Masalah pemerkosaan, tidak bisa diselesaikan hanya dengan pemberlakuan jilbab
saja. Ini juga terkait dengan masalah pendidikan masyarakat yang harus secara
gratis diperoleh oleh masyarakat. Juga kurikulum pendidikannya, yang
benar-benar harus menghasilkan anak-anak didik dengan kepribadian mulia. Agar
mereka bisa terhindar dari split personality, satu sisi mendapatkan ilmu di
sekolah, tapi di sisi lain kosong dari moral.
Kita menyaksikan di
depan mata bagaimana pembunuhan, pemerkosaan, pencurian dan perampokan
terus-menerus terjadi, seakan tidak bisa dicegah. Rakyat lagi-lagi harus
mengurus urusannya sendiri. Mereka terpaksa menyewa petugas keamanan swasta
atau ronda di malam hari.
para pengusung Islam
Liberal ingin menegaskan bahwa mereka membuat ‘ajaran baru’ berupa
reinterpretasi terhadap nash-nash (baik al-Quran maupun al-Hadis) sesuai dengan
akal mereka, namun dipaksakan tetap bersandarkan pada metode dan substansi
Islam agar seolah-olah masih ‘menemukan akarnya’ dalam khazanah pemikiran
Islam. Padahal faktanya, ini adalah bentuk ‘pemerkosaan’ metode pengambilan
nash. Walhasil, hasilnya pun sangat melenceng dari apa yang dipahami oleh
Islam. Munculnya pemikiran negara sekular yang dipaksakan kepada seluruh kaum
Muslim dan penafian Kekhilafahan global (sistem pemerintahan Islam global)
jelas merupakan bentuk ‘pembunuhan’ terhadap pemikiran Islam itu sendiri.
Korban dari
globalisasi kapitalisme dan undang-undang yang mengusung nilai liberal dan
gender itu tak lain dan tak bukan adalah ibu dan anak. Seorang ibu dibebankan
tugas ganda, mendidik anak dan pada saat yang sama mencari nafkah yang
seharusnya merupakan tugas suami. Dalam konflik rumah tangga, seorang istri
dipaksa menjanda melalui solusi perceraian. Korban anak-anak juga telah jelas
terlihat. Kasus banyaknya korban smackdown adalah salah satu cermin kurangnya
kontrol orang tua terutama ibu terhadap konsumsi tontonan anak. Belum lagi
terjadinya pelecehan seksual, pemerkosaan, dan aborsi yang terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Semua ini yang paling dirugikan adalah kaum
perempuan termasuk ibu dan anak-anak.
Anak-anak dan remaja
akhirnya digiring menuju pintu seks bebas, karena pintu pernikahan tertutup
bagi mereka. Tak ayal, pacaran, seks di luar nikah, pencabulan dan pemerkosaan
di kalangan “anak” di bawah usia 18 tahunpun merajalela dewasa ini. Ditambah lagi,
sengaja atau tidak sinetron-sinetron di layar kaca yang bertema nikah muda
selalu mencitrakan gambaran negatif. Seakan-akan menikah muda itu sangat buruk.
Sebuah survey yang
dilakukan di sembilan negara bagian AS, yang dilakukan selama 5 tahun,
menyatakan bahwa 60% pengacara perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan
seksual. Pelecehan tersebut dilakukan, sepertiganya oleh kolega, 40% oleh
klien, dan 6% oleh hakim. Penelitian yang dilakukan University of Medical
Researchers tahun 1998, diketahui bahwa diantara prajurit perempuan pasukan AS
dalam perang Vietnam atau perang Teluk, 63% mengalami pelecehan fisik dan
seksual selama menjalani tugas kemiliterannya, dan 43% dilaporkan mengalami
pemerkosaan atau usaha pemerkosaan.
BBC melaporkan, hampir
25% perempuan di Inggris pernah mengalami kekerasan domestik dalam
kehidupannya. Setiap 60 detik, kepolisisn Inggris mendapat panggilan menangani
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan menerima 1300 telepon pengaduan masalah
ini setiap harinya. KDRT di Inggris pun telah memakan 2 korban tewas setiap
minggunya!
Pemerkosaan terjadi
setiap menit di AS dan di Inggris sepertiga perempuan pernah menjadi korban
pelecehan seksual pada usia 18 tahun. Jumlah pemerkosaan pun dilaporkan
meningkat 500% antara 1996-1997 (Nawaz,2006)).
Mereka mengklaim telah
mempunyai peradaban modern dan beradab. Namun sejatinya, peradaban mereka penuh
dengan nuansa bar-bar dan kembali pada kebodohan. Tingginya angka pembunuhan
bayi, prostitusi, pemerkosaan, perceraian, dan single parent (yang paling umum
adalah single mother) adalah menjadi pertanda bahwa adat kebiasaan mereka sama
dengan adat kebiasaan yang dipraktikkan oleh “bangsa-bangsa biadab” Romawi
Kuno, Persia, Arab Jahiliah, dan Yahudi.
Barat dengan
menerapkan standar gandanya mencoba memutarbalikkan fakta, Islam yang rahmatan
lilalamin dicap sebagai biang kekerasan, sementara penindasan, pemerkosaan,
pendudukan yang mereka lakukan di Irak, Palestina, Bosnia, dan banyak negara
muslim lainnya dianggap seperti angin lalu saja. Inilah momentum yang paling
tepat untuk bersatunya umat Islam di dunia untuk melawan segala
kesewenang-wenangan mereka.
Sekali lagi pada 18
Julai 1991, kampanye pembasmian etnik (baca: Islam) dilancarkan dengan nama kod
‘Pyi Thaya’. Terjadilah pembunuhan dan pemerkosaan kejam ke atas kaum Muslimin
Rohingya, pemusnahan tempat tinggal mereka, termasuklah masjid-masjid. Keadaan
ini sekali lagi memaksa Muslim Rohingya lari beramai-ramai meninggalkan kampung
halaman mereka mencari perlindungan di Bangladesh.Akan tetapi , kerana ada
perjanjian Bangladesh-Myanmar, sebahagian mereka telah dikembalikan ke Arakan.
Sebagian lagi hidup dalam buangan dan ketakutan.
Tahun 1999 saja,
dilaporkan tidak kurang dari 20 operasi besar telah dilancarkan terhadap Muslim
Rohingya oleh pemerintah junta. Laporan juga menyebutkan antara tahun 1992
hingga 1995, lebih dari 1,500 Muslim (kebanyakannya pemuda) telah dibunuh, ribuan
lagi telah ditangkap dan disiksa. Muslimah pula senantiasa menjadi korban
pemerkosaan dan hidup dalam ketakutan. Masjid-masjid yang telah sekian lama ada
dirobohkan dan diganti dengan pagoda-pagoda baru penganut Buddha. Yang lebih
menyedihkan, semua pagoda itu dibangun dengan peluh dan keringat kaum Muslimin
yang dipaksa bekerja keras dan disiksa untuk menyiapkannya. Dalam waktu yang
sama , pemerintah ‘mencipta’ satu keadaan kelaparan di kawasan tersebut yang
memaksa Muslim Rohingya keluar dari situ dan ada yang mati kelaparan.Dalam
tahun 2001, kerusuhan terjadi lagi di Arakan di mana ratusan masjid dirobohkan
dan 10 Muslim serta 2 orang penganut Buddha dilaporkan terbunuh. Kerusuhan ini
meletus antara lain kerana pemusnahan patung Buddha yang dijumpai di Lembah
Bamiyan, Afghanistan oleh Taliban dan juga kerana tersebarnya seleberan yang
memfitnah kaum Muslimin yang dilakukan oleh penganut Buddha dan anggota-anggota
‘State Peace and Development Council (SPDC)’ pimpinan Than Shwe (Ketua
Tertinggi Junta).
Muslim dieksploitasi
menjadi buruh paksa untuk membangun asrama tentara, jalan, jambatan, tambak,
pagoda, gudang, kolam dan sebagainya tanpa bayaran apa-apa. Kaum wanita pula
mengalami ketakutan dengan peristiwa pemerkosaan yang sering terjadi di kawasan
tersebut, baik oleh tentera atau pihak kontraktor yang ada.