BAB TUJUH
MANDI YANG DISUNAHKAN OLEH NASH
Kami katakan oleh
nash, dalam rangka membedakan antara beberapa kategori mandi yang secara khusus
disebutkan dan dianjurkan oleh nash, dengan beberapa kategori mandi yang
dianjurkan tetapi tidak disebutkan secara khusus oleh nash.
Syariat sangat
menganjurkan kebersihan, dan mandi secara umum dicakup dalam anjuran ini,
sehingga mandi dihukumi mandub (sunah).
Walaupun begitu,
secara khusus syariat menganjurkan mandi dalam beberapa waktu tertentu melalui
nash-nash yang khusus, dan tidak menyebutkan selainnya, sehingga mandi yang
lain tetap berada di bawah keumuman nash yang menganjurkan kebersihan.
Dalam kesempatan ini,
kami hanya akan menyampaikan waktu-waktu yang secara khusus disebutkan dalam
nash-nash tersebut.
Bab ini hanya mencakup
beberapa kategori mandi yang dianjurkan dan dihukumi mandub saja, tidak
mencakup beberapa mandi wajib, seperti mandi karena junub dan haid misalnya,
karena untuk dua perkara terakhir ini ada tempat lain yang akan membahasnya.
Dengan mengkaji
dalil-dalil yang layak digunakan, kita akan melihat bahwa syariat menetapkan
empat waktu untuk mandi [sunnah], yakni:
a. Hari Jumat.
b. Ketika ihram dan
memasuki kota Makkah.
c. Setelah siuman dari
pingsan.
d. Setelah memandikan
jenazah.
Inilah empat waktu
untuk mandi yang secara khusus ditetapkan oleh syara
melalui nash-nashnya. Sedangkan mandi di waktu-waktu lainnya, seperti dua hari
raya, Hari Arafah, i'tikaf, memotong bulu kemaluan, hijamah, dan sebagainya,
maka tidak ada nash-nash yang layak digunakan sebagai dalil khusus yang
mensunahkannya. Misalnya Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dari al-Fakih bin
Saad:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. suka mandi pada Hari Jumat, Hari Arafah, Hari Raya Idul Fitri,
dan hari raya kurban. Dia berkata: Al-Fakih bin Saad memerintahkan keluarganya
untuk mandi pada hari-hari tersebut.”
Di dalam sanad hadits
ini terdapat Yusuf bin Khalid yang dituduh suka berdusta,
dan termasuk orang zindiq.
Contoh lain adalah
hadits yang diriwayatkan Baihaqi dari Ibnu Abbas, dia berkata:
“Rasulullah Saw. suka
mandi pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.”
Di dalam hadits ini
juga terdapat nama Jubarah, yang didhaifkan
oleh Bukhari dan an-Nasai, dan dituduh suka berdusta oleh Ibnu Ma’in.
Misalnya lagi, hadits
yang diriwayatkan Baihaqi, Ahmad, Abu Dawud, dan Daruquthni dari Aisyah
bahwasanya Nabi Saw. bersabda:
“Seseorang mandi
karena empat perkara: karena junub, Hari Jumat, memandikan mayat, dan bekam.”
Tirmidzi berkata: Aku
bertanya kepada Bukhari tentang hadits ini, maka Bukhari berkata: Sesungguhnya
Ibnu Hanbal dan Ali bin Abdillah berkata: Dalam bab ini tidak ada satupun
hadits yang shahih, termasuk hadits ini.
Contoh lain, hadits
yang diriwayatkan Baihaqi bahwa Aisyah ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Mandi itu dilakukan
karena lima perkara: karena junub, bekam, mandi Hari Jumat, mandi (setelah
memandikan) mayat, dan mandi dari air hangat.”
Al-Atsram berkata: Aku
mendengar Abu Abdillah -yakni Ibnu Hanbal berbicara tentang Mush'ab -yakni
Mush’ab bin Syaibah sebagai salah seorang perawi hadits ini, dia berkata:
Hadits-hadits Mush'ab ini terkategorikan hadits munkar, dan aku mendengar dia
berkomentar tentang hadits ini juga.
Tetapi saya berkata:
Seandainya tidak ada satu hadits pun yang valid terkait mandi pada dua hari
raya, setelah berbekam, Hari Arafah, dan yang lainnya selain yang empat waktu
tersebut di atas, maka sesungguhnya mandi pada beberapa kesempatan selain yang empat
waktu ini -jika memang bisa mewujudkan kebersihan dan menghilangkan kotoran-
itu tetap disunahkan berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada, tanpa perlu
menyebutkan dalil-dalil yang dhaif atau
lemah seperti di atas yang menunjukkannya.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)