Page

Nabi Saw. Memperluas Kekuasaan Negara Islam Atas Kaum Nashrani Perbatasan Romawi



2. Memperluas Kekuasaan Negara Islam atas Orang-Orang Nashrani Utara yang loyal kepada orang-orang Romawi

Meskipun Rasulullah Saw. terlambat bertemu dengan tentara Romawi, namun sekali-kali beliau tidak terlambat untuk memperkuat cengkraman kekuasaan Negara Islam di wilayah utara. Mengingat, wilayah utara dikatagorikan sebagai wilayah paling berbahaya. Sebab, wilayah utara tersebut mendapat perlindungan dari bangsa Romawi, karena wilayah utara menganut agama bangsa Romawi -agama Nashrani- dan tidak hanya itu, bahkan wilayah utara dijadikan sebagai perisai pelindung bagi bangsa Romawi dalam menghadapi serangan bangsa Arab.

Para pemimpin wilayah utara yakin bahwa Negara Islam yang sekarang telah mampu menghancurkan batas-batas wilayah kekuasaan bangsa Romawi, maka kapanpun Negara Islam mau, pasti Negara Islam mampu membersihkan institusi mereka. Dan kenyataan seperti itu, bukan hanya akan terjadi, namun pasti terjadi.

a. Oleh karena itu, setelah Rasulullah Saw. berada di Tabuk, beliau didatangi oleh Yuhannah bin Ru’bah, penguasa Ailah. Kemudian, ia berdamai dengan Rasulullah dan bersedia membayar jizyah. Rasulullah Saw. juga didatangi penduduk Jarba’ dan Adzruh, kemudian mereka juga bersedia membayar jizyah. Selanjutnya, Rasulullah Saw. membuat surat perjanjian untuk mereka. Isi surat perjanjian tersebut adalah: '“Bismillahirrahmannirrahim. Ini jaminan keamanan dari Allah dan Muhammad, Nabi dan sekaligus Rasulullah, untuk Yuhannah bin Ru’bah dan penduduk Ailah, termasuk kapal-kapal dan kafilah-kafilah dagang mereka, baik yang di darat, maupun yang di laut. Mereka yang juga berhak atas jaminan Allah dan jaminan Nabi Muhammad adalah penduduk Syam, Yaman, dan al-Bahr yang menjadi sekutunya. Siapa saja di antara mereka yang mengerjakan dosa, maka hartanya tidak terlindungi, namun tidak dengan dirinya. Oleh karena itu, hartanya menjadi halal bagi siapa saja yang mengambilnya. Sehingga, siapapun tidak boleh melarang atau mencegah seseorang mendatangi atau memanfaatkan mata air yang berasal dari darat maupun dari laut.”

b. Kemudian Rasulullah Saw. memanggil Khalid bin Walid. Selanjutnya, beliau mengirimnya kepada Ukaidir Dumah. Ia adalah Ukaidir bin Abdul Malik, Ukaidir Dumah berasal dari Kindah, bahkan di Kindah dialah rajanya, sedang agamanya Nashrani (Kristen). Khalid berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana caranya aku memasuki negeri anjing dan singa, sedang pasukanku sedikit?” Rasulullah Saw. bersabda kepada Khalid, “Engkau akan mendapatinya sedang berburu sapi.” Khalid pun segera berangkat. Khalid tiba di benteng Ukaidir Dumah di Madzarul Ain, ketika itu malam terang bulan. Sedang Ukaidir Dumah ketika itu berada di atas lotengnya ditemani istrinya, tiba-tiba sapi liar menggaruk-garuk pintu istana dengan tanduknya. Melihat itu, istrinya berkata, “Apakah engkau pernah melihat sapi seperti ini sebelumnya?” Ukaidir berkata, “Tidak, demi Allah.” Istrinya berkata, “Kalau begitu, siapa yang membiarkan sapi ini berkeliaran?” Ukaidir Dumah berkata, “Tidak ada.” Lalu, Ukaidir Dumah turun dari lotengnya, ia memerintahkan agar disiapkan kuda, setelah kudanya diberi pelana, ia pun menaikinya. Beberapa orang dari keluarganya mengikutinya, termasuk saudaranya yang bernama Hasan. Ukaidir Dumah menaiki kudanya dan beberapa orang dari keluarganya ikut keluar bersamanya dengan membawa tombak kecil.
Ketika mereka telah keluar, pasukan berkuda Rasulullah Saw. mengikutinya, kemudian mereka menangkap Ukaidir Dumah dan membunuh saudaranya. Ketika itu, Ukaidir Dumah mengenakan qamis dari sutra yang ditenun dengan emas. Kemudian, Khalid bin Walid mengambil qamis tersebut dari Ukaidir Dumah, lalu Khalid mengirimkannya kepada Rasulullah Saw., sebelum Khalid sendiri datang kepada beliau.
Ketika kaum muslimin melihat qamis tersebut, kaum muslimin tercengang, lalu mereka memegangnya dan terkagum-kagum kepadanya. Melihat itu, Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah kalian terkagum-kagum dengan qamis ini? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh sapu tangan Sa'ad bin Mu’ad di Surga lebih bagus daripada qamis ini.”
Kemudian, Khalid bin Walid datang dengan membawa Ukaidir Dumah kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. menghentikan keluarnya darah Ukaidir Dumah. Lalu, Ukaidir Dumah berdamai dengan Rasulullah dengan kesanggupan membayar jizyah. Setelah Rasulullah Saw. membebaskannya, Ukaidir Dumah pun segera pulang kepada keluarganya. Namun tidak lama kemudian -di masa kekhilafahan Abu Bakar ash-Shiddiq- Ukaidir Dumah merusak perjanjian damai tersebut. Kemudian, Khalid bin Walid mengepungnya, setelah ia kembali dari Iraq menuju Syam, lalu Khalid membunuhnya. Selanjutnya, Rasulullah Saw. kembali ke Madinah al-Munawwarah. Peristiwa itu terjadi pada bulan Ramadhan, tahun kesembilan Hijriyah.

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Nabi Saw. Kembali Memerangi Romawi, Mengirim Pasukan Usamah bin Zaid



3. Kembali Memerangi Romawi (Mengirim Usamah bin Zaid)

Rasulullah Saw. mengirim Usamah bin Zaid pada tahun kesebelas Hijriyah setelah datangnya para delegasi kepada Rasulullah Saw. Peristiwa ini kami kemukakan dengan tujuan memaparkan semua aktivitas peperangan yang dilakukan Rasulullah Saw. melawan bangsa Romawi yang terjadi di satu tempat. Sedang, sebab sebenarnya dan hakiki tentang pengiriman Usamah bin Zaid ra. adalah melaksanakan rencana politik dan militer yang keduanya telah dirancang oleh Rasulullah Saw. ketika beliau meletakkan batu pertama Negara Islam.
Dan sebagai wujud dari pelaksanaan terhadap rencananya ini, beliau telah membuka front dengan bangsa Romawi, setelah beliau berhasil membersihkan institusi Yahudi dan bangsa Arab yang tunduk kepadanya.
Situasi dan kondisi memaksa beliau bersegera menyerahkan panji perang Mu’tah untuk menyelamatkan kehormatan Negara Islam. Rasulullah Saw. menyerahkan panji perangnya, dan tentara Mu’tah berani menghadapi konsentrasi pasukan bangsa Romawi dan bangsa Arab yang banyak mendapat bantuan bangsa Romawi. Dengan demikian, berarti Rasulullah Saw. telah menaruh belati di tempat penyembelihan bangsa Romawi, meski beliau belum memasukkannya ke dalam tempat penyembelihan itu.
Kemudian, Rasulullah Saw. berkehendak memasukkan belatinya ke dalam tempat penyembelihan bangsa Romawi dalam perang Tabuk. Untuk itu, beliau telah menyiapkan segala keperluannya. Namun, tentara bangsa Romawi bersikap pengecut, mereka tidak berani berhadapan, mereka lari dari medan perang sebelum Rasulullah Saw. tiba. Nah, sekarang beliau bersungguh-sungguh memasukkan belatinya ke tempat penyembelihan bangsa Romawi, dengan menyiapkan pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid.

Adapun sebab secara langsung terkait dengan pengiriman Usamah bin Zaid ini adalah bahwa Farwah bin Amr al-Judzami sebelumnya seorang wali (gubenur) yang diangkat bangsa Romawi untuk daerah Ma’an dan sekitarnya di antara wilayah Syam. Namun, kemudian ia memeluk Islam. Ia mengirim seseorang kepada Rasulullah Saw. untuk memberitahukan tentang keIslamannya.
Bangsa Romawi marah dengan masuk Islamnya Farwah, lalu mereka mengirim pasukan untuk mendatangi Farwah, setelah bertemu Farwah, mereka memenggal lehernya di atas mata air yang bernama Afra’ di Palestina, kemudian mereka menyalib Farwah. Mereka membiarkan Farwah dalam keadaan disalib agar orang lain tidak berani mengikuti jejak Farwah, yaitu memeluk Islam.
Rasulullah Saw. menyiapkan pasukan yang besar, yang terdiri dari para sahabat senior yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid. Rasulullah Saw. memerintahkan Usamah dan pasukannya memasuki batas-batas kekuasaan bangsa Romawi, agar dengan demikian bangsa Romawi merasa gentar, dan mengembalikan kepercayaan hati bangsa Arab yang berada dalam batas-batas kekuasaan bangsa Romawi. Sehingga tidak ada seorang yang menyangka bahwa serangan Romawi tidak ada yang melawannya, masuk Islam membawa kematian tanpa ada seorangpun yang membalasnya.
Rasulullah Saw. hendak membuktikan bahwa Negara Islam melindungi semua kaum muslimin yang ada di seluruh penjuru dunia apabila mereka mendapatkan kezhaliman.
Pada hari senin, empat hari terakhir dari bulan Shafar, tahun kesebelas Hijriyah, Rasulullah Saw. mengharuskan kaum muslimin mengirim pasukan ke Syam. Beliau mengangkat Usamah bin Zaid bin Haritsah, mantan budak beliau sebagai pemimpin mereka. Beliau memerintahkannya agar pasukan berkuda menginjakkan kakinya di perbatasan al-Balqa’ dan ad-Darum yang merupakan bagian dari daerah Palestina.
Kaum muslimin semuanya telah siap, lalu mereka berjalan bersama Usamah bin Zaid, termasuk kaum Muhajirin yang pertama, sehingga tidak ada satupun dari mereka yang tidak ikut berangkat bersama Usamah bin Zaid. Usamah dan pasukannya pergi ke luar Madinah al-Munawwah, lalu ia membuat perkemahan di al-Jurf, dekat Madinah. Namun, Rasulullah Saw. wafat sebelum pasukan yang dipimpin Usamah tersebut berangkat. Dan setelah wafatnya Rasulullah Saw., Abu Bakar ra. terus mengirimnya.

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Negara Islam Menaklukkan Kantong-Kantong Politik Kufur



Putaran Kelima: Pembersihan atas Kantong-Kantong Pemberontak yang ada di Jazirah Arab

Setelah selesai melakukan pembersihan terhadap institusi-institusi politik bagi sentral kekuatan bangsa Arab (suku Quraisy, kabilah Hawazin, kabilah Tsaqif, dan lain-lainnya), di sana masih tersisa kantong-kantong pemberontak yang bersifat politik terhadap Negara Islam. Keberadaan mereka telah menyebar di sana sini bahkan telah menyebar di seluruh penjuru Jazirah Arab.
Memperlemah keberadaan kantong-kantong pemberontak di suatu tempat sangatlah penting, sebab keberadaannya akan menjadi sumber masalah yang akan menggelisahkan Negara Islam. Untuk itu, setelah beliau kembali ke Madinah, beliau mulai menyiapkan pasukan untuk menyerangnya, agar mereka tunduk terhadap kekuasaan dan kedaulatan Negara Islam.
Pasukan-pasukan yang beliau siapkan adalah:

a. Pasukan yang dikirim ke Bani Tamim

Pada bulan Muharram tahun kesembilan Hijriyah, Rasulullah Saw. menyiapkan pasukan yang dipimpin Uyainah bin Hishn al-Fuzari. Pasukan ini berkekuatan lima puluh penunggang kuda yang semuanya berasal dari bangsa Arab. Dalam pasukan ini tidak ada seorangpun dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Rasulullah Saw. memerintahkan agar menyerang Bani Tamim.
Uyainah dan pasukannya bergerak pada malam hari dan bersembunyi pada siang hari. Ketika pasukan pimpinan Uyainah menyerang, merekapun melarikan diri. Uyainah berhasil menggiring dan membawa binatang-binatang ternak mereka, dan berhasil menahan wanita-wanita dan anak-anak mereka.
Uyainah membawa mereka semua ke Madinah al-Munawwarah. Akan tetapi tidak lama kemudian mereka disusul oleh delegasi mereka untuk menyatakan ketaatan, ketundukkan, dan loyalitas mereka, seperti yang akan dibicarakan dalam delegasi Bani Tamim.

b. Pasukan yang dikirim ke Khats’am

Pada bulan Shafar, Rasulullah Saw. mengirim Qathbah bin Amir dengan kekuatan dua puluh orang menuju perkampungan orang-orang Khats’am melalui arah lembah Baisyah. Qathbah melancarkan serangan terhadap mereka, sehingga terjadilah pertempuran yang sengit. Namun, akhirnya kemenangan ada di pihak kaum muslimin. Kemudian, Qathbah menggiring dan membawa binatang-binatang ternak dan wanita-wanita (sebagai tawanan) ke Madinah al-Munawwarah.

c. Pasukan yang dikirim ke Thaiy

Pada bulan Rabi’ul Awwal, Rasulullah Saw. mengirim Ali bin Abi Thalib dengan kekuatan seratus lima puluh orang dari kalangan kaum Anshar ke Thaiy untuk menghancurkan berhalanya “al-Fuls.” Ali dan pasukannya pun pergi, kemudian ia menghancurkannya dan membakarnya. Ali bin Abi Thalib kembali ke Madinah dengan membawa para tawanan, binatang ternak, dan perak. Dan di antara para tawanan itu adalah Saffanah bintu Hatim ath-Thaiy.

d. Pasukan yang dikirim ke Jeddah

Sampai informasi kepada Rasulullah Saw. bahwa orang-orang dari Habasyi telah tiba di Jeddah. Pada bulan Rabi’ul Akhir, Rasulullah Saw. mengirim Alqamah bin Muharriz dengan kekuatan tiga ratus mujahid. Ketika mereka melihat pasukan pimpinan Alqamah mereka melarikan diri. Ketika kembali, sebagian dari mereka meminta izin untuk bersegera menemui keluarganya, Alqamah pun memberi izin kepada mereka, dan mengangkat Abdullah bin Hudzafah sebagai pemimpin mereka.
Abdullah bin Hudzafah orang yang senang berkelakar. Mereka beristirahat di suatu jalan, dan menyalakan api untuk menghangatkan diri. Abdullah berkata kepada mereka, “Aku perintahkan kalian dan kalian harus melakukannya, jika tidak, maka kalian akan aku lemparkan ke dalam api. Sekarang kalian tidak punya pilihan lain, kecuali harus mentaatiku, sebab aku adalah pemimpin kalian.” Ketika Abdullah melihat bahwa sebagian dari mereka telah siap melakukan perintahnya, Abdullah memberitahu mereka bahwa apa yang dikatakannya itu hanyalah gurauan saja.
Ketika mereka telah kembali, mereka memberitahu hal itu kepada Rasulullah Saw., lalu Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa saja yang memerintah kalian untuk berbuat maksiat, maka kalian jangan mentaati perintahnya.”

e. Pasukan yang dikirim ke Jubbab dan Baliya

Pada bulan Rabi'ul Akhir, Rasulullah Saw. juga mengirim Ukasyah bin Mihshan dengan kekuatan sekelompok kaum muslimin ke Jubbab dan Baliya -keduanya adalah kabilah dari Qudha’ah. Ukasyah berhasil menundukkan mereka, dan kembali lagi kepada Rasulullah Saw.

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Dalil Hadits Keutamaan Sahur



Kedua: Sahur

Keutamaan Sahur

Beberapa hadits berikut menyebutkan keutamaan sahur:

1. Dari Anas bin Malik ra., ia berkata: Nabi Saw. bersabda:

“Makan sahurlah kalian karena di dalam sahur itu terdapat barakah.” (HR. Bukhari [1923], Muslim, an-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan ad-Darimi)

2. Dari Abdullah bin al-Harits, dia mengabarkan dari salah seorang sahabat Nabi Saw., dia berkata:

“Aku menemui Nabi Saw., dan beliau Saw. sedang makan sahur. Lalu beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya sahur itu barakah yang diberikan Allah Swt. kepada kalian, maka janganlah kalian meninggalkannya.” (HR. an-Nasai [2162] dan Ahmad)

3. Dari al-Miqdam bin Ma’di Kariba, dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Kalian harus menetapi makan sahur, karena makanan sahur itu adalah makanan yang diberkahi.” (HR. Ahmad [17324] dan an-Nasai)

Sanad hadits ini shahih.

Dalam kitab al-Mu 'jam al-Ausath [505] karya at-Thabrani terdapat hadits dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Umar bin Khattab telah mengutus seseorang mengundangku makan sahur dan dia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw. menyebut sahur ini sebagai makan yang diberkahi.”

Sanad hadits ini berstatus jayyid.

4. Dari Ibnu Umar ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya mendoakan orang-orang yang bersahur.” (HR. Ibnu Hibban [3468] dengan sanad berstatus shahih)

Diriwayatkan pula oleh Abu Nuaim dan at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath. Ahmad meriwayatkan hadits ini dari jalur Abu Said al-Khudri ra.

5. Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Hidangan sahur seorang mukmin yang paling baik adalah kurma kering.” (HR. Ibnu Hibban [3475], Abu Dawud, dan al-Baihaqi)

Al-Bazzar [ 978] meriwayatkan hadits ini dari jalur Jabir ra. dengan lafadz:

“Hidangan sahur paling baik adalah dengan kurma kering.”

6. Dari Abdullah bin Amr ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Bersahurlah walaupun dengan seteguk air.” (HR. Ibnu Hibban [3476] dengan sanad berstatus hasan)

Abdurrazaq telah meriwayatkannya sebagai perkataan dari salah seorang sahabat Nabi Saw. Ibnu Abi Syaibah [2/426] telah meriwayatkan hadits ini dari jalur seorang sahabat dengan lafadz:

“Bersahurlah walaupun dengan beberapa teguk air.”

7. Dari Amr bin al-Ash ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesuatu yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim [2550], Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi, Ahmad, dan ad-Darimi dengan redaksi kalimat yang berbeda-beda)

Sahur adalah berkah yang dianugerahkan Allah Swt. kepada kita semua. Allah Swt. dan para malaikat-Nya bershalawat kepada kita ketika kita melaksanakan sahur, dan sahur ini diutamakan dengan memakan kurma. Dan berkah sahur itu bisa kita peroleh walaupun dengan meminum seteguk air. Sahur adalah pemisah yang membedakan puasa kita dengan puasa ahli kitab. Seandainya tidak ada keutamaan sahur selain dengan shalawat dari Allah Swt. dan para malaikat bagi mereka yang bersahur, niscaya itupun sudah mencukupi.

8. Ahmad [11102] telah meriwayatkan beberapa keutamaan sahur dalam satu hadits dari jalur Abu Said al-Khudri ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Makanan sahur itu adalah barakah, maka janganlah kalian meninggalkannya, walaupun salah seorang kalian hanya bersahur dengan seteguk air, karena sesungguhnya Allah azza wa jalla dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur.”

Karena itu, selayaknya seseorang yang berpuasa berusaha untuk menyantap hidangan sahur agar bisa meraih berbagai keutamaan ini.


Hukum Sahur

An-Nawawi dan Ibnu al-Mundzir telah menyebutkan adanya kesepakatan (al-ijma') disunahkannya sahur, dan bahwa sahur itu bukan sesuatu yang wajib. Bukhari mengatakan (di dalam) bab berkah sahur dan hukumnya yang tidak wajib: karena Nabi Saw. dan para sahabatnya berwishal, dan sahur ini tidak disebutkan. Di dalam al-Mughni karya Ibnu Qudamah disebutkan: pertama dalam hal sangat dianjurkannya makan sahur, dan kita tidak mengetahui ada perbedaan di antara para ulama dalam masalah ini. Inilah yang benar, dan dalil-dalil yang menyebutkan keutamaan sahur ini menjadi dalil disunahkannya sahur tersebut.
(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Makan Minum Karena Lupa, Puasa Sah Tidak Batal



Orang yang Berpuasa Ketika Berbuka Karena Lupa

Abu Hanifah, as-Syafi'i dan Ahmad berpendapat bahwa orang yang berpuasa jika makan atau minum karena lupa maka tidak batal puasanya dan tidak mengapa, baik makan atau minumnya itu sedikit atau banyak. Yang berpandangan seperti ini di antaranya adalah al-Hasan al-Bashri, Mujahid, Ishaq bin Rahuwaih, Abu Tsaur, Dawud bin Ali, Atha, al-Auzai dan al-Laits. Rabi'ah dan Malik berkata: orang yang makan dan minum karena lupa puasanya telah rusak, dan baginya ada kewajiban mengqadha.

Pendapat yang benar adalah yang pertama, sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash berikut:

1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Nabi Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang makan karena lupa padahal dia sedang berpuasa maka hendaknya dia meneruskan puasanya, karena sesungguhnya dia diberi makan dan minum oleh Allah Swt.” (HR. Bukhari [6669], Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan ad-Darimi)

Redaksi hadits yang diriwayatkan Muslim [2716] adalah sebagai berikut:

“Barangsiapa yang lupa padahal ia sedang berpuasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaklah dia meneruskan puasanya, karena sesungguhnya dia diberi makan dan minum oleh Allah Swt.”

2. Dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada qadha dan tidak ada kaffarat atasnya.” (HR. Ibnu Hibban [3521])

Sanad hadits ini hasan. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah, ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, serta dishahihkan oleh al-Hakim.

Sedangkan Ibnu Khuzaimah [1990] dan at-Thabrani (dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath) telah meriwayatkan hadits lain dengan lafadz:

“Barangsiapa yang makan atau minum di bulan Ramadhan karena lupa maka tidak ada qadha dan tidak ada kaffarat atasnya.”

Sanad hadits ini berstatus hasan.

3. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw. dan bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah makan dan minum karena lupa, padahal aku sedang berpuasa. Maka Nabi Saw. bersabda: “Allah Swt. telah memberimu makan dan minum.” (HR. Abu Dawud [2398], an-Nasai, Daruquthni dan Tirmidzi)

Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih.

4. Dari Ummu Hakim binti Dinar, dari pelayannya, yakni Ummu Ishaq ra.:

“Bahwa dia sedang berada di samping Rasulullah Saw., lalu beliau dibawakan satu qash'ah (satu mangkuk ceper besar) yang berisi tsarid (roti yang ditumbuk dan berkuah), kemudian dia makan bersama beliau Saw., dan bersama beliau Saw. ada Dzul Yadain. Kemudian Nabi Saw. mengambil 'araq (tulang dengan sedikit sisa daging), dan berkata: “Wahai Ummu Ishaq, kucurilah tulang ini (dengan kuahnya).” Lalu aku ingat bahwa aku sedang berpuasa, kemudian aku menarik kembali tanganku, tidak aku majukan dan tidak pula aku mundurkan. Maka Nabi Saw. bertanya: “Ada apa denganmu?” Dia berkata: Aku sedang berpuasa, lalu aku lupa. Dzul Yadain berkata: (Engkau berkata seperti itu) sekarang setelah engkau kenyang? Maka Nabi Saw. berkata: “Sempurnakanlah puasamu, karena itu adalah rizki yang Allah Swt. berikan kepadamu.” (HR. Ahmad [27609] dan Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir)

Inilah nash-nash yang memiliki dilalah yang cukup jelas bahwa orang yang makan atau minum karena lupa maka tidak ada qadha dan tidak ada kafarat atasnya, dan puasanya tetap dipandang sah, baik dalam puasa fardhu seperti puasa Ramadhan ataupun dalam puasa sunat, baik makan dan minumnya sampai pada kategori kenyang atau tidak. Saya tidak mendapatkan dalil dari Malik yang pernyataannya menyalahi dalil-dalil di atas. Saya tidak dapat menemukan dalam buku-buku besarnya kecuali fatwanya saja, bahwa orang yang berpuasa ketika makan atau minum maka telah rusak puasanya. Semoga Allah Swt. mengampuninya.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Pahala Memberi Makan Buka Puasa


Pahala Orang yang Memberikan Makanan Berbuka Bagi Orang yang Berpuasa

Orang yang memberikan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa akan memperoleh pahala semisal yang diperoleh orang yang berpuasa tersebut, sehingga dia memperoleh pahala dua kali lipat pada satu hari tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun.
Setiap pahala dari keduanya telah dilipatgandakan oleh Allah Swt. menjadi tujuh ratus kali lipat, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits pertama yang tercantum pada bab pertama “Keutamaan Puasa.” Tidak diragukan lagi, bahwa orang yang ingin memperoleh pahala berlipat ganda ini akan berusaha mendapatkan doa orang yang berpuasa yang diberi makanan sehingga bisa berbuka di sisinya.

Telah diriwayatkan dari Zaid bin Khalid al-Juhani, dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang memberikan makanan berbuka kepada seseorang yang berpuasa, maka dituliskan baginya semisal pahalanya, tetapi dengan tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyiapkan sesuatu bagi orang yang berperang di jalan Allah atau memberikan bekal bagi keluarganya (dari orang yang berperang di jalan Allah) maka dituliskan baginya semisal pahala, tetapi dengan tanpa mengurangi pahala orang yang berangkat perang itu sedikitpun.” (HR. Ahmad [17158], an-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Thabrani dan Tirmidzi)

Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih. Ad-Darimi [1703] telah meriwayatkan bagian pertama hadits ini saja.

Ibnu Khuzaimah [2064] meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Barangsiapa yang menyiapkan sesuatu bagi orang yang berangkat perang atau menyiapkan sesuatu bagi orang yang berhaji, atau menyiapkan bekal untuk keluarganya (keluarga dari orang yang berangkat perang atau berangkat haji), atau memberikan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, maka baginya semisal pahala mereka di mana pahala mereka tidak berkurang sedikitpun.”

Sanad hadits ini berstatus hasan.

Dari Ummu Umarah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. mendatangi kami, lalu kami mendekatkan makanan kepadanya, di mana sebagian orang di sisinya sedang berpuasa. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Seseorang yang berpuasa, jika diberi makan dari sisinya, maka malaikat bershalawat kepadanya.” (HR. Ibnu Majah [1748], Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Tirmidzi [782], an-Nasai dan ad-Darimi dengan redaksi:

“Sesungguhnya orang yang berpuasa itu dido’akan oleh para malaikat jika dia diberi makan di sisinya hingga mereka selesai, atau mungkin dia berkata: hingga mereka kenyang.”

Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih.

Sebelumnya telah kami sebutkan hadits Anas ra. yang ditakhrij oleh Ibnu Abi Syaibah, Abdurrazaq dan al-Baihaqi, dan di dalamnya disebutkan bahwa Nabi Saw. ketika berbuka di samping orang-orang beliau berkata:

“Orang-orang yang berpuasa berbuka di samping kalian, dan memakan makanan kalian yang penuh kebaikan, dan malaikat bershalawat atas kalian.”

Dalam satu riwayat disebutkan:

“Dan para malaikat turun kepada kalian.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Dan para malaikat turun kepada kalian.”

Doa dari malaikat Allah Swt. bagi orang yang menyiapkan makanan berbuka untuk orang yang berpuasa menjadi keutamaan yang bisa ditambahkan bagi keutamaan lain, yang sebelumnya telah kami sebutkan.
Sudah seharusnya orang yang berpuasa berusaha mendapatkan doa salah seorang yang berpuasa, yang berbuka di sisinya dengan makanan yang disiapkannya, terlebih lagi jika orang yang berpuasa itu adalah orang fakir dan miskin yang tidak mendapati sesuatu untuk berbuka puasa.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Dalil Hadits Doa Buka Puasa



Yang Diucapkan Oleh Orang yang Berpuasa Ketika Berbuka

Jika seseorang yang berpuasa selesai melaksanakan ibadah sebagai penyembahan pada Tuhannya dan akan berbuka, maka do’anya meluncur keluar dari mulutnya, yang selama seharian menahan diri dari makan dan minum, sebagai bentuk ketaatan dan penghambaan kepada Allah Swt., yakni keluar dari mulut seorang hamba yang mengabdi pada Tuhannya, yang sabar menahan haus dan lapar, sehingga Allah Swt. berhak untuk mengijabah do’anya.
Setelah melaksanakan ibadah ini, bahkan seluruh ibadah yang lainnya, seorang Muslim hendaknya memuji Tuhannya dan berdo’a. Memanjatkan do’a dengan penuh keikhlasan, karena berdo’a pada saat itu termasuk do’a yang diterima (maqbul) dan diijabah (mustajab) dengan idzin Allah.

Dari Abdullah bin Abu Mulaikah, ia berkata: aku mendengar Abdullah bin Amr bin al-Ash ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya seseorang yang berpuasa itu ketika berbuka memiliki satu doa yang tidak tertolak.” Ibnu Abi Mulaikah berkata: Aku mendengar Abdullah bin Amr berkata jika berbuka: “Ya Allah, sesungguhnya aku dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu meminta Engkau untuk mengampuni daku.” (HR. Ibnu Majah [1753])

Sanad hadits ini shahih. Al-Hakim meriwayatkan hadits ini juga. Sedangkan Abu Dawud at-Thayalisi meriwayatkan hadits yang sama tanpa menyebutkan doa dari Ibnu Amr.

Dzikir dan doa ini disyariatkan dengan redaksi apapun, tetapi lebih utama dengan doa atau dzikir yang ma'tsur. Berikut ini saya cantumkan beberapa dzikir dan doa ma'tsur setelah selesai berpuasa dan ketika mulai berbuka:

1. Dari Abdullah bin Umar ra., ia berkata:
 

“Adalah Rasulullah Saw. ketika berbuka beliau berkata: “Rasa haus telah hilang, urat-urat telah basah, dan (mudah-mudahan) pahala telah tetap, jika Allah menghendaki.” (HR. an-Nasai dalam kitab as-Sunan al-Kubra [3315], Abu Dawud, al-Hakim, dan al-Baihaqi)

Ad-Daruquthni meriwayatkan hadits ini juga dan berkata: sanadnya hasan.

2. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:


“Adalah Nabi Saw. jika berpuasa kemudian berbuka, beliau Saw. berkata: “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan dengan rizki-Mu aku berbuka.” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/511])

Abu Dawud dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini dari jalur Muadz bin Zuhrah, dia mengabarkan bahwa Nabi Saw. jika berbuka beliau berkata: lalu disebutkan redaksi hadits Ibnu Abi Syaibah. Muadz bin Zuhrah, disebut juga Muadz bin Abi Zuhrah termasuk tabi’in yang tsiqah.

3. Dari Anas bin Malik ra.:


“Bahwa Nabi Saw. ketika berbuka di samping orang-orang, beliau berkata: “Orang-orang yang berpuasa berbuka di samping kalian, dan memakan makanan kalian yang penuh kebaikan, dan malaikat turun merahmati kalian.” (HR. ad-Darimi [1773], Ibnu Abi Syaibah, al-Baihaqi dan Abdur Razaq)

Dalam riwayat al-Baihaqi [4/240] yang kedua disebutkan dengan redaksi:


“Dan para malaikat bershalawat atas kalian.”

Sehingga seseorang yang berpuasa sangat dianjurkan ketika berbuka untuk mengucapkan:


“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dengan rizki-Mu aku berbuka, rasa dahaga telah hilang, urat-urat telah basah, dan pahala pun telah tetap, jika Allah Swt. menghendaki.”

Kemudian setelah itu dia boleh berdoa apa saja.
Dan doa Abdullah bin Amr ra. telah menjadikan aku kagum:


“Ya Allah, sesungguhnya aku dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu meminta Engkau untuk mengampuni daku.”

Sehingga selayaknya seseorang yang berpuasa memadukan doa Abdullah bin Amr ini ke dalam doanya.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Sunnah Buka Puasa Dengan Kurma Beberapa Butir



Yang Dianjurkan Pada Orang yang Berpuasa Ketika Berbuka

Seseorang yang berpuasa dianjurkan untuk berbuka dengan beberapa biji kurma basah (ar-rathabah). Jika tidak ada kurma basah maka dianjurkan untuk berbuka dengan beberapa biji kurma kering (at-tamr). Dan jika tidak ada kurma kering maka dianjurkan untuk meminum beberapa teguk air. Setelah itu dia boleh memakan apa saja, yang dikehendakinya.
Nash-nash yang ada tidak menyebutkan alasan penetapan urutan tersebut kecuali yang disebutkan dalam hadits yang pertama berikut ini, khususnya terkait dengan air sebagai sesuatu yang suci. Karena itu, tidak benar jika orang-orang berusaha terlebih dahulu mencari kurma basah, kemudian baru kurma kering, setelah itu baru air dengan alasan-alasan lain. Seharusnya mereka melakukan hal itu sebagai bentuk ibadah dan ketaatan saja.
Juga tidak benar menetapkan alasan mendahulukan kurma, karena kurma itu –misalnya- banyak mengandung glukosa yang banyak hilang dari tubuh orang yang berpuasa, sehingga datang nash yang meminta mereka segera mengganti sesuatu yang hilang dari tubuh mereka, atau karena kurma mudah dicerna, sehingga memudahkan orang yang berpuasa memasukkan zat-zat makanan yang dibutuhkan tubuh, dan berbagai pembahasan lain yang tidak didahulukan dan tidak pula diakhirkan oleh syariat.
Seandainya syariat yang lurus ingin menetapkan 'illatnya niscaya syariat akan menetapkannya. Ketika syariat tidak menetapkan alasannya, maka kita pun harus berdiam diri (tidak perlu mengotak-atik mencari alasan syariat itu). Berikut ini sejumlah hadits yang terkait dengan masalah ini:

1. Dari Salman bin Amir, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian berpuasa maka hendaklah dia berbuka dengan kurma kering, dan jika tidak mendapati kurma kering maka hendaklah berbuka dengan air, karena sesungguhnya air itu mensucikan.” (HR. Abu Dawud [2355], an-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi)

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, Abu Hatim ar-Razi. Tirmidzi berkata: status hadits ini hasan shahih.

2. Dari Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. suka berbuka dengan beberapa butir kurma basah sebelum beliau Saw. shalat, dan jika tidak ada kurma basah maka (beliau Saw. berbuka) dengan beberapa butir kurma kering, dan jika tidak ada kurma kering maka beliau Saw. meneguk air beberapa kali.” (HR. Abu Dawud [2356] dan Tirmidzi)

Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan gharib. Ahmad dan Daruquthni meriwayatkan dan menshahihkan hadits ini. Al-Hakim pun meriwayatkan hadits ini dan menshahihkannya, dan hal ini disepakati oleh ad-Dzahabi.

Al-Huswah dengan dhammah: beberapa tetes minuman; al-hasawah dengan fathah: satu kali.

3. Dari Anas ra., ia berkata:

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw. melaksanakan shalat Maghrib hingga beliau berbuka, walaupun harus berbuka dengan beberapa teguk air.” (HR. Ibnu Hibban [3504], Ibnu Khuzaimah, al-Bazzar, al-Hakim, al-Baihaqi, dan at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath)

Sanad hadits ini shahih.

Ketiga hadits ini menunjukkan bahwa sunah berbuka itu adalah menyegerakannya, dan harus didahulukan sebelum melaksanakan shalat Maghrib, sehingga seseorang yang berpuasa tidak melakukan shalat kecuali setelah memakan/meminum hidangan berbuka.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Puasa Sunah Di Bulan-Bulan Haram


Puasa Di Bulan-Bulan Haram

Bulan-bulan haram adalah Muharam, Rajab, Dzulqaidah dan Dzulhijjah. Banyak ditemukan pernyataan Nabi Saw. yang menganjurkan puasa di bulan-bulan ini.
Dari Abu Mujibah al-Bahili dari ayahnya, atau dari pamannya, ia berkata:

“Aku menemui Rasulullah Saw., lalu aku berkata: Wahai Nabi Allah, aku adalah seorang lelaki yang telah mendatangi engkau pada tahun pertama. Beliau Saw. lalu bertanya: “Mengapa aku melihat badanmu begitu kurus.” Dia berkata: Wahai Rasulullah, aku tidak memakan makanan di siang hari dan juga tidak memakannya di malam hari. Beliau Saw. bertanya: “Siapa yang memerintahkan engkau menyiksa diri?” Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku kuat (melakukan itu). Beliau Saw. bersabda: “Berpuasalah pada bulan kesabaran (bulan Ramadhan-pen.), dan satu hari setelahnya.” Aku berkata: Sesungguhnya aku kuat (melakukan lebih dari itu). Rasulullah Saw. bersabda: “Berpuasalah pada bulan Ramadhan dan dua hari setelahnya.” Aku berkata: Sesungguhnya aku kuat (melakukan lebih dari itu). Beliau Saw. berkata: “Berpuasa pada bulan Ramadhan dan tiga hari setelahnya, serta berpuasalah pada bulan-bulan haram.” (HR. Ibnu Majah [1741])

Abu Dawud [2428] meriwayatkan hadits ini dengan redaksi-:

“Berpuasalah dari bulan haram dan berbukalah, berpuasalah di bulan haram dan berbukalah, berpuasalah di bulan haram dan berbukalah. Dan beliau memberi isyarat dengan jari-jemarinya tiga kali, menghimpunnya, kemudian menguraikannya.”

Ahmad [20589] meriwayatkan hadits yang memiliki kemiripan dari segi makna, dengan redaksi:

“Sesungguhnya aku mendapati kekuatan, dan sungguh aku ingin engkau memberi tambahan untukku. Beliau Saw. berkata: “Berpuasalah pada bulan haram dan berbukalah.”








d. Puasa Di Bulan Dzulqa'dah

Puasa pada bulan Dzulqa'dah itu disunatkan, berdasarkan hadits-hadits yang menganjurkan berpuasa pada bulan-bulan haram. Dzulqa'dah menjadi salah satu bulan haram. Saya tidak menemukan orang yang meriwayatkan satu hadits pun yang isinya menganjurkan berpuasa pada bulan Dzulqa'dah secara khusus, tidak berupa hadits shahih, hasan ataupun hadits dhaif.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Puasa Sunah Di Bulan Rajab (Salah Satu Bulan Haram)



Puasa Di Bulan Rajab

Rajab adalah salah satu bulan haram, sehingga puasa di dalamnya dianjurkan. Sebelumnya telah kami sebutkan beberapa nash yang mendorong berpuasa pada bulan-bulan haram (al-asyhur al-haram) , dan Rajab termasuk salah satu dari bulan-bulan haram tersebut.
Beberapa hadits yang diriwayatkan menganjurkan puasa pada bulan Rajab atau melarang puasa pada bulan Rajab secara khusus, maka semua hadits tersebut adalah hadits dhaif alias lemah, sehingga tidak layak untuk dipertimbangkan, misalnya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.:

“Bahwa Nabi Saw. melarang dari puasa Rajab.” (HR. Ibnu Majah [1743])
Dalam rangkaian sanadnya terdapat Dawud bin Atha, yang telah disepakati kedhaifannya.
Contoh lain diriwayatkan dari Kharasyah bin al-Hurr, ia berkata:

“Aku melihat Umar bin Khattab memukul telapak tangan orang-orang yang berpuasa Rajab, hingga mereka meletakkan tangan mereka di atas makanan. Dan dia berkata: Rajab, ada apa dengan Rajab? Rajab itu adalah bulan yang diagungkan orang-orang jahiliyah, ketika Islam datang (puasa di bulan) itu ditinggalkan.” (HR. at-Thabrani [7632] dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath)
Al-Haitsami berkata: dalam sanadnya terdapat al-Hasan bin Jabalah, dan saya tidak mendapati seorangpun menyebutkannya, sehingga dalam rangkaian sanadnya terdapat seorang yang majhul alias tidak dikenal.
Contoh lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. tidak menyempurnakan puasa satu bulan setelah Ramadhan kecuali pada bulan Rajab dan Sya'ban.” (HR. Thabrani [9418] dalam kitab al-Mu'jam al-Ausath)
Al-Haitsami berkata: dalam sanadnya terdapat Yusuf bin Athiyyah as-Shaffar, dan dia adalah seorang yang dhaif.
Masih banyak lagi hadits-hadits lainnya, tetapi statusnya semuanya adalah dhaif, yang tidak layak untuk dijadikan hujjah.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Puasa Sunah 9 Hari Pertama Di Bulan Dzulhijjah



b. Puasa Sembilan Hari Di Bulan Dzulhijjah

Sub-judul di atas berarti puasa pada sembilan hari pertama di bulan Dzulhijjah. Amal shaleh, termasuk puasa, di sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah adalah lebih utama dari jihad fi sabilillah, kecuali jika sang mujahid mendermakan diri dan hartanya di dalamnya.
Allah Swt. telah bersumpah dengan sembilan hari pertama dari bulan Dzulhijjah pada empat ayat pertama surat al-Fajr:

“Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu.” (TQS. al-Fajr [89]: 1-4)

Diriwayatkan oleh Ahmad [14565], an-Nasai, al-Bazzar, at-Thabari, Ibnu al-Mundzir, al-Baihaqi, dan dishahihkan oleh al-Hakim, dari Jabir ra., dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Sesungguhnya al-‘asyr itu sepuluh hari bulan kurban, al-watr adalah hari Arafah, as-syaf'u adalah hari kurban.

1. Dari Ibnu Abbas ra.. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Tiada amal shaleh di beberapa hari lebih dicintai Allah melebihi hari-hari ini, yakni sepuluh hari.” Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, tidak juga dengan jihad fi sabilillah? Beliau Saw. bersabda: “Ya, tidak juga dengan jihad fi sabilillah, kecuali jika orang itu keluar membawa dirinya dan hartanya (untuk berjihad) lalu dia tidak pulang kembali membawa salah satu pun dari keduanya dari jihad itu.” (HR. Ibnu Majah [1727], Abu Dawud, Ahmad, ad-Darimi dan al-Baihaqi)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dan ia berkata: hadits Ibnu Abbas ini adalah hadits hasan gharib shahih.

Diriwayatkan pula oleh at-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Ausath [1777] dari jalur Ibnu Mas'ud dan dari jalur Abu Qatadah ra. [4398].

2. Dari Hunaidah bin Khalid dari isterinya, dari sebagian isteri-isteri Nabi Saw.:

“Bahwa Rasulullah Saw. biasa berpuasa sembilan hari dari bulan Dzulhijjah, pada hari Asyura, dan tiga hari dari setiap bulan, Senin yang pertama dari bulan itu dan dua Kamis.” (HR. an-Nasai [2417])

Ahmad [26991] meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Dari Hafshah dia berkata: Empat hal yang tidak biasa ditinggalkan Nabi Saw.: puasa hari Asyura, sepuluh (hari pertama dari bulan Dzulhijjah), tiga hari dari setiap bulan, dan dua rakaat sebelum shalat subuh.”

Abu Dawud [2437] meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Rasulullah Saw. biasa berpuasa sembilan hari dari bulan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, dan tiga hari dari setiap bulan, pada Senin yang pertama dari bulan itu dan hari Kamis.”

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata:

“Aku tidak melihat Rasulullah Saw. berpuasa pada sepuluh hari sama sekali.” (HR. Muslim [2789], Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Maka hadits ini hanya menunjukkan batas pengetahuan Aisyah, dan ucapan ini bersifat menegasikan (an-nafyu), sedangkan hadits-hadits kami di atas bersifat menetapkan (al-itsbat), di mana penetapan (al-itsbat) lebih kuat daripada pengingkaran (an-nafyu). Karena itu, siapa yang melihat dan mengetahui suatu perkara menjadi hujjah yang mengalahkan orang yang tidak melihat dan tidak mengetahui perkara itu. Berdasarkan hal itu, hadits ini tidak layak menasakh hadits-hadits yang mengatakan sunahnya puasa tersebut.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Puasa Sunah Di Bulan Muharam (Syahrullah)



a. Berpuasa di Bulan Muharam (Syahrullah)

Barangsiapa suka untuk melakukan puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan, maka hendaknya dia berpuasa pada bulan Muharam. Berpuasa sehari dalam bulan ini lebih utama daripada berpuasa pada hari biasa di bulan yang lain. Dari pernyataan seperti ini, bukan berarti telah mengabaikan dan membatalkan keutamaan puasa lainnya yang telah disebutkan, dipuji, dan diterangkan oleh syariat, seperti berpuasa pada hari-hari al-ghurr, yakni hari-hari al-biidh (tanggal 13, 14 dan 15), atau puasa hari Senin dan Kamis, atau puasa hari Arafah tanggal sembilan di bulan Dzulhijjah, seperti yang akan kami sebutkan selanjutnya. Penyebutan dan pujian terhadap sesuatu bukan serta-merta tidak memperhitungkan yang lainnya.
Ketika kami menyatakan bahwa puasa di bulan Muharam merupakan puasa yang paling utama, ini memiliki pengertian mengutamakan bulan Muharam untuk berpuasa atas bulan selainnya secara umum. Penyebutan dan pujian beberapa puasa dengan beragam keutamaannya tetap berlaku.
Berpuasa pada hari kesepuluh bulan Muharam ini, yakni yang disebut hari Asyura, bisa menghapus dosa setahun yang lalu.

Berikut ini sejumlah nash yang menerangkan keutamaan puasa di bulan Muharam ini:

1. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah (puasa pada) syahrullah, yakni bulan Muharram.” (HR. Muslim [2755], Abu Dawud, an-Nasai, ad-Darimi, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Thabrani meriwayatkan hadits ini dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir [2/1695], dari jalur Jundub bin Sufyan.

2. Dari Abu Hurairah ra. yang dimarfu'kan kepada Nabi Saw.:

“Beliau Saw. ditanya: Shalat apakah yang paling utama setelah shalat fardhu, dan puasa apakah yang paling utama setelah puasa Ramadhan? Maka beliau Saw. menjawab: “Shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat di tengah malam, dan puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa pada syahrullah, yakni bulan Muharram.” (HR. Muslim [2756], an-Nasai dan Ahmad)

3. Dari Nu’man bin Saad, dari Ali ra. ia berkata:

“Seorang lelaki bertanya kepadanya: Bulan apakah di mana aku diperintahkan olehmu untuk berpuasa setelah bulan Ramadhan? Maka Ali berkata kepadanya: Aku tidak mendengar seorangpun bertanya tentang hal ini kecuali seorang lelaki, di mana aku mendengarnya bertanya kepada Rasulullah Saw., sedangkan aku (saat itu) sedang duduk di samping beliau saw. Maka dia berkata: Wahai Rasulullah, bulan apakah di mana aku diperintahkan olehmu untuk berpuasa setelah bulan Ramadhan? Beliau Saw. berkata: “Jika engkau ingin berpuasa setelah bulan Ramadhan, maka berpuasalah pada bulan Muharram, karena Muharram itu adalah syahrullah (bulan milik Allah), di dalamnya ada satu hari di mana Dia Swt. telah mengampuni pada satu kaum dan sedang mengampuni kaum yang lain.” (HR. Tirmidzi [738] dan ia berkata: ini adalah hadits hasan gharib)

Al-Mundziri sepakat dengan Tirmidzi dalam menghasankan hadits ini. Ahmad [1335] meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Dari Ali ra. ia berkata: Nabi Saw. didatangi seorang lelaki, kemudian laki-laki itu bertanya: Wahai Rasulullah, beritahukanlah aku tentang satu bulan yang bisa aku puasai setelah Ramadhan. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Jika engkau benar-benar ingin berpuasa suatu bulan setelah Ramadhan, maka berpuasalah pada bulan Muharram, karena Muharam itu adalah syahrullah, di dalamnya ada satu hari di mana Dia Swt. telah mengampuni pada satu kaum dan sedang mengampuni kaum yang lain.”

Ad-Darimi pun meriwayatkan hadits ini tetapi dengan redaksi yang sedikit berbeda.

4. Dari Abu Qatadah ra., dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Puasa Asyura bisa menghapuskan dosa setahun yang lalu, dan puasa Arafah bisa menghapuskan dosa dua tahun: (yaitu) tahun yang lalu dan tahun yang akan datang.” (HR. an-Nasai [2809] dalam as-Sunan al-Kubra, Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan Ibnu Hibban)

Penjelasan lebih lengkap tentang puasa Asyura akan kami jelaskan dalam poin yang terpisah, insya Allah.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Puasa Sunnah Enam Hari Di Bulan Syawal



Puasa Enam Hari Di Bulan Syawal

Disunahkan bagi seorang Muslim setelah menyelesaikan puasa Ramadhan dan merayakan hari raya Idul Fitri untuk melanjutkan berpuasa di bulan Syawal, yakni berpuasa enam hari darinya.
Barangsiapa yang melakukan hal itu setiap tahun maka seolah-olah dia telah berpuasa ad-dahru (berpuasa setiap hari sepanjang tahun). Hal ini karena kebaikan itu dilipatgandakan sepuluh kali, dan satu hari dilipatgandakan menjadi sepuluh hari, di mana satu bulan Ramadhan dinilai menjadi sepuluh bulan, dan enam hari puasa Syawal bernilai enam puluh hari, yakni dua bulan. Sehingga dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah berpuasa Ramadhan yang bernilai sepuluh bulan, kemudian dia berpuasa dua bulan, sehingga totalnya 12 bulan.

Puasa enam hari ini tidak harus dilakukan langsung setelah hari raya, juga tidak harus dilakukan secara berturut-turut. Yang diminta oleh syariat semata-mata puasa enam hari saja dari bulan Syawal, enam hari yang manapun dan bagaimanapun darinya.

Inilah sejumlah hadits yang menyebutkan hal itu:

1. Dari Abu Ayub al-Anshari ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, lalu diikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka seperti berpuasa ad-dahru (puasa tiap hari sepanjang tahun).” (HR. Muslim [2758], Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan ad-Darimi)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Bazzar [1060] dari jalur Abu Hurairah ra.

2. Dari Tsauban bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Puasa bulan Ramadhan (senilai) dengan puasa sepuluh bulan, dan puasa enam hari dari bulan Syawal (senilai) dengan puasa dua bulan, maka (semua) itu senilai dengan puasa setahun.” (HR. an-Nasai [2873] dalam as-Sunan al-Kubra)

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah [1715], Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi. Ibnu Majah meriwayatkannya dengan lafadz:

“Barangsiapa yang berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fithri maka (sama dengan puasa) setahun penuh. Barangsiapa yang membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.”

Sanad hadits ini berstatus shahih. Semua riwayat hadits ini memiliki dilalah yang cukup jelas.

Para ulama yang sangat menganjurkan puasa enam hari di bulan Syawal ini di antaranya adalah as-Syafi'i, Ahmad, dan Dawud. Pendapat ini diriwayatkan berasal dari as-Sya'bi, Maimun bin Mahran. Di sisi lain, Abu Hanifah dan Malik memakruhkan puasa enam hari ini. Dalam al-Muwaththa dinyatakan: “sesungguhnya dia, yakni Malik, tidak mengetahui seorang ahli ilmu dan ahli fikih yang melakukannya. Seorangpun dari kalangan salaf tidak ada yang memberitahukan hal itu kepadaku, dan sesungguhnya ahli ilmu memakruhkan puasa tersebut, khawatir hal itu menjadi satu bid'ah, di mana orang-orang bodoh dan tak berpengetahuan telah mengikutkan Ramadhan dengan sesuatu yang lain, jika mereka mengetahui hal itu sebagai rukhshah dalam pandangan ahli ilmu, dan melihat mereka (ahli ilmu-pen.) mengamalkannya.”

Sungguh saya merasa sangat heran dengan pendapat yang dilontarkan dua imam ini, yakni Abu Hanifah dan Malik, ketika mereka berdua memakruhkan puasa enam hari di bulan Syawal. Padahal nash-nash yang jelas-jelas memiliki dilalah yang qath'i (qath'i ad-dilalah) menunjukkan bahwa puasa enam hari itu sangat dianjurkan. Pernyataan Malik dalam al-Muwaththa bahwa dia tidak mengetahui seorangpun dari ahli ilmu dan ahli fikih melakukannya, dan bahwa orang-orang bodoh kadangkala menyertakan sesuatu yang lain dengan Ramadhan, juga pernyataan Abu Hanifah dan Malik yang memakruhkan puasa enam hari dengan alasan kadangkala orang menyangka puasa itu diwajibkan atas mereka, semua itu merupakan pernyataan yang kontradiktif dengan nash-nash shahih yang ada, sehingga tidak layak untuk dipertimbangkan sama sekali. Karena lemahnya dan sangat mudahnya untuk dibantah, maka saya tidak perlu membahas pernyataan mereka ini panjang lebar. Semoga Allah Swt. mengampuni dua imam yang mulia ini.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah