Yuyun merupakan korban
perkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh 14 orang pada awal April lalu di
Rejang Lebong, Bengkulu. Para pelaku mengaku terpengaruh minuman keras dan
konten pornografi sebelum lekakukan aksi bejatnya tersebut. ( harianjogja.com,
08/05/2016)
Tanpa memakai sehelai
pakaian, kedua tangan terikat, wajah lebam dan berulat serta kulit yang mulai
mengelupas. Tak mungkin rasanya ia ditemukan kalau bukan karena bau busuk
menyengat. Yuyun adalah seorang gadis SMP kelas II di SMPN 5 Satu Atap Padang
Utak Tanding (PUT) biasa yang harusnya sedang menikmati masa remajanya. Tapi
karena ulah 14 orang kriminil, ia harus meregang nyawa dengan cara yang
memilukan. Dari hasil visum tersebut didapai tanda-tanda telah terjadinya
kekerasan. Kemaluan dan anusnya pun menyatu. Tak dapat dibayangkan betapa sakit
yang dialami oleh Yuyun ketika kejadian naas itu menimpanya. Dari visum dokter
juga diduga Yuyun telah menghembuskan nafas ketika perkosaan masih berlangsung.
Karena kasus ini tidak terjadi di ibukota atau kota besar melainkan di desa
kecil, kasus ini terlambat menyita perhatian publik.
Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang kini mendorong pemerintah
supaya segera mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah masuk
dalam Prolegnas 2016, karena aturan-aturan yang ada sudah tidak lagi bisa merespon
isu kekerasan seksual secara komprehensif. Komnas Perempuan mencatat kasus
kekerasan seksual tahun 2016 naik menjadi peringkat kedua dengan jumlah kasus
perkosaan mencapai 2.399 kasus atau 72 persen, pencabulan mencapai 601 kasus
atau 18 persen, sementara kasus pelecehan seksual mencapai 166 kasus atau 5
persen.
Masyarakat kembali
dikejutkan dengan penemuan jenazah seorang anak perempuan yang diketahui
berinisial PNF di Jalan Sahabat, RT 05/05 Kelurahan Kamal, Kalideres, Jakarta
Barat, pada Jumat (2/10/2015) malam. Jenazah PNF ditemukan di dalam
kardus. Berdasarkan hasil otopsi, diduga PNF menjadi korban kekerasan
seksual (perkosaan) sebelum dibunuh. Itu artinya, pelaku diduga seorang
pengidap pedofilia.
Jika kekerasan seksual
terhadap anak itu dalam bentuk perkosaan, maka pelakunya, jika muhshân, akan dirajam hingga mati; sedangkan
jika ghayr muhshân, akan dicambuk
seratus kali. Jika pelecehan seksual tidak sampai tingkat itu maka pelakunya
akan dijatuhi sanksi ta’zîr, yang bentuk
dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah dan qâdhi (hakim). Pelaksanaan semua sanksi itu
dilakukan secara terbuka, dilihat oleh masyarakat dan segera dilaksanakan tanpa
penundaan lama. Dengan itu pelaku kekerasan terhadap anak tidak akan bisa
mengulangi tindakannya. Anggota masyarakat lainnya juga tercegah dari melakukan
tindakan kejahatan serupa.
Saat marak peristiwa
perkosaan di angkutan umum, tidak ada tindakan tegas yang dilakukan pemerintah.
Alih-alih menyelesaikan penyebab permasalahan serta melindungi dan memberikan
rasa aman kepada perempuan. Yang terjadi justru Kapolda Metro Jaya Inspektur
Jenderal Tito Karnavian menyarankan perempuan membawa alat proteksi saat pulang
pada malam hari (Kompas.com, 23/6/2015).
nasib perempuan
sekarang. Mereka dipaksa untuk menjadi penyelamat ekonomi keluarga dari
keganasan dan kerakusan neoliberalisme yang telah menyengsarakan dan
menciptakan kemiskinan. Sungguh ironis! Di negeri yang memiliki SDA berlimpah,
saat ini masih terdapat 22,77 juta perempuan Indonesia hidup di bawah garis
kemiskinan. Lebih dari 2,5 juta perempuan menjadi buruh migran. Mereka
meninggalkan anak dan keluarganya akibat kemiskinan. Jumlah mereka bertambah
ribuan setiap tahunnya meski banyak kasus-kasus perkosaan dan kekerasan tidak
manusiawi menimpa.
Kalau dalam peradilan
Islam, orang yang merasa menjadi korban suatu kejahatan, misalnya korban
penipuan, pencurian, perkosaan, atau penghinaan, semestinya segera melapor
(yakni tidak menunda-nundanya) untuk mengajukan gugatan kepada peradilan.
Pengajuan gugatan ini apakah ada kedaluwarsanya menurut syariah Islam? Ada,
yaitu 15 (lima belas) tahun, kecuali ada uzur syar’i,
sehingga tuntutan tetap berlaku meski lebih dari 15 tahun. Dalam kitab Al-Mawsu’ah al-Jina’iyyah al-Islamiyyah
(1/197) ada pembahasan khusus mengenai penundaan pengajuan gugatan (ta’khir iqamah ad-da’wa) oleh pihak korban
kejahatan. Kitab tersebut mengutip pendapat Imam Ibnu Abidin dalam Radd al-Muhtar (V/419) yang mengatakan bahwa
jika pengajuan gugatan ditunda lebih dari 15 tahun, maka gugatannya ditolak
karena dianggap telah kadaluwarsa (at taqaadum,
obsolescence), kecuali ada uzur syar’i,
misal pihak penuntut sakit atau tinggal jauh dari peradilan, namun dikecualikan
untuk kasus wakaf dan waris, yang tuntutannya masih berlaku walau sudah lebih
dari 15 tahun.
Fakta menunjukkan
kasus remaja seperti pergaulan bebas, penculikan dan perkosaan masih terus
nyaring terdengar. Nyata kekuasaan dalam demokrasi saat ini ternyata gagal
menyelesaikan kasus-kasus tersebut, atau mengurangi sedikit kasus saja,
faktanya justru persentase semakin bertambah. Oleh karena itu remaja harus ikut
aktif terlibat untuk melakukan perubahan yaitu terlibat dalam aktivitas politik
Islam.
Di Barat, banyak kaum
perempuan bukan hanya mengalami kekerasan secara seksual, misalnya dengan
banyaknya kasus perkosaan terhadap mereka, tetapi tubuh mereka pun dijadikan
objek untuk kepentingan para pebisnis kapitalis. Faktanya juga, kebebasan dan
kesetaraan ala Barat telah menjadikan kaum perempuan melepaskan perannya
sebagai ibu dan pengatur rumah tangga akibat mereka terlalu dieksploitasi di
sektor publik. Akibatnya, adalah banyaknya kasus perceraian yang berakibat
lebih lanjut pada maraknya kasus keluarga broken home yang melahirkan generasi
yang juga rusak.