Ketiga: Najisnya Darah
Di bagian akhir ini,
secara ringkas akan kami bahas najisnya darah. Sebagian fuqaha menyatakan darah
itu suci, dengan argumentasi beberapa atsar berikut:
a. Dari Aisyah ra.,
dia berkata:
“Kami biasa memakan
daging dan darahnya beralur di atas bejana.”
b. Al-Hasan berkata:
“Kaum Muslim tetap
melaksanakan shalat dengan luka yang mereka derita.” (Atsar ini diceritakan
oleh Bukhari)
c. Dari Miswar bin
Makhramah:
“Kemudian Umar shalat,
sedangkan lukanya mengalirkan darah.” (Diceritakan oleh Malik dan
ad-Daruquthni)
d. Abu Hurairah
memandang tidak masalah ada satu dan dua tetes darah dalam shalat.
Sayang mereka tidak
menyampaikan nash al-Qur’an ataupun hadits. Maka kami katakan: Semua atsar ini
dan semisalnya merupakan pernyataan dan perbuatan sahabat Rasulullah Saw., yang
tidak akan kuat ketika bertentangan dengan hadits-hadits Nabi Saw., padahal
terdapat perintah dari Rasulullah Saw. untuk mencuci/membersihkan darah ketika
hendak shalat, dan hadits-hadits yang telah kami sebutkan sebelumnya (bab
benda-benda najis) menunjukkan bahwa darah itu najis. Dengan demikian
hadits-hadits inilah yang diamalkan, sedangkan berbagai atsar sahabat yang
bertentangan dengannya mesti ditinggalkan.
Selain itu, kita juga
tidak bisa menerima bahwa atsar ini menunjukkan bahwa darah itu suci. Ketika
Abu Hurairah memandang bahwa satu atau dua tetes darah dalam shalat itu tidak
masalah, memberikan arti bahwa darah itu najis, tidak suci. Karena jika menurutnya
darah itu suci, niscaya beliau tidak akan mentaqyid
(memberi batasan) dengan frase “satu dan dua tetes darah.”
Sesuatu yang suci
ketika mengalir dalam jumlah banyak di atas baju maka tidak akan berpengaruh
apapun di dalam shalat, sehingga tidak akan dikatakan tidak masalah dua tetes
air atau minyak di atas baju atau badan di dalam shalat.
Perihal ucapan Aisyah
tentang darah dalam bejana, ini pun tidak bisa menjadi dalil yang menunjukkan
sucinya darah, karena syariat memaafkan sesuatu yang tidak mungkin dihindari. Daging itu tidak mungkin
terhindar dari sedikit darah yang masih mencampurinya, jika seperti itu, ini
akan meniscayakan haramnya memakan daging. Ucapan Aisyah dan pendapat Abu Hurairah ini dipahami
sebagai darah dengan kuantitas yang ringan (sangat sedikit) yang tidak
mengalir, karena yang diharamkan dan najis itu adalah darah yang mengalir
banyak.
Adapun kabar yang
benar tentang Umar bin Khaththab, bahwasanya dia shalat dengan darah terus
menetes dari lukanya, maka atsar ini pun tidak tepat bila dikutip di sini.
Seharusnya atsar tersebut dikutip di dua tempat: (yaitu) kondisi terpaksa (idhthirar), dan kondisi mengalir tanpa
berhenti seperti wanita yang mengeluarkan darah istihadhah
dan seperti orang yang menderita enuresis (ketidakmampuan mengatur air
kencing). Hal ini karena ketika Umar ditikam hingga terburai ususnya, dia
merasa yakin bahwa dia akan meninggal, dia dalam kondisi sedang menghadapi
kematiannya, sedangkan lukanya terus mengeluarkan darah hingga dia meninggal.
Dokter atau terapis manapun tidak akan bisa menghentikan aliran darah seperti
itu, dan juga tidak mampu mencuci lukanya, karena bisa jadi dengan mencuci
lukanya justru akan mempercepat kematiannya sehingga dia akhirnya shalat dengan
kondisi terluka seperti itu. Ini merupakan perkara yang bisa diterima dalam
kondisi seperti itu, sehingga dari peristiwa itu tidak bisa diambil kesimpulan
bahwa darah itu suci.
Begitu pula ketika darah itu
terus menerus mengalir dan tidak mungkin untuk dihentikan, maka hukumnya
seperti orang yang tidak bisa mengendalikan air kencing atau seperti wanita
yang mengeluarkan darah istihadhah, di mana dia harus tetap shalat walaupun air kencing
terus menetes atau darah terus-menerus mengalir. Dua kondisi tersebut tidak menunjukkan air kencing
atau darah itu suci, sehingga apa yang dilakukan oleh Umar tidak bisa
menjadi dalil bahwa darah itu suci.
Tidak ada yang tersisa
kini selain ucapan al-Hasan yang diriwayatkan oleh Bukhari: Kaum Muslim tetap
melaksanakan shalat dengan luka yang mereka derita. Hasan di sini adalah Hasan
Bashri, dia seorang tabi’in, dan ucapan ini berasal dari dirinya dengan asumsi
mencakup juga para sahabat. Ucapan ini bukan nash yang menjelaskan sucinya
darah, bahkan di dalamnya tidak disebutkan kata “darah”, melainkan hanya
disebutkan bahwa kaum Muslim
shalat padahal mereka terluka. Luka itu kadangkala mengeluarkan darah, dan
kadang pula sudah diikat dengan kain pembalut/perban, bahkan bisa jadi ada luka
yang sudah mulai sembuh. Semua itu adalah luka. Selain itu ada luka yang banyak
mengeluarkan darah tetapi ada juga yang sedikit, sehingga bagaimana bisa dari
ucapan seperti ini diambil kesimpulan hukum sucinya darah?
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)