3. Disetubuhi
Suami boleh
menyetubuhi isterinya yang mustahadhah
(mengeluarkan darah istihadhah, bukan
haid) walaupun bisa jadi saat berhubungan tersebut sang isteri mengeluarkan
darah. Ini adalah pendapat empat imam, yang berbeda dengan pendapat Ibnu Sirin,
as-Sya’biy, an-Nakha’iy, al-Hakim, dan Ahmad (dalam satu riwayat darinya).
Mereka mengatakan persetubuhan tersebut dilarang jika si suami mengkhawatirkan
adanya kesusahan dan jatuh dalam bahaya/keharaman. Mereka yang mengharamkan
persetubuhan tersebut berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan al-Hakim
dalam kitab Ma'rifatu Ulumil Hadits dan
yang diriwayatkan al-Khallal dengan sanad yang sama dari Aisyah, bahwasanya Aisyah berkata:
“Seorang wanita mustahadhah (yang mengeluarkan darah istihadhah) itu tidak boleh disetubuhi
suaminya.”
Mereka mengatakan
bahwa pada wanita mustahadhah itu ada
kotoran atau penyakit, sehingga haram untuk disetubuhi seperti halnya wanita
yang haid. Mereka menganalogikan wanita mustahadhah
dengan wanita haid, karena sebab ('illat)
yang sama di antara keduanya, yakni kotoran (al-adza):
“kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haidh.” (TQS. al-Baqarah [2]: 222)
Pendapat seperti ini
jelas lemah, karena yang mereka riwayatkan dari Aisyah itu adalah qaul shahabiyah (ucapan seorang sahabat).
Padahal ucapan seorang sahabat tidak bisa dijadikan dalil. Dan ketika mereka
menganalogikan (qiyas) wanita mustahadhah dengan wanita haid, maka qiyas seperti itu tidak bisa dibenarkan,
karena fakta haid tentunya berbeda dengan fakta istihadhah,
di mana darah haid itu hitam dan berbau busuk, sedangkan darah istihadhah itu berwarna merah seperti biasa
dan tidak rusak. Ini adalah perbedaan yang pertama.
Selain itu, Allah Swt.
mengharamkan seorang wanita haid untuk shalat, padahal di sisi lain Allah Swt.
memerintahkan wanita mustahadhah (yang
mengeluarkan darah istihadhah) untuk
shalat. Ini merupakan perbedaan kedua, sehingga dengan dua perbedaan ini maka
tidak dibenarkan adanya qiyas atau
analogi.
Kadang ditanyakan
dalil bolehnya menyetubuhi wanita musthadhah,
maka saya jawab bahwa hal itu tidak memerlukan dalil, karena seorang wanita mustahadhah itu adalah seorang isteri yang
berhak disetubuhi. Tidak ada larangan bagi seorang suami untuk menyetubuhi
isterinya, kecuali dalam kondisi haid dan nifas. Selain dua kondisi tersebut,
tidak ada dalil yang melarang dan mengharamkannya. Pada prinsipnya boleh
menyetubuhi isteri berdasarkan keumuman dalil, dan tidak menjadi haram kecuali
dengan dalil, padahal justru di sini tidak ada dalil yang mengharamkannya. Abu
Dawud telah meriwayatkan dari Ikrimah dari Hamnah
binti Jahsy dengan sanad hasan:
“Bahwasanya dia dahulu
suka mengeluarkan darah istihadhah ( mustahadhah), dan suaminya suka
menyetubuhinya.”
Hamnah adalah isteri
Thalhah bin Ubaidillah ra.
Abu Dawud juga
meriwayatkan dari Ikrimah:
“Ummu Habibah dahulu
suka mengeluarkan darah istihadhah, dan
suaminya suka menyetubuhinya.”
Ummu Habibah ini
adalah isteri Abdurrahman bin Auf, sebagaimana yang disebutkan oleh Muslim
dalam kitab Shahihnya.
Abdurrazaq
meriwayatkan dalam Mushannaf-nya pada
bab al-mustahadhah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dia berkata:
“Suaminya tidak
mengapa menyetubuhinya.”
Semua atsar yang
diriwayatkan ini walaupun bukan dalil -karena termasuk ucapan sahabat-, tetapi
bisa memuaskan akal akan kebenaran pendapat di atas.
4. Wanita mustahadhah
(yang mengeluarkan darah istihadhah) itu
harus shalat dan berpuasa, serta melakukan segala sesuatu yang biasa dilakukan
oleh wanita suci. Dalam beberapa hadits yang telah kami sebutkan terdapat
perintah untuk melaksanakan shalat dan puasa, di dalam hadits Hamnah sebelumnya
juga disebutkan (Rasulullah Saw. bersabda):
“…Seperti itulah yang
harus engkau lakukan, dan shalatlah serta berpuasalah…”
Padahal dalam shalat
dan puasa itu disyaratkan telah suci, sementara wanita mustahadhah dituntut untuk melakukan keduanya. Maka ini
menunjukkan bahwa wanita mustahadhah itu
seorang yang suci seperti wanita
suci lainnya, sehingga dia bisa melakukan perbuatan apapun yang biasa dilakukan
wanita
suci tanpa perbedaan apapun. Ini merupakan pendapat para ulama dan para imam
yang tidak diperselisihkan.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)