Oleh: Mujiyanto,
Pengusaha travel umroh
Bisnis adalah urusan
materi. Begitu kebanyakan persepsi yang ada di benak para pengusaha saat ini.
Karena menyangkut materi, mereka berpikir bahwa pengembangannyapun tak perlu
menyertakan tata aturan di luar dari urusan pengembangan materi. Tak perlu bawa
agama.
Persepsi seperti ini
melahirkan pengusaha yang materialistik, permisif, dan hedonis. Segala hal
diukur dengan materi, yang akhirnya menimbulkan sikap kikir dan tidak peduli
terhadap nasib kaum Muslim. Padahal di sisi lain, mereka mengaku sebagai
Muslim. Jadilah mereka sebagai sosok dengan dua kepribadian.
Ini sangat berbeda
dengan contoh pengusaha di era Nabi SAW. Abdurrahman bin Auf menjadi cermin
seorang pengusaha yang mampu meletakkan usaha di bawah ketaatannya kepada Allah
dan Rasul-Nya.
Abdurrahman memiliki
semangat yang membara dalam berusaha. Namun ia tak pernah melepaskan diri dari
agamanya dalam berusaha itu. Baginya perniagaan bukanlah media untuk
memonopoli, atau untuk memupuk harta dan mencintai kekayaan, serta menggunakan
hartanya untuk membeli berbagai macam properti untuk dibanggakan. Ia pun tak
tertarik untuk berlomba dengan para pengumpul harta lainnya guna memuaskan
nafsu pribadi.
Sahabat Nabi SAW ini
berhasil melakukan perniagaan untuk mewujudkan panggilan langit, "Dialah
yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di
segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya."
Ia pun mengamalkan
arahan-arahan Nabi SAW: ”Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di
bawah,” atau, ”Alangkah baiknya harta yang baik pada tangan orang yang baik
pula,” dan, "Harta paling baik yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah
yang ia dapatkan dari tangannya sendiri.”
Tak heran, Abdurrahman
bin Auf seolah menjadi kantor kas tempat mengalirkan kekayaan bagi kaum Muslim.
Ia sumbangkan hartanya untuk dakwah Islam, membantu kaum dhuafa, membebaskan
budak, termasuk menyiapkan pasukan Islam. Sudahlah disumbangkan sangat banyak
ternyata hartanya masih sangat banyak ketika Ia wafat.
Ia pun terjun langsung
dalam medan jihad bersama Rasulullah dalam perang Uhud. Dalam perang itu ia
mendapatkan 20 luka parah pada tubuhnya. Salah satunya bahkan menyebabkan
dirinya pincang dan beberapa giginya rontok sehingga mengurangi kemamapuannya
berbicara lancar. Tak ada kisah yang menceritakan misalnya, Abdurrahman bin Auf
tak mau berjihad karena sedang sibuk berbisnis.
Sikap taatnya kepada
perintah Allah dan Rasul-Nya ini sudah ia tunjukkan ketika hijrah. Panggilan
hijrah ia laksanakan dengan ikhlas dan sabar kendati harus meninggalkan harta
kekayaannya yang banyak di Makkah. Begitu pula sebelumnya, ketika ia ikut dalam
rombongan Muslim hijrah ke negeri Habasyah, ia dengan senang hati menuruti
perintah Nabi.
Abdurrahman bin Auf
menjadi sosok pengusaha pejuang yang berhasil mendudukkan agama sebagai
landasan meraih harta yang berkah. Ia tak takut sama sekali dengan kerugian
meski terikat dengan aturan agama.
Pengusaha model
seperti inilah yang seharusnya lahir di tengah-tengah umat. Pengusaha yang
lebih cinta agamanya dibandingkan terbebani keinginan meraih harta
sebanyak-banyaknya dan terkungkung oleh bisnis. Pengusaha
yang mendedikasikan dirinya untuk memperjuangkan agama Allah dengan segala
kemampuan yang dimilikinya.
Inilah pengusaha
langit! []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 189
---
SMS/WA Berlangganan
Tabloid Media Umat: 0857 1713 5759