Adalah Rasulullah Saw.
dan para sahabatnya yang hidup setelah beliau terbiasa menyalati mayit di mushalla, yakni tempat yang biasa mereka
gunakan untuk melaksanakan shalat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).
Amat sedikit dari
mereka yang menyalatkan mayit di masjid. Dari Abu Hurairah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
memberitahukan tentang wafatnya an-Najasyi pada hari kematiannya, dan beliau
shalat bersama para sahabat ke mushalla
dan berbaris bersama mereka. Beliau bertakbir (menyalatinya) dengan empat
takbir.” (HR. Bukhari dan Malik)
Ibad bin Abdullah bin
Zubair meriwayatkan:
“Bahwa Aisyah
memerintahkan agar jenazah Sa'ad bin Abi Waqash dibawa ke masjid sehingga
beliau bisa menyalatinya. Lalu orang-orang memprotes hal itu (karena tidak
setuju). Aisyah berkata: “Betapa cepatnya orang-orang itu lupa, Rasulullah Saw.
tidak menyalati Suhail bin al-Baidha kecuali di dalam masjid.” (HR. Muslim, Abu
Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dalam hadits lain yang
diriwayatkan Muslim dan Baihaqi dari jalur Ibad bin Abdullah bin Zubair, dia
menceritakan dari Aisyah ra.:
“Bahwa ketika Sa'ad
bin Abi Waqash meninggal, para istri Nabi Saw. memerintahkan agar orang-orang
membawa jenazahnya itu ke dalam masjid sehingga mereka bisa menyalatinya di
sana. Kemudian perintah itu dilaksanakan. Jenazah itu dihentikan di ruang
tengah rumah mereka untuk dishalatkan, lalu dikeluarkan dari pintu di mana
jenazah itu dibawa sebelumnya. Kemudian sampai kabar kepada mereka bahwa
orang-orang mencela hal itu, dan mereka berkata bagaimana mungkin jenazah itu
sampai bisa dimasukkan ke dalam masjid. Kabar itu sampai kepada Aisyah, maka ia
berkata: “Betapa cepatnya orang-orang itu mencela sesuatu yang tidak mereka
ketahui. Mereka mencela kami memasukkan jenazah ke dalam masjid. (Padahal)
tidaklah Rasulullah Saw. menyalatkan Suhail bin Baidha kecuali di dalam ruang
masjid.”
Adapun hadits yang
diriwayatkan oleh Shalih pelayan at-Tauamah dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
menyalati jenazah di dalam masjid maka dia tidak memperoleh apa-apa.” (HR;
Ahmad, Ibnu Majah dan al-Baihaqi)
Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Maka tidak ada shalat
baginya.”
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Maka tidak ada
sesuatu baginya.”
Maka hadits ini pokok
bahasannya tertumpu pada Shalih, pelayan at-Tauamah, hafalannya kacau di
penghujung usianya, dan Ahmad telah mendhaifkannya. Ibnu al-Qathan, Malik dan
an-Nasai berkata: sesungguhnya dia itu tidak tsiqah, sehingga haditsnya tidak
digunakan. Dengan demikian kami nyatakan bahwa menyalati
mayit yang paling utama adalah di mushalla
(tempat yang biasa digunakan untuk shalat dua hari raya), tetapi boleh juga di
masjid tanpa mendapatkan dosa atau cela.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)