Ajang kontes
kecantikan juga berpeluang untuk membuka kran kemaksiatan. Sebab konsep
ajang ini tidak jauh dari bau kepornoan yang ditonton oleh banyak orang
termasuk anak kecil. Walhasil, ajang ini menambah daftar tingkat pelecehan
seksual dan pemerkosaan. Ajang yang bergengsi ini sejatinya juga menebarkan
virus Hedonis dan Konsumtif. Masyarakat secara tidak sadar didikte untuk
berpenampilan cantik dan terbiasa dengan busana terbuka sebagaimana yang
ditampilkan oleh peserta Miss Indonesia ini. Akhirnya, generasi Indonesia
khususnya Aceh disibukkan dengan belanja pernak-pernik kecantikan dan
berlomba-lomba untuk tampil seksi. Karena syarat cantik yang disebarkan oleh
ajang ini adalah bertubuh seksi dan berpakaian minim. Sungguh ironis.
menyoroti fenomena
kerusakan generasi (Pemerkosaan terhadap anak yang dilakukan oleh anak)
yang semakin merajalela di Sumatera Selatan. Salah satu faktor penyebab
terjadinya hal tersebut, karena mulai bergesernya peran seorang perempuan.
Perempuan sebagai ibu dan manajer rumah tangga menjadi pencari nafkah demi
memenuhi kebutuhan hidup.
Haruskah semua orang
Kristen meminta maaf atas beberapa kasus kekerasan terhadap anak-anak yang
dilakukan oleh para pendeta selama tahun 70-an dan 80-an? Haruskah semua
wartawan meminta maaf atas skandal penyadapan telepon? Mungkinkah semua pemain
sepak bola profesional harus meminta maaf atas tuduhan pemerkosaan oleh Ched
Evans? Bahkan, karena kita membuat generalisasi yang luas, mengapa tidak semua
orang meminta maaf atas tindakan Ched Evans ?
Semakin banyaknya
perempuan dan anak-anak yang menjadi korban membuat klaim demokrasi sebagai
sistem yang mengusung prinsip egaliter patut diragukan. Di mana-mana demokrasi
gagal memberikan jaminan kesetaraan dan perlindungan kepada kelompok masyarakat
lemah, termasuk kaum wanita dan anak-anak, termasuk di AS yang disebut kampiun
demokrsi. Lebih dari 22 juta wanita di AS pernah mengalami tindak pemerkosaan
dalam hidup mereka (National Intimate Partner
and Sexual Violence Survey 2010). Berdasarkan perhitungan dari National Crime Victimization Survey pada tahun
2012, setiap 90 detik terjadi satu kekerasan seksual di AS (Bureau of Justice Statistics, U.S. Department of
Justice). Ancaman terhadap kaum perempuan bukan saja terjadi di AS,
tetapi bisa ditemukan di negara-negara yang mengusung ideologi
demokrasi-kapitalisme. Padahal salah satu prinsip yang menjadi jargon demokrasi
adalah kesamaan hak, atau egaliter.
Tak bisa dipungkiri
bahwa maraknya kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak-anak dan perempuan
adalah dampak dari liberalisme nilai-nilai sosial. Pornografi yang semakin
deras ke tengah masyarakat telah mendorong bagi banyak orang melakukan kejahatan
seksual. Kaum perempuan sekarang tidak lagi merasakan keamanan, bahkan di
tempat umum dan keramaian sekalipun. Beberapa kali pelecehan seksual terjadi di
tengah keramaian seperti angkutan umum, pasar. Anak-anak juga semakin tak
terlindungi, bahkan dari perbuatan kawan sebayanya sendiri! Beberapa kasus
tindak pemerkosaan justru dilakukan oleh teman sepermainan dan masih duduk di
bangku SD.
Sanksi bagi pelaku
kejahatan tersebut juga menjadi persoalan. Pada tahun 2012, Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di era SBY, Linda Gumelar
mengeluhkan hukuman bagi pelaku pemerkosa anak terlalu ringan. Ini yang diduga
turut memicu maraknya kejahatan seksual terhadap anak-anak dan perempuan.
Melakukan pengawalan
dan pendampingan perkembangan naluri anak. Idealnya, tatkala anak balig, dia
sudah mampu mengemban taklif untuk melaksanakan keterikatan pada hukum syariah.
Namun, kehidupan sekarang didominasi kapitalisme-liberalisme. Di dalamnya, banyak
faktor yang mempercepat kematangan biologis seperti tayangan film, lagu-lagu,
bahkan pergaulan bebas yang langsung disaksikan anak-anak diakui sebagai salah
satu pemicu anak terlalu dini “dewasa biologis”. Di sisi lain, sistem
pendidikan sekular tidak memberikan bekal yang cukup kepada anak untuk memasuki
masa dewasanya. Sungguh ironis, remaja sudah balig tetapi dipandang masih
anak-anak. Mereka masih ditoleransi melakukan pengabaian hukum syariah
gara-gara masih dipandang sebagai anak yang harus dimaklumi. Padahal tidak
sedikit mereka yang melakukan pelanggaran layaknya orang dewasa seperti
pencurian, seks bebas, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Antisipasinya, kadar
pendidikan yang ditanamkan dalam keluarga harus optimal dalam membentuk pola
pikir dan pola sikap yang islami. Dengan begitu akan terwujud kepribadian
islami dalam diri anak kita. Orangtua semestinya menjadi pihak yang paling
dekat dengan anak. Ini karena orangtualah yang menyayangi mereka dengan tulus.
Orangtua juga yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Rwanda sebagai contoh
adalah sebuah negara di mana wanita lebih banyak daripada laki-laki dalam
parlemen (56% dari anggota parlemen adalah perempuan). Namun, sekitar 45% dari
penduduknya berada di bawah garis kemiskinan, angka yang mencakup jutaan wanita.
Selain itu, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan terus menjadi marak di
dalam negeri. Demikian pula, di Afrika Selatan, 42% dari para wakil di Majelis
Nasional adalah perempuan, namun negara ini justrus semakin terkenal sebagai
salah satu ibu kota pemerkosaan dunia, dan menurut Medical Research Council,
Afrika Selatan memiliki angka tertinggi kekerasan terhadap perempuan yang
pernah dilaporkan dalam penelitian di mana saja di dunia. Mozambik, Tanzania,
dan Uganda adalah satu di antara 20 negara di dunia dengan keterwakilan
perempuan perempuan yang tinggi dalam parlemen, namun tingkat kemiskinan,
penindasan, dan penyalahgunaan hak yang mempengaruhi perempuan dalam
negara-negara ini berada pada tingkat yang menyedihkan.