasan untuk mempertahankan demokrasi dengan segala
nilai-nilainya. Karena sesungguhnya peradaban yang mulia hanya ketika
diterapkan aturan Islam dalam naungan Khilafah.
Pegiat feminisme
mendorong perempuan untuk meninggalkan rumah untuk bekerja. Bagi kaum
feminis dan liberal, kemuliaan perempuan diukur dari kemampuan
menghasilkan uang. Kemampuan perempuan juga dinilai dari jabatan, partisipasi
dalam politik, dan segala macam yang bersifat materi. Padahal di Inggris,
setiap 10 menit perempuan mengalami pemerkosaan. Sepuluh besar negara dengan
angka kekerasan seksual tertinggi terhadap perempuan dirajai oleh negara-negara
Amerika Utara dan Eropa.
Insiden menghebohkan
pada pertengahan Mei 2014 lalu di Aceh dimana ada peristiwa seorang perempuan
Aceh korban pemerkosaan dihukum cambuk oleh polisi Syariah Aceh, menjadi contoh
bagaimana media nasional dan internasional sangat tidak proprosional dalam mengeksposnya,
seperti di Harian Kompas, The Globe Jakarta, Daily Mail (Inggris) dan The Age
(Australia), melansir berita tersebut secara serentak pada 6 Mei 2014 lalu
dengan judul-judul berita yang sangat tendesius dan provokatif. Contohnya saja
judul di Harian Kompas: “Diperkosa Delapan Orang, Wanita Ini Akan Dicambuk
Polisi Syariah”. Begitu juga dengan judul di The Age: “Aceh woman, gang-raped by vigilantes for alleged adultery, now to be
flogged”. Januari 2015 media Australia The Sydney Morning Herald kembali mengkritisi kasus ini karena
delapan bulan setelah pemerkosaan terjadi, polisi masih belum menemukan lima
pelaku pemerkosaan. Kritik itu muncul dalam tulisan berjudul ‘Aceh’s Sharia Law: Raped and beaten; then formally
whipped’ yang dipublikasikan pada 9 Januari 2015. Siapapun yang
membaca judul – judul seperti ini sangat mungkin salah paham dan menilai
negatif terhadap hukum Syariat Islam.
Pemberitaan media ini
seakan mengabaikan kaidah jurnalistik terhadap kronologis empirisnya, dimana
sebenarnya peristiwa itu merupakan dua kasus yang berbeda yang bermula dari
tertangkap basahnya perselingkuhan antara seorang janda muda dengan lelaki paruh
baya oleh delapan orang pemuda, namun bukan justru diserahkan ke polisi
Syariah, tapi malah diperkosa secara bergiliran oleh kedelapan pemuda tadi.
Atas dasar fakta hukum tersebut, Kepala Dinas Syariat Islam Langsa – Ibrahim
Latief menyatakan kasus perzinaan dan pemerkosaan dibagi dalam dua kasus
terpisah. Untuk pemerkosaan, kata dia, ditangani oleh polisi karena merupakan
tindak pidana. Hukuman pidana untuk pemerkosaan adalah maksimal 15 tahun.
organisasi-organisasi,
individu-individu dan bahkan institusi semacam PBB juga telah memberikan
dukungannya terhadap invasi militer ini – yang terlihat jelas dari minimnya
ekspresi kepedulian mereka terhadap efek mengerikan dari sanksi yang dijatuhkan
terhadap Afghanistan dibawah resolusi dewan keamanan PBB nomor 1267 – terhadap
kaum perempuan Afghanistan; ATAU banyaknya nyawa perempuan Afghanistan
dan keluarganya serta anak-anak yang hilang akibat aksi militer ini; ATAU fakta
bahwa pemboman Barat ke Afghanistan pada pertengahan 3 tahun musim kemarau akan
menempatkan kaum perempuan pada resiko yang lebih besar akan kelaparan akibat
terhambatnya pendistribusian bantuan makanan. Semua hal tersebut merupakan
ilustrasi dari tidak adanya kepedulian yang tulus terhadap keadaan para
perempuan di Afghanistan, seperti halnya kondisi mengerikan yang telah tercipta
sebagai konsekuensi dari pendudukan Barat yang berujung pada kematian, korban
luka dan evakuasi puluhan ribu perempuan Afghanistan dan menciptakan sebuah
tatanan masyarakat tanpa hukum dengan angka penculikan, pemerkosaan, dan
kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat. Berdasarkan data dari
PBB, 5000 orang telah dibunuh pada 6 bulan pertama di tahun 2014, serta
kematian dan luka yang dialami oleh perempuan dan anak-anak akibat bahan
peledak rakitan – meningkat sampai 38% pada semester pertama tahun 2013. Dan
sekarang terdapat 1.5 juta janda perang di negara tersebut.