SULTAN
SALIM I (918-926 H/1512-1519 M)
SULTAN SALIM I menduduki singgasana
pemerintahan Khilafah Utsmani pada tahun 918 H/1512 M. Sejak awal pemerintahan,
Sultan Salim cenderung ingin menyingkirkan pihak-pihak yang dianggap sebagai
lawan politiknya, meskipun mereka itu masih satu saudara dan keluarga. Dia
dikenal sebagai sosok yang sangat menyukai sastra Persia dan sejarah. Walaupun
dikenal keras hati, Sultan Salim masih senang berteman dengan orang-orang alim.
Dia selalu membawa para ahli sejarah dan penyair ke medan perang, agar semua
peristiwa yang terjadi di medan perang bisa diabadikan ke dalam bait-bait
syair. Para penyair itu selalu dimotivasi untuk mendengung-dengungkan
sajak-sajak tentang kegemilangan masa lalu. (Fi UshuI Al-Tarikh AI-Utsmani,
hlm. 76.)
Tatkala Sultan Salim I naik ke singgasana
kekuasaan, pemerintahan Utsmani tengah berada di persimpangan jalan. Gagasan
yang berkembang saat itu, apakah Kesultanan Utsmani akan mencukupkan diri pada
wilayah yang telah dikuasai yang mencakup Baikan dan Anatolia? Atau ada
keinginan melakukan perluasan wilayah ke Eropa atau bergerak ke Timur?
Namun kenyataan yang ada saat itu, Sultan
Salim I telah melakukan perubahan besar dalam kebijakan pemerintahan Utsmani
terkait masalah jihad. Di zaman itu dia menghentikan semua gerakan jihad ke
arah Barat (Eropa). Sebaliknya, dia justru mengarahkan tentaranya ke wilayah
Timur yang notabene adalah wilayah-wilayah muslim. Para sejarawan menyebut
beberapa faktor yang menyebabkan perubahan kebijakan Sultan itu, antara lain:
Pertama, perasaan puas melihat pencapaian
hasil ekspansi ke Eropa. Sebenarnya upaya penaklukkan ke Eropa saat itu tidak
sepenuhnya terhenti, tetapi memang fokus perhatian ekspansi telah bergeser dari
Barat ke Timur. (AI-Daulat AI-Utsmaniyyah fit Tarikh AI-Islami AI-Hadits, hlm.
26.)
Kedua, pasukan Utsmani bergerak ke wilayah
Timur karena ingin menyelamatkan dunia Islam dari ancaman-ancaman bahaya,
seperti datangnya kaum Salibis dari Spanyol melalui Laut Tengah, orang-orang
Portugis di Lautan India, Laut Arab, dan Laut Merah. Waktu itu orang-orang
Salibis sedang mengurung dunia Islam dengan blokade ekonomi, sehingga mereka
dengan gampang bisa mencaplok negeri-negeri itu. (AI-Daulat AI-Utsmaniyyah fit
Tarikh AI-Islami AI-Hadits, hlm.26.)
Ketiga, kebijakan pemerintahan Safawid di
Iran dan usaha mereka untuk menyebarkan paham Syiah di Irak dan Asia Kecil.
Provokasi ini mendorong, pemerintahan Utsmani keluar ke wilayah Arab Timur
dengan tujuan untuk melindungi dunia Islam Sunni dari kesesatan. (AI-Islam fi
Asia Mundzu Al-Ghazw Al-Mungoli, Dr. Muhammad Nashr, hlm. 240.)
Kebijakan pemerintahan Utsmani di masa Sultan
Salim I berusaha menghancurkan pemerintahan Safawid-Syiah dan kemudian
merangkul wilayah-wilayah Mamluk ke dalam kekuasaannya, melindungi Tanah Suci
Makkah-Madinah, mengejar armada-armada Portugis. Juga berusaha memberikan
bantuan Jihad melalui armada laut ke Afrika Utara, untuk menghancurkan Spanyol.
Dan pada saat yang bersamaan ada usaha melanjutkan gerakan jihad ke Eropa Timur.
Perang
Melawan Pemerintahan Safawid
Nasab pemerintahan Safawid berasal dari
Syaikh Shafiuddin Al-Ardabili yang hidup tahun 650-735 H/ 1252-1334 M. Dia
adalah kakek dari Syah Ismail Ash-Shafawi pendiri pemerintahan Safawid.
Shafiuddin Al-Ardabili memiliki murid-murid dari kalangan sufi dan darwisy.
Mereka bersikap setia dan turut menyebarkan Syiah di Irak, Syam, bahkan di
wilayah Utsmani. (AI-Islam fi Asia Mundzu Al-Ghazw Al-Mungoli, Dr. Muhammad
Nashr, hlm. 240.)
Shafiuddin dan kelompoknya berhasil masuk ke
tengah-tengah masyarakat Iran. Mereka berdakwah menyerukan paham Syi'ah. Bahkan
untuk memperkuat posisi, Shafiuddin mengklaim bahwa dia termasuk keturunan Ali
bin Abi Thalib. Sebelum memiliki posisi kuat, dia sengaja melakukan taqiyyah
(menyembunyikan kesyiahannya). Dia mengaku diri bermadzhab Syafi'i. Namun
ketika semua jalan kekuasaan mulai terbentang luas di hadapannya, salah seorang
cucunya yang bernama Syah Ismail secara terang-terangan menyatakan diri sebagai
penganut Syiah. Bahkan Sultan Haidar dengan tegas menyatakan bahwa nasabnya
bersambung ke Musa Al-Kazhim (salah seorang imam Syiah). Dengan demikian,
secara otomatis pemerintahan Safawid di Iran beranggapan bahwa mereka adalah
bagian dari Ahli Bait Rasulullah. (AI-Islam fi Asia Mundzu Al-Ghazw Al-Mungoli,
Dr. Muhammad Nashr, hlm. 240.)
Syah Ismail berusaha keras agar rakyatnya
menganut madzhab Syiah dan mendeklasikan madzhab itu sebagai madzhab resmi
pemerintah. Dia menghabisi setiap musuh Syiah dengan kekuatan senjata.
Orang-orang Safawid berhasil menghimpun banyak pengikut dari kalangan
murid-murid dan tokoh. Semua kekuatan Syiah saat itu, dari sisa-sisa kaum
'Ubaidiyun di Mesir, Ismailiyah atau Safawid, mereka bersatu dan bergandeng tangan
mendeklarasikan madzhab Syiah sebagai madzhab resmi masyarakat Iran.
Reaksi yang muncul demikian keras. Khususnya
sebagian besar penduduk di kota-kota besar di Iran seperti Tibriz beraliran
Sunni. Bahkan kalangan ulama Syiah pun khawatir akan terjadi reaksi keras
terhadap madzhab ini dari kalangan Ahli Sunnah, sehingga mereka menyatakan
penentangan secara terbuka terhadap pemerintahan Safawid yang bermadzhab Syiah.
Syah Ismail berusaha keras untuk menjadikan
Syiah sebagai madzhab penduduk Iran. Namun hal itu ditanggapi dengan rasa
tidak-puas oleh penduduk Iran yang bermadzhab Sunni, maka Syah Ismail pun
segera mempersiapkan tentara kaum Syiah untuk memaksakan madzhab Syiah. Usaha
itu mendapat dukungan besar dari kalangan Syiah yang sudah bernafsu ingin
menghancurkan musuh-musuhnya dan memaksakan madzhab Syiah di negeri tersebut.
Dalam menjalankan misinya, Syah Ismail
As-Shafawi memainkan politik sangat licik. Dia meminta bantuan kepada
kabilah-kabilah Al-Tarlabasy yang berasal dari keturunan Turki untuk menjadi
inti kekuatan militernya. Dengan cara ini Ismail As-Shafawi berhasil
mengoptimalkan kekuatan madzhab pada elemen Al-Tarlabasy untuk menjadi sandaran
utama kekuatan militernya. Di sana semua kelompok melebur menjadi satu,
sehingga terjadilah satu kesatuan madzhab yang memungkinkan dia membentuk satu
kekuatan politik baru. (AI-Islam fi Asia Mundzu Al-Ghazw Al-Mungoli, Dr.
Muhammad Nashr, hlm. 242-243.) Ismail AI-Shafawi dikenal sebagai sosok kejam
dalam peperangan dan tidak segan-segan melakukan tindakan brutal kepada
penentang-penentangnya, khususnya jika pihak penentang itu dari kalangan Ahli
Sunnah.
Dalam beberapa literatur disebutkan, ketika
menaklukkan kerajaan-kerajaan 'Ajam (non Arab), dia selalu membunuh orang yang
berhasil dikalahkan. Sedangkan harta yang berhasil dirampas dari peperangan,
dia bagi-bagikan kepada para sahabat-sahabatnya. Dia sendiri tidak mengambil
bagian. Beberapa wilayah yang dia kuasai adalah Tibriz, Azerbeijan, Baghdad,
Irak non-Arab, Irak-Arab, juga Khurasan. Hampir saja dia mengaku diri sebagai tuhan.
Para tentara bersujud kepadanya dan melakukan apa yang dia perintahkan.
Quthbuddin Al-Hanafi berkata dalam bukunya
AI-A'Iam: “Sesungguhnya dia telah membunuh lebih dari sejuta manusia, satu
kenyataan yang belum pernah terjadi di masa jahiliyah, apalagi di masa Islam,
bahkan tidak pernah terjadi di masa umat-umat terdahulu. Dia juga membunuh
sejumlah besar ulama ternama, sehingga tidak ada sesorang alim pun yang tersisa
di negeri-negeri non-Arab. Dia membakar semua Mushaf dan buku-buku para ulama,
dan menolak dengan keras Abu Bakar dan Umar serta Utsman sebagai Khalifah.
Di antara bentuk penghormatan yang pernah
dilakukan oleh para sahabatnya kepada dia, ada dalam sebuah kisah yang sangat
unik. Pada suatu hari, sapu tangan Syah Ismail jatuh dari tangannya ke laut.
Saat itu dia sedang berada di atas gunung yang tinggi, di dekat laut itu. Serta
merta lebih dari 1000 sahabatnya menceburkan diri ke dalam laut untuk mengejar
sapu tangan itu, sehingga ada yang patah tulang dan tenggelam. Mereka yakin
bahwa dalam diri Syah Ismail ada sifat-sifat ketuhanan. Kisah ini disebutkan
oleh Quthbuddin. Dia tidak pernah dikalahkan dalam peperangan sampai akhirnya
Sultan Salim I datang memeranginya dan berhasil mengalahkan dia...” (Al-Badr
Al-Thali', 1/271.)
Syah Ismail memimpin madzhab Syiah dan sangat
bersemangat menyebarluaskan paham sesat itu ke seantero negeri. Dakwah Syiah
ini meluas sampai ke wilayah Turki Utsmani. Paham sesat itu seketika ditolak
keras oleh warga Sunni Utsmani. Paham Syiah jelas-jelas sesat karena:
mengkafirkan para Sahabat Rasulullah, melaknat generasi awal, mengubah
Al-Quran, mengharamkan nikah mut'ah, menghalalkan kebohongan, dan lain-lain.
Maka dari itu, sangatlah wajar jika Sultan Salim I merasa tertantang dengan
provokasi Syah Ismail dan kawan-kawan tersebut. Deklarasi tahun 920 H/ 1514 M,
bahwa Iran dan rakyatnya menganut paham Syiah bukan hanya mengancam
pemerintahan Utsmani, tetapi juga seluruh dunia Islam. Di sana Sultan Salim
meniatkan diri mengobarkan Jihad suci untuk menggempur pemerintahan Safawid di
Iran. Pendapat ini didukung para ulama Sunni di Turki Utsmani saat itu. Apalagi
Syah Ismail dicatat pernah melakukan kejahatan besar di wilayah Irak. Dia
membunuh kaum muslimin (Sunni) dalam jumlah sangat besar. Selain itu, dia juga
menghancurkan masjid-masjid dan membongkar kuburan-kuburan kaum muslimin.
Sebelum memulai peperangan, Sultan Salim
melakukan pembersihan terhadap kaum Syiah, pengikut Syah Ismail. Dia kemudian
memenjarakan dan memancung para pendukung Syah Ismail di Anatolia. Baru setelah
itu serangan diarahkan ke Syah Ismail sendiri.
Sebelum memulai penyerangan, Sultan Salim
bersikap bijaksana. Dia membuka dulu pintu dialog dengan Syah Ismail, melalui
surat-menyurat. Namun surat-menyurat itu berlangsung sengit. Mula-mula Sultan
Salim menulis surat kepada Ismail As-Shafawi yang berbunyi:
"Sesungguhnya para ulama di kalangan
kami dan ahli hukum telah menetapkan qishash, wahai Ismail; sebab engkau telah
dianggap sebagai orang murtad. Mereka mewajibkan bagi setiap muslim yang
memiliki hak, untuk membela agamanya dan wajib menghancurkan kesesatan yang ada
dalam dirimu; ataupun di dalam diri pengikut-pengikutmu yang bodoh. Namun
sebelum memulai perang ini, kami mengajakmu untuk bertaubat, kembali ke jalan
agama yang lurus, sebelum pedang kami terhunus. Lebih dari itu, wajib bagimu
untuk meninggalkan wilayah-wilayah yang kamu rampas dari tangan kami. Maka jika
itu yang kamu lakukan, kami siap memberi jaminan keselamatan kepadamu..."
(Juhud AI 'Utsmaniyyin Li Inqadz AI-Andalus, hlm. 435.)
Adapun Syah Ismail membalas surat Sultan
Salim itu dengan mengirimkan opium (narkoba), sambil mengatakan: “Sesungguhnya
surat yang kamu kirim itu ditulis saat kamu berada di bawah pengaruh obat
bius... " (Juhud AI 'Utsmaniyyin Li Inqadz AI-Andalus, hlm. 435.) Dengan
mengirim contoh opium, Sultan Salim dituduh sedang mabuk, seperti orang yang
biasa memakan opium.
Dalam surat lain, Sultan Salim mengatakan:
”Saya adalah pemimpin dan Sultan Utsmani,
saya adalah penghulu pasukan berkuda di zaman ini. Saya adalah sosok yang
menggabungkan antara keberanian dan keganasan, menggabungkan keagungan Iskandar
dan memiliki sifat keadilan Kisra Persia. Saya penghancur berhala-berhala dan
penghancur musuh-musuh Islam. Saya sosok yang membuat ketakutan orang-orang
zhalim dan durjana, serta orang-orang congkak. Saya adalah sosok di mana
raja-raja yang congkak bertekuk-lutut di hadapanku. Saya memiliki kemampuan
untuk mencapai keagungan dan kemuliaan. Saya adalah raja yang penuh gairah,
Sultan Salim Khan bin Sultan Al-A'zham Murad Khan.
Saya sarankan kepadamu, wahai Amir Ismail,
wahai pemimpin pasukan Persia... Karena saya adalah salah seorang muslim dari
kalangan muslim, dan Sultan bagi jamaah kaum mukminin yang Sunni, serta
mentauhidkan Allah... Kini para ulama dan fuqaha yang berada di sekeliling kami
telah mengeluarkan fatwa, wajib hukumnya membunuhmu, dan memerangi kaummu, maka
wajib bagi kami untuk berangkat memerangimu dan menyelamatkan manusia dari
kejahatanmu." (Fath AI-Utsmaniyyin 'Adn, Muhammad Abdul Latif Al-Bahrawi,
hlm. 113.)
Tatkala sampai ke Istanbul, Sultan Salim I
mempersiapkan perang total menghadapi kaum Safawid. Dia bergerak dari Istanbul
menuju wilayah Iran. Ketika telah meninggalkan Eskaturi, dia mengirimkan surat
ancaman kepada Syah Ismail yang berbunyi:
”Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Allah Sang Raja Pemilik segala kerajaan, Tuhan Mahatahu
berfirman: ”Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah agama Islam,
maka barangsiapa yang mencari agama selain Islam, tidak akan diterima agamanya
sedangkan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi. Dan barangsiapa yang
telah sampai padanya larangan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka baginya
apa yang diambilnya dahulu; dan urusannya (terserah) kepada Allah. Adapun orang
yang mengulangi maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.” (Ali Imran: 19).
”Dan barangsiapa yang mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85).
"Barangsiapa yang telah datang padanya
nasihat Tuhannya, lalu mentaatinya, maka masa lalunya (akan diampuni). Dan
barangsiapa yang kembali (mengingkari), maka mereka itulah penghuni neraka yang
akan kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275).
Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang
memberi petunjuk dan bukan orang-orang yang menyesatkan serta sesat. Semoga
shalawat dan salam terlimpahkan kepada penghulu semesta, Muhamamd Al-Mushtafa
dan para sahabatnya semua… (Al-Islam fi Asia Mundzu Al-Ghazw Al-Mungoli,
hlm.246.)
Pada saat yang sama, Sultan Salim I mengutus
seseorang untuk menemui salah salah seorang keluarga Aaq Quwaywunalu yang
bernama Muhammad bin Farj Syah Beik untuk bergabung bersama Sultan memerangi Syah
Ismail. Saat itu terjadi perang spionase antara kedua belah pihak. Menurut
informasi yang diterima, Syah Ismail tidak berniat berperang menghadapi Sultan.
Namun sikap itu dianggap sebagai strategi "mengulur waktu". Syah
Ismail bermaksud mengundur waktu perang sampai memasuki musim dingin, sehingga
diharapkan tentara Utsmani ketika itu akan mati kedinginan dan kelaparan. (Al-Islam
fi Asia Mundzu Al-Ghazw Al-Mungoli, hlm.246.)
Sultan Salim menyadari strategi busuk Syah
Ismail itu, maka dia jelas menolak menghentikan perang. Serangan akan terus
dilancarkan. Apalagi ketika itu, Sultan Salim menempatkan pasukannya di gurun
Yasin Jaman, sebuah tempat dekat Azerbeijan.
Sultan Salim segera melakukan serangan cepat
ke posisi pasukan Syah Ismail. Dia juga mengirimkan peringatan dalam bentuk,
mengirim sobekan kain, tasbih, kantong pengemis, dan tongkat, sebagai gambaran
kaum darwisy yang kumel. Melalui peringatan ini, Sultan ingin mengingatkan
asal-usul keluarga Safawid yang tidak sabar dalam menghadapi peperangan.
Ternyata, Syah Ismail membalas surat itu dengan permintaan diadakan kesepakatan
damai, serta membuka hubungan baru yang damai dan bersahabat. Namun Sultan
Salim I menolak tawaran itu. Dia malah mencibir utusan yang dikirim oleh Syah
Ismail dan memerintahkan menyingkirkan para utusan itu. Sultan Salim I sadar
bahwa taktik musuh untuk mengadakan kesepakatan damai hanyalah untuk mengundur
waktu sampai musim dingin.
Sultan Salim terus bergerak menuju sasaran.
Bahkan kabar yang beredar, Syah Ismail telah siap perang dan dikabarkan pasukan
dia telah mendekati gurun Jaladayaran. Maka Sultan melanjutkan gerakan menuju
ke tempat tersebut dan tiba di sana bulan Agustus tahun 1514 M. Dia mengambil
posisi-posisi strategis dan menguasai tempat-tempat dataran tinggi, sehingga
sangat memungkinkan baginya untuk cepat mematikan terhadap gerakan Syah Ismail
dan tentaranya. Dalam peperangan ini, Syah Ismail mengalami kekalahan sangat
telak. Dia menderita kekalahan di tanahnya sendiri. (Al-Islam fi Asia Mundzu
Al-Ghazw Al-Mungoli, hlm.247.) Syah Ismail terpaksa melarikan diri saat Sultan
Salim hendak memasuki Tibriz, ibukota pemerintahan Safawid. Sultan Salim
memasuki kota itu, dan segera memblokade kekayaan Syah Ismail dan pemuka
Qalzabas. Tibriz dijadikannya sebagai pusat operasi militer. (Al-Islam fi Asia
Mundzu Al-Ghazw Al-Mungoli, hlm.247.)
Perseteruan antara pemerintahan Utsmani yang
Sunni dan Syiah di Iran tidak terhenti dengan berakhirnya peperangan
Jaladayaran. Perseteruan itu semakin sengit dan keduanya selalu berusaha
mencari titik-titik kelemahan lawan. Dengan rahmat Allah, Sultan Salim mampu
memenangkan peperangan itu, berkat akidahnya yang lurus, manhajnya yang bersih,
didukung oleh persenjataan yang telah maju, serta pasukan yang sangat terlatih.
Kemudian dia kembali ke negerinya setelah mampu menguasai Kurdistan, Diyar
Bakr, Marghasy Iblisin, dan sisa-sisa Dalfawad. Dengan demikian, Anatolia aman
dari serangan yang datang dari wilayah Timur, dan pada saat yang sama terbuka
pintu masuk menuju Azerbeijan dan Kaukaz. (juhud AI-Utsmaniyyin Li Inqadzi
AI-Andalus, hlm.436.)
Referensi: Bangkit Dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Prof.
Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi
-----