Mencukur Bulu Kemaluan
Disebut juga dengan
istilah istihdad. Mencukur bulu kemaluan
itu hukumnya sunah berdasarkan hadits Aisyah yang telah kami sebutkan di atas:
“Sepuluh perkara yang
termasuk fitrah: ...mencukur bulu kemaluan.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud,
Ibnu Majah dan an-Nasai)
Dan berdasarkan hadits
Abu Hurairah yang juga telah kami sebutkan di atas:
“Fitrah itu ada lima:
...mencukur bulu kemaluan.” (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)
Dan juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan seorang lelaki dari Bani Ghifar, bahwasanya Rasulullah
Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
tidak mencukur bulu kemaluannya, tidak memotong kukunya, dan tidak memendekkan
kumisnya, maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Ahmad dengan sanad yang dihasankan oleh as-Suyuthi)
((pembahasan hadits
ini lihat: memotong
kumis))
Lelaki yang tidak
dikenal itu adalah seorang sahabat, ketika seorang sahabat tidak diketahui
namanya dalam rangkaian sebuah sanad maka tidak menjadi masalah, karena mereka
semua memiliki sifat adil.
Mencukur bulu
kemaluan, mencabutinya, mengolesinya dengan nuurah
atau arsenik, semua ini boleh dilakukan selama bisa mewujudkan tujuannya, yakni
menghilangkan bulu dan membersihkan tempat tumbuhnya bulu.
Ahmad bin Hanbal
ditanya:
Engkau berpendapat
seorang lelaki hendaknya mencukur bulu kemaluannya dengan gunting walaupun dia
belum menyelidikinya? Ahmad menjawab: Aku harap itu sudah cukup baginya, insya Allah. Ahmad ditanya lagi: Wahai Abu
Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang seorang lelaki jika dia mencabut bulu
kemaluannya? Ahmad menjawab: Apakah ada orang yang mampu melakukannya?
Ini benar,
sesungguhnya mencabut bulu kemaluan mengakibatkan rasa sakit yang tidak mampu
ditahan oleh kebanyakan orang.
Yang menjadi patokan
adalah menghilangkan bulu tersebut, sehingga sesuatu yang bisa menghilangkan
bulu tersebut boleh digunakan, dan itu dipandang sudah cukup melaksanakan
perkara yang disunahkan. Kita tidak perlu beristidlal
(mengambil kesimpulan) dari hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dan selainnya,
bahwa Rasulullah Saw. suka mengoleskan nuurah.
Hal ini karena hadits tersebut adalah hadits dhaif
sehingga tidak layak dijadikan dalil.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)