a. Berpuasa di Bulan Muharam (Syahrullah)
Barangsiapa suka untuk melakukan puasa yang
paling utama setelah bulan Ramadhan, maka hendaknya dia berpuasa pada bulan
Muharam. Berpuasa sehari dalam bulan ini lebih utama daripada berpuasa pada
hari biasa di bulan yang lain. Dari pernyataan seperti ini, bukan berarti telah
mengabaikan dan membatalkan keutamaan puasa lainnya yang telah disebutkan,
dipuji, dan diterangkan oleh syariat, seperti berpuasa pada hari-hari al-ghurr,
yakni hari-hari al-biidh (tanggal 13, 14 dan 15), atau puasa hari Senin dan
Kamis, atau puasa hari Arafah tanggal sembilan di bulan Dzulhijjah, seperti
yang akan kami sebutkan selanjutnya. Penyebutan dan pujian terhadap sesuatu
bukan serta-merta tidak memperhitungkan yang lainnya.
Ketika kami menyatakan
bahwa puasa di bulan Muharam merupakan puasa yang paling utama, ini memiliki
pengertian mengutamakan bulan Muharam untuk berpuasa atas bulan selainnya
secara umum. Penyebutan dan pujian beberapa puasa dengan beragam keutamaannya
tetap berlaku.
Berpuasa pada hari
kesepuluh bulan Muharam ini, yakni yang disebut hari Asyura, bisa menghapus
dosa setahun yang lalu.
Berikut ini sejumlah
nash yang menerangkan keutamaan puasa di bulan Muharam ini:
1. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah
Saw. bersabda:
“Puasa yang paling
utama setelah Ramadhan adalah (puasa pada) syahrullah,
yakni bulan Muharram.” (HR. Muslim [2755], Abu Dawud, an-Nasai, ad-Darimi,
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Thabrani meriwayatkan
hadits ini dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir
[2/1695], dari jalur Jundub bin Sufyan.
2. Dari Abu Hurairah ra. yang dimarfu'kan kepada Nabi Saw.:
“Beliau Saw. ditanya:
Shalat apakah yang paling utama setelah shalat fardhu, dan puasa apakah yang
paling utama setelah puasa Ramadhan? Maka beliau Saw. menjawab: “Shalat yang
paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat di tengah malam, dan puasa yang
paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa pada syahrullah, yakni bulan Muharram.” (HR. Muslim [2756], an-Nasai
dan Ahmad)
3. Dari Nu’man bin Saad, dari Ali ra. ia
berkata:
“Seorang lelaki
bertanya kepadanya: Bulan apakah di mana aku diperintahkan olehmu untuk
berpuasa setelah bulan Ramadhan? Maka Ali berkata kepadanya: Aku tidak
mendengar seorangpun bertanya tentang hal ini kecuali seorang lelaki, di mana
aku mendengarnya bertanya kepada Rasulullah Saw., sedangkan aku (saat itu)
sedang duduk di samping beliau saw. Maka dia berkata: Wahai Rasulullah, bulan
apakah di mana aku diperintahkan olehmu untuk berpuasa setelah bulan Ramadhan?
Beliau Saw. berkata: “Jika engkau ingin berpuasa setelah bulan Ramadhan, maka
berpuasalah pada bulan Muharram, karena Muharram itu adalah syahrullah (bulan milik Allah), di dalamnya
ada satu hari di mana Dia Swt. telah mengampuni pada satu kaum dan sedang
mengampuni kaum yang lain.” (HR. Tirmidzi [738] dan ia berkata: ini adalah
hadits hasan gharib)
Al-Mundziri sepakat
dengan Tirmidzi dalam menghasankan
hadits ini. Ahmad [1335] meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Dari Ali ra. ia
berkata: Nabi Saw. didatangi seorang lelaki, kemudian laki-laki itu bertanya:
Wahai Rasulullah, beritahukanlah aku tentang satu bulan yang bisa aku puasai
setelah Ramadhan. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Jika engkau benar-benar ingin
berpuasa suatu bulan setelah Ramadhan, maka berpuasalah pada bulan Muharram,
karena Muharam itu adalah syahrullah, di
dalamnya ada satu hari di mana Dia Swt. telah mengampuni pada satu kaum dan
sedang mengampuni kaum yang lain.”
Ad-Darimi pun
meriwayatkan hadits ini tetapi dengan redaksi yang sedikit berbeda.
4. Dari Abu Qatadah ra., dari Nabi Saw., beliau
Saw. bersabda:
“Puasa Asyura bisa
menghapuskan dosa setahun yang lalu, dan puasa Arafah bisa menghapuskan dosa
dua tahun: (yaitu) tahun yang lalu dan tahun yang akan datang.” (HR. an-Nasai
[2809] dalam as-Sunan al-Kubra, Ibnu Abi
Syaibah, Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan Ibnu Hibban)
Penjelasan lebih
lengkap tentang puasa Asyura akan kami jelaskan dalam poin yang terpisah, insya Allah.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah