Fakta-fakta penolakan mayoritas masyarakat terhadap
penyelenggaraan kontes Miss
World. Penolakan datang tidak hanya dari
umat Muslim, melainkan juga non-Muslim. Penolakan tersebut dikarenakan dusta
konsep 3B (brain,
beauty, behaviour), yang sejatinya,
kontes tersebut merupakan kontes kecantikan an-sich, tidak
ada kaitannya dengan kecerdasan atau kepribadian. Hal itu menjadikan perempuan
seolah-olah layak dieksploitasi, dan para kontestan pun dijadikan sebagai
komoditas bagi industri kosmetik dan fashion. Alasan lain
yang tidak kalah penting adalah, penyelenggaraan kontes Miss World di Indonesia hanya akan membawa dampak negatif bagi
moralitas generasi bangsa. Mempertontonkan aurat wanita sedemikian vulgar dapat
mempengaruhi perilaku-perilaku menyimpang seperti perkosaan, pelecehan seksual,
dan lain sebagainya.
Pameran dan parade
perempuan sebagai produk bagi kesenangan pria ini tidak lain hanyalah latihan
yang kian merangsang keuntungan untuk industri kecantikan dan fashion seperti
Organisasi Miss World Inggris yang menciptakan dan mengelola kontes kecantikan ini.
Mereka telah mendapatkan jutaan uang dari degradasi dan eksploitasi kecantikan
dan tubuh perempuan. Jelaslah bahwa untuk memuaskan dahaga mereka akan uang,
organisasi-organisasi kapitalis ini tidak puas hanya dengan merendahkan dan
mendehumanisasi perempuan di dunia Barat, mereka bahkan ingin mengekspor
penghinaan ini ke dunia Muslim. Pementasan acara ini di negara Muslim terbesar
di dunia bagaikan menyiramkan bensin ke dalam api kejahatan mereka! Kapitalisme
yang didorong oleh pencarian keuntungan, yang moralnya ditentukan oleh uang,
telah mempromosikan kapitalisasi tubuh perempuan sebagai alat pemasaran bisnis,
semakin memurahkan pandangan atas mereka dalam masyarakat –semua ini dijamin
oleh konsep kebebasan berekspresi dan kepemilikan yang liberal dan rusak.
Adalah dehumanisasi dan degradasi sistematis perempuan dengan iklan, hiburan,
kecantikan, fashion, dan industri pornografi di negara kapitalis Barat seperti
Inggris, AS, dan Australia ini yang telah terbukti menjadi resep atas sikap
tidak hormat, eksploitasi, dan penyalahgunaan perempuan, berkontribusi terhadap
kekerasan, pelecehan seksual, dan perkosaan pada tingkat epidemi di dalam
masyarakat Barat. Di Inggris, setiap menit satu kasus KDRT dilaporkan kepada
polisi, satu dari lima perempuan di Inggris dan Wales telah menjadi korban dari
kejahatan seksual, dan satu perempuan diperkosa atau menjadi korban percobaan
perkosaan setiap 10 menit.
Hobinya nongkrong dan
bergerombol. Jika bermotor di jalan terlihat ugal-ugalan. Tanpa sebab terkadang
mereka merusak fasilitas umum dengan apa saja yang mereka bawa dari pentungan,
kayu, besi, samurai hingga rantai motor. Mereka juga sering kali terlibat dalam
perkosaan, penjarahan dan perampokan, melukai dan membunuh orang tanpa alasan.
Sudah banyak kerugian jiwa dan materil diakibatkan ulah mereka. Demikianlah
perilaku geng motor yang akhir-akhir ini marak diberitakan oleh media massa.
Satu tahun sejak
terjadinya kekerasan brutal oleh etnis Budha terhadap kaum Muslim di negara
bagian Rakhine Myanmar, kaum perempuan dan anak-anak Rohingya hidup sebagai
tunawisma dalam kelaparan dan ketakutan luar biasa atas nasib hidup mereka.
Mereka adalah korban dari kampanye sistematis pembersihan etnis kejam yang
didukung oleh pemerintah sadis Myanmar. Seluruh desa telah dibakar dan terjadi
pula pembantaian yang mengorbankan perempuan dan anak-anak yang dibacok hingga
mati dan tubuh mereka lalu dibakar. Perkosaan sistematis juga telah digunakan
oleh pasukan keamanan Burma sebagai senjata penganiayaan. Puluhan ribu
perempuan dan anak-anak Rohingya mengungsi dari rumah mereka dan kini harus
tinggal di kumuh seperti kamp-kamp pengungsi kumuh yang menyerupai penjara di
Burma dengan makanan dan perawatan medis yang tak memadai tanpa air bersih dan
sanitasi. Mereka pun tidak memiliki negara akibat telah ditolaknya
kewarganegaraan di negeri mereka sendiri oleh rezim Burma yang telah merampas
hak mereka atas kesehatan, pendidikan, kebebasan gerak, dan pekerjaan bagi kaum
laki-lakinya. Semua hal ini berlangsung sejalan dengan kebijakan pengendalian
kelahiran menindas yang melarang mereka memiliki lebih dari dua anak, yang
bertujuan untuk membendung pertumbuhan penduduk Rohingya. sekalipun semua
kekejaman ini terjadi, PBB, negara-negara demokrasi Barat, media global, pihak
oposisi demokratis Burma, dan bahkan banyak organisasi HAM tanpa rasa malu
memilih untuk mengabaikan aksi pembantaian dan ketidakadilan ini, malahan
memilih untuk melindungi dan mengejar kepentingan ekonomi dan politik mereka di
Burma, yang secara nyata memperlihatkan omong kosong HAM.
Perkosaan sistematis
juga telah digunakan oleh pasukan keamanan Burma sebagai senjata penganiayaan.
Puluhan ribu perempuan dan anak-anak Rohingya mengungsi dari rumah mereka. Kini
mereka harus tinggal di lingkungan kumuh seperti kamp-kamp pengungsi yang menyerupai
penjara di Burma. Makanan dan perawatan medis untuk mereka tak memadai, tanpa
air bersih dan sanitasi.
Siksaan yang mereka
alami benar-benar mengerikan. Seluruh desa telah dibakar. Dalam sebuah
pembantaian, perempuan dan anak dibacok sampai mati dan tubuh mereka dibakar.
Perkosaan sistematis juga telah digunakan oleh pasukan keamanan Myanmar sebagai
senjata penganiayaan.