c. Hukum wanita nifas dengan hukum wanita haid
itu sama saja, artinya sama-sama tidak suci. Dari keduanya gugurnya kewajiban
shalat dan puasa, dan sama-sama haram disetubuhi, tanpa perbedaan sedikitpun.
Dalam kasus ini sepanjang pengetahuan saya, tidak ada perbedaan pendapat di
antara para imam. Dalilnya adalah Ijma Sahabat yang sebelumnya telah kami
sebutkan.
Tirmidzi berkata:
“Ahli ilmu dari
kalangan sahabat Nabi Saw., tabi'in dan orang-orang setelah mereka bersepakat,
bahwa wanita nifas itu meninggalkan shalat selama empat puluh hari, kecuali
jika dia sudah suci bersih sebelum genap empat puluh hari, maka pada saat itu
dia harus mandi dan shalat.”
Sehingga pendapat
seperti ini menjadi Ijma Sahabat, dan Ijma Sahabat merupakan dalil syar’i.
Perbedaan pendapat
hanya ada dalam masalah kifarat bagi orang yang menyetubuhi isteri di masa
nifasnya. Dan pendapat yang rajih dalam
masalah ini menurut kami adalah tidak adanya kewajiban kifarat, karena tidak
ada nash yang mewajibkan kifarat dalam masalah ini. Nash yang ada hanya
menyebutkan kifarat bagi orang yang menyetubuhi isterinya yang sedang haid,
sehingga tidak mencakup wanita yang nifas. Analogi (qiyas) tidak boleh
dilakukan, karena ini merupakan dua kondisi yang berbeda.
d. Perihal mandinya wanita yang nifas itu sama
persis dengan mandi orang junub dan mandi wanita haid. Anjuran untuk mandi
lebih bersih bagi wanita haid kami anjurkan pula bagi wanita nifas, agar dia
bisa menghilangkan bekas darah. Dan hal seperti ini tidak memerlukan nash
khusus, karena sudah termasuk dalam keumuman dalil-dalil yang menganjurkan
kebersihan. Dalil wanita
nifas itu wajib mandi adalah Ijma Sahabat. Hal ini telah kami sebutkan
sebelumnya.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)