Usaha
yang dilakukan Rasulullah Saw. ditujukan untuk memperoleh pertolongan (nushrah) dari kekuatan-kekuatan yang telah
setuju Islam tersebut untuk mendirikan Daulah Islamiyah. Ketika Rasulullah Saw.
berusaha untuk mewujudkan masyarakat, beliau bertumpu kepada pembentukan
asas-asas berdirinya masyarakat. Rasulullah Saw. membentuk individu-individu
yang kuat dengan keimanan, yang dipersiapkan agar mampu menanggung beban dakwah
ideologi Islam dan mendirikan negara Islam (saat itu adalah orang-orang
Muhajirin). Rasulullah juga membentuk basis massa yang akan mengasuh dakwah
beserta para pengembannya. Basis massa ini siap menerima apabila negara Islam
didirikan di tengah-tengah mereka (saat itu adalah orang-orang Anshar). Thalab an-nushrah merupakan metode beliau
untuk meraih kekuasaan. Rasulullah Saw. tetap menjalankan aktivitas thalab an-nushrah meskipun menghadapi banyak
tantangan dan kesulitan.
Orang
yang mencermati aktivitas beliau Saw. ketika berada di Makkah akan menjumpai
bahwa metode perubahan itu memiliki unsur-unsur pokok. Dia juga akan menemukan
bahwa thariqah (metode) perjuangan
beliau tidak pernah berubah dengan berubahnya waktu dan tempat, dan tidak
berbeda di satu tempat dengan tempat lainnya. Sebab, yang berbeda dari
masyarakat dan wilayah hanya yang berkaitan dengan bentuk, bukan esensinya.
Tabi’at perbedaan ini hanya mempengaruhi tingkat kesulitan usaha yang
dilakukan.
Tidak
boleh menjadikan akal dan hawa nafsu sebagai sandaran untuk melakukan perubahan
metode, dengan dalih “elastisitas syari’at”. Syari’at Islam telah disempurnakan
oleh Allah. Syari’at Islam juga bersifat integral (luas) sehingga sanggup
memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia, baik yang lama maupun yang
baru. Hukum hanya milik Allah semata.
Kita
tidak boleh menjadikan pendapat yang menyebutkan tentang keluasan syari’at
sebagai sebab ditinggalkannya teks-teks syara’, atau berakibat pada dierimanya
perkara yang bukan berasal dari Islam. Beberapa ulama kaum Muslim telah
meninggalkan sistem sanksi yang syar’i, dengan menggunakan alasan ini. Mereka
mengatakan: ‘Selama tujuan syari’at dari adanya
(hukum) sanksi itu adalah zajr (tindakan pencegahan), maka setiap perkara yang
bisa mencegah terjadinya tindak kejahatan bisa dianggap sesuai dengan (hukum)
syara’. Menurut mereka, ketika sanksi-sanksi syar’iat dianggap tidak
cocok lagi dengan perkembangan zaman; jiwa dan akal manusia juga menolaknya;
maka dapat digunakan sanksi-sanksi lainnya selama hal itu bisa mencapai tujuan.
Ini berarti tujuan menghalalkan segala cara.
Mereka
juga berpendapat dengan cara yang sama tentang metode untuk meraih kekuasaan
yang Islami. Yaitu menggunakan metode apapun yang bisa menghantarkannya ke
tampuk kekuasaan boleh diambil. Jadi, menurut mereka, bukan perkara penting
untuk terikat dengan satu bentuk. Ini dianggap anti dari kejumudan dan kebekuan
yang bertentangan dengan tabi’at Islam yang luas, elastis dan berkembang
menurut versi mereka.
Perkataan
yang menyebutkan tentang elastisitas syari’at dengan makna yang seperti ini,
adalah haram. Karena menyebabkan ditinggalkannya hukum-hukum Islam dan
bertentangan dengan banyak sekali nash Islam yang qath’i
(pasti,tegas). Terlebih lagi cara berpikir seperti itu adalah akibat pengaruh
dan terhanyut oleh pelukan pemikiran Barat.
Para
ulama ushul telah menetapkan bahwa fakta
atau realitas itu adalah manath (tempat
dilekatkannya atau obyek) hukum. Fakta atau realitas untuk dipahami apa adanya.
Kemudian datang dalil-dalil syara’ yang menetapkan hukum-hukum syara’ atasnya.
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (TQS. an-Nisa [4]: 65)
Tidak boleh
meninggalkan hukum Allah untuk mengambil hukum selainnya. Siapa saja yang
melakukan hal itu berarti dia lebih mementingkan hukum jahiliyah daripada hukum
Allah.
Allah berfirman:
“Apakah
hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik daripada
hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. al-Maidah [5]: 50)
“Berkata
Yusuf: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan’.”
(TQS. Yusuf [12]: 55)
“Dan
demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir (dia berkuasa
penuh) pergi menuju ke mana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami
melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki, dan Kami tidak
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (TQS. Yusuf [12]: 56)
Para
Nabi adalah utusan-utusan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Mereka adalah
orang-orang pilihan-Nya. Allah memilih mereka untuk menyebarkan agama-Nya.
Mereka merupakan contoh dan teladan bagi kaumnya. Mereka merupakan contoh yang
benar di dalam ibadah, ketundukan dan bersikap konsisten. Mereka melaksanakan
perintah Allah dengan sebaik-baiknya. Dan Allah memelihara mereka dari
perbuatan-perbuatan maksiat, memelihara mereka dari fitnah, menetapkan mereka
di dalam kebenaran dan membantu mereka agar selalu berada di atas kebenaran.
Sayidina Yusuf as termasuk di dalam kelompok yang terpilih ini. Allah Swt.
telah memujinya dengan pujian yang tinggi, bukan hanya dalam satu ayat saja.
Contohnya:
Allah
Swt berfirman:
“Dan
tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah
Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (TQS. Yusuf
[12]: 22)
“Demikianlah
agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf
itu termasuk hamba-hamba yang Kami pilih.” (TQS. Yusuf [12]: 24)
…..