Runtuhnya
Kesultanan Mamalik
Setelah Sultan Salim l mampu mengalahkan
pemerintahan Safawid Syiah sesat di bagian Utara dan Barat Iran, Sultan mulai
bersiap-siap untuk menaklukkan pemerintahan Mamalik di Mesir. Usaha penaklukan
ini disebabkan oleh beberapa faktor:
Pemerintahan Mamalik (Mamluk) menunjukkan
sikap permusuhan kepada Khilafah, ketika Sultan Qanshuh Al-Ghauri, memilih
bersekutu pangeran-pangeran yang melarikan diri dari Sultan Salim l. Pelarian
yang paling utama adalah pangeran Ahmad, saudara Sultan sendiri. Sultan Al Gahuri
menerima para pangeran pelarian itu dengan tujuan, agar semua itu semakin
menekan posisi Sultan Salim. Di sisi lain, pemerintahan Mamalik bersikap pasif
terhadap pemerintahan Safawid. Malah mereka tampak memberikan dukungan moral
kepada Safawid Syiah.
Adanya sikap mendua dari negeri-negeri kecil
dan kabilah-kabilah, apakah mereka akan berpihak kepada Khilafah Utsmani atau
Mamalik di Mesir. Hal ini jelas memunculkan konflik politik antara kedua
kekuasaan. Tidak mengherankan jika pemerintahan Mamalik berusaha mendukung
siapa saja yang memusuhi pemerintahan Utsmani. Apalagi Sultan Salim sendiri
sejak awal ingin menundukkan daerah-daerah itu.
Persoalan menjadi semakin sulit, ketika
pemerintahan Mamluk terbukti banyak berbuat zhalim kepada rakyat di wilayah Mesir
dan Syam. Hal itu membuat para ulama, hakim, orang-orang terpandang,
cendikiawan, dan rakyat berkumpul membahas kezhaliman pemerintahan Mamalik.
Lalu mereka mengutus hakim empat madzhab dan ulama menjadi wakil mereka, untuk
menulis surat laporan kepada Sultan Utsmani. Dalam surat itu diberitahukan,
bahwa penduduk Suriah telah merasakan pahitnya kekejaman pemerintahan Mamluk
dan bahwa para penguasa Mamalik telah nyata-nyata melanggar Syariah yang mulia.
juga diberitahukan, jika Sultan Utsmani mau menyerang kekuatan Mamalik,
penduduk Suriah akan mendukung.
Sebagai bukti dukungan, mereka akan mengutus
wakil-wakil dari setiap kelompok untuk pergi ke Ayniyat, sebuah tempat yang
cukup jauh dari Aleppo. Di sana mereka meminta bertemu dengan utusan resmi
Sultan Salim I dalam suatu pertemuan rahasia. Mereka menginginkan adanya
perjanjian keamanan, sehingga hati mereka menjadi tenang. (AI-Utsmaniyyun fit
Tarikh Wal Hadharah, hlm. 170.)
Disebutkan oleh Dr. Muhammad Harb, bahwa
dokumen perjanjian kesepakatan itu ada dalam arsip Utsmani di museum Thub Kabi,
di Istanbul dengan no.11634/ 26. Dia menjelaskan, isi perjanjian kesepakatan
itu (setelah diterjemahkan dari bahasa Utsmani ke bahasa Arab) antara lain
sebagai berikut:
“Semua penduduk Aleppo, dari kalangan ulama,
pemuka masyarakat, dan orang-orang terhormat menyatakan kesetiaan mereka secara
penuh kepada Sultan -semoga Allah menolongnya-. Dengan ijin mereka semua, kami
menulis kertas ini untuk dikirimkan pada Sultan yang mulia. Sesungguhnya semua
penduduk Aleppo, dan mereka menyatakan kesetiaan kepada Tuan, memohon Sultan
untuk memberikan rasa aman. jika Tuan memberikan keterangan yang jelas, maka
kami beritahukan bahwa kami kini berkuasa atas orang-orang Syarakis. Dan kami
akan menyerahkannya kepada Tuan, atau kami akan mengusir mereka. Semua penduduk
Aleppo siap menerima kedatangan Tuan. Saat Tuan menginjakkan kaki di Ayniyat,
maka kami akan melepaskan kekuasaan kami di Syarakis. Kami minta Tuan
memberikan perlindungan kepada kami dari orang-orang kafir sebelum datangnya
orang-orang Turkman.
Dan perlu Sultan ketahui, bahwa Syariah Islam
di sini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Syariah Islam di sini macet total.
Sesungguhnya orang-orang Mamalik, jika tertarik pada sesuatu yang bukan
miliknya, mereka akan mengambilnya dengan paksa, baik itu berupa harta-benda,
wanita, atau kerabat. Mereka tidak lagi memiliki perasaan kasih. Mereka adalah
orang-orang zhalim. Mereka meminta satu orang laki-laki dari tiga rumah, namun
kami tidak penuhi permintaan itu. Maka mereka menampakkan permusuhan kepada
kami dan mereka mampu menguasai kami. Maka kami ingin sebelum Turkman
berangkat, Tuan bisa mengirim seorang menteri yang Tuan percayai untuk memberi
jaminan rasa aman bagi kami, keluarga, dan kerabat kami.
Kirimkanlah kami seorang laki-laki yang Tuan
percaya dan datanglah kepada kami secara sembunyi-sembunyi. Mari kita bertemu
dan berjanjilah untuk memberikan rasa aman kepada kami, agar hati penduduk yang
menderita menjadi tenang. Semoga salam dan kesejahteraan terlimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad, dan para keluarganya semua.” (AI-Utsmaniyyun fit
Tarikh Wal Hadharah, hlm. 170-171.)
Sedangkan sikap para ulama dan fuqaha' Mesir
tidak jauh berbeda dengan sikap orang-orang Suriah (Syam). Dr. Abdullah bin
Ridhwan menyebutkan dalam bukunya Tarikhu Mishra (manuskrip no. 4971) yang
berada di perpustakaan Bayazid di Istanbul, bahwa ulama-ulama Mesir selalu
menemui utusan Utsmani yang datang ke Mesir dengan cara rahasia. Mereka
mengisahkan kepada utusan itu tentang penderitaan mereka akibat kezhaliman
penguasa Mamalik, dan mereka meminta agar Sultan Salim segera datang ke Mesir
untuk mengambil Mesir. Selain itu, ulama-ulama Mesir juga sering mengirim surat
kepada Sultan Salim dan memintanya agar datang membawa pasukan ke Mesir untuk
mengusir orang-orang Mamluk itu. (AI-Utsmaniyyun fit Tarikh Wal Hadharah, hlm.
169.)
Para ulama Utsmani berpandangan, jika Mesir
dan Suriah bisa dimasukkan ke dalam wilayah kekuasan Utsmani, hal itu akan
banyak memberikan manfaat bagi umat. Dasar pemikirannya, selama ini ada ancaman
bahaya dari orang-orang Portugis di Laut Merah, dan juga Pendeta Johannes di
Laut Tengah. Maka setelah jatuhnya pemerintahan Mamluk, pemerintahan Utsmani
menanggung semua beban ancaman itu sendirian. (Qiraat jadidah fit Tarikh
Al-Utsmani, hlm. 70.)
Pendapat kami ini bisa dibuktikan oleh
perkataan Sultan Salim I kepada Thuman Bey, pemimpin terakhir Pemerintahan
Mamalik, setelah dia dikalahkan dalam peperangan Rayadaniyah. Di sana Sultan
berkata: ”Saya tidak datang kepada kalian, kecuali setelah saya mendengar fatwa
ulama di seluruh negeri. Saya semula berangkat untuk berjihad melawan
orang-orang Rafidhah (Syiah Safawid) dan orang-orang kafir (Portugis dan
Pendeta Johannes). Namun tatkala pemimpin kalian Al-Ghauri melakukan
pembangkangan, datang membawa pasukan ke Aleppo, dan bersepakat dengan
orang-orang Rafidhah untuk menyerang kerajaanku, yang merupakan peninggalan
ayah dan moyangku; maka setelah semua urusan selesai dan orang-orang Rafidhah
telah dikalahkan, maka kini saya datang menuju kepada kalian.” (Qiraat jadidah
fit Tarikh Al-Utsmani, hlm. 71.)
Momen
Terjadinya Benturan
Setelah terjadi berbagai peristiwa konflik
antara pemerintahan Utsmani dan pemerintahan Safawid, maka Sultan Mamluk Qansuh
Al-Ghauri wajib mengambil sikap, antara berpihak ke pemerintahan Utsmani dalam
melawan pemerintahan Safawid. Atau berpihak kepada Safawid dalam melawan
pemerintahan Utsmani. Atau bersikap netral di antara keduanya.
Al-Ghauri memilih bersikap netral secara
zhahir. Namun mata-mata Utsmani menemukan bukti berupa surat-surat yang
menunjukkan, bahwa pemerintahan Mamluk menjalin hubungan rahasia dengan
pemerintahan Safawid. Surat itu kini masih tersimpan dengan baik di arsip Thub
Qabi di Istanbul, Turki. Sultan Salim semula ingin melakukan serangan
besar-besaran kepada pemerintahan Safawid yang berada di Persia. Namun setelah
adanya berbagai peristiwa, dia memandang perlu untuk menyelamatkan
"punggungnya” dengan cara menggabungkan wilayah Mamluk ke dalam
pemerintahannnya.
Tidak ada jalan lain bagi Utsmani selain
menyerang pemerintahan Mamluk (Mamalik) yang berkuasa di Suriah (Syam). Pasukan
Sultan Salim dipersiapkan dengan baik menghadapi peperangan ini. Akhirnya,
kedua pasukan bertemu di Marj Dabiq, dekat Aleppo pada tahun 1517 M. Di sana
terjadi pertempuran sengit. Dengan ijin Allah, tentara Utsmani berhasil
mengalahkan Mamluk. Sultan Al-Ghauri sendiri terbunuh. Sebagai bentuk
penghormatan, pasukan Utsmani menyalatkan jenazah Sultan Al-Ghauri dan
menguburkannya di dekat Aleppo. Setelah itu Sultan Salim memasuki Aleppo, lalu
Damaskus.
Pasca kemenangan besar ini, nama Sultan Salim
semakin harum. Dia didoakan oleh para khatib dan kaum muslimin di
masjid-masjid. Ulama dan rakyat yang semula sangat menderita di bawah kekuasaan
Sultan Mamluk, mereka tak henti mendoakan kebaikan baginya. Nama Sultan dicetak
dalam mata uang, baik dengan sebutan Sultan atau Khalifah. (Qiraat jadidah fit
Tarikh Al-Utsmani, hlm. 71.)
Sultan Salim memutuskan untuk melanjutkan
peperangan dan mulai bergerak ke Mesir dengan melintasi gurun-gurun Palestina.
Di tengah perjalanan menuju Mesir, hujan turun di tempat-tempat pasukan Utsmani
sehingga sangat memudahkan pasukan Utsmani untuk bergerak melewati pasir-pasir.
Sejarawan Salahatsur, penulis manuskrip Fath Namah Diyar Al Arab, yang ketika
itu berada bersama Sultan Salim, dia menceritakan bahwa Sultan Salim menangis
dalam doanya, di Masjid Shakhrah Al Quds Palestina.
Dia melakukan shalat hajat di masjid suci
itu, seraya memohon kepada Allah agar dia diberi kemenangan saat menghadapi
pasukan Mesir. (AI-Utsmaniyyun fit Tarikh WaI Hadharah, hlm 30.)
Untuk kesekian kalinya, gerakan pasukan
Ustmani berjalan mulus, dengan pertolongan Allah Ta'ala. Pasukan Utsmani
berhasil mengalahkan pasukan Mamalik di perang Giza, kemudian perang
Raydaniyyah. Banyak faktor teknis yang dianggap sebagai sebab manusiawi
kemenangan pasukan Utsmani, antara lain:
1. Keunggulan militer pasukan Utsmani.
Misalnya, meriam yang dimiliki pasukan Mamluk rata-rata meriam besar yang tidak
bergerak, sedangkan meriam-meriam pasukan Utsmani selain bersifat ringan, juga
bisa digerakkan ke semua arah.
2. Keunggulan strategi pasukan Utsmani.
Pasukan Utsmani mampu menempuh perjalanan panjang dalam jangka waktu cepat.
Kecepatan ini menjadi keuntungan tersendiri, sehingga pasukan Utsmani bisa
mengatur strategi lebih lama, sebelum momen peperangan terjadi. Selain itu
pasukan Utsmani bergerak di belakang pasukan meriam, sehingga posisi mereka
aman. Kemudian datang bala bantuan pasukan Utsmani dari arah Muqattham.
3. Kokohnya mentalitas pasukan Utsmani dan
buah dari tarbiyah jihad yang begitu baik. Mereka meyakini sedang berjihad demi
menegakkan keadilan.
4. Komitmen pasukan Utsmani untuk
berpegang-teguh kepada Syariah dalam semua aspek kehidupan, serta kepedulian
mereka yang tinggi terhadap prinsip keadilan. Sebaliknya, pemerintahan Mamluk
jauh menyimpang dari Syariah yang mulia dan berlaku zhalim. (AI-Utsmaniyyun fit
Tarikh WaI Hadharah, hlm. 31.)
5. Sejumlah pemimpin Mamluk memutuskan
bergabung kepada tentara Sultan Salim. Mereka siap bekerjasama dengan
pemerintahan Utsmani dan menjadikan wilayahnya berada di bawah pemerintahan
Utsmani. Di antara pemimpin itu ialah adalah Khayir Beik, yang kemudian
diangkat Sultan Salim menjadi penguasa Mesir, dan Janbarad Al-Ghazali yang
diserahi Sultan Salim untuk memerintah di Damaskus. (AI-Syu'ub AI-Islamiyyah,
Dr. Abdul Aziz Nawaz, hlm. 93.)
Pemerintahan Mamluk di Mesir mengalami
kekalahan telak pada tahun 1516 M. Kemudian pemerintahannya mengalami
kemundurun dan menyudahi halaman-halaman riwayat sejarahnya yang semula
memiliki kekuasaan besar di wilayah Timur Tengah ataupun dunia secara umum.
Mereka kehilangan vitalitas dan kemampuannya untuk kembali meremajakan
pemerintahannya. Maka ambruklah pemerintahan Mamluk dan sirnalah negeri-negeri
yang semula berada di bawah kekuasaanya. Semua negeri itu lalu berada di bawah
pemerintahan Utsmani. (AI-Syu'ub AI-Islamiyyah, Dr. Abdul Aziz Nawaz, hlm. 92.)
Dr. Ali Hasun menukil dari Al-jabarati dari
bukunya yang berjudul Tarikh Ajaib AI-Aatsar Fi AI-Tarajim wa AI-Akhbar, pada
jilid pertama saat menggambarkan masa pemerintahan Utsmani di Mesir di masa pemerintahan
Sultan-sultan besar. Di sana dia mengatakan:
"Mesir kembali berada di bawah kekuasaan
besar, sebagaimana terjadi di awal masa-masa pemerintahan Islam. Tatkala Mesir
berada sepenuhnya di tangan Sultan Salim I, dia mengampuni orang-orang Mamluk dan
anak-anak mereka. Dia sama sekali tidak menyentuh wakaf para Sultan Mesir,
bahkan sebaliknya dia menentukan distribusi uang untuk wakaf dan amal-amal
kebaikan, untuk makanan hewan, dan jatah untuk minuman pendudukan Haramain dan
Anhar. Dia juga mengalokasikan dana untuk anak-anak yatim, orang-orang yang
sudah tua dan jompo. Demikian pula dia mengalokasikan dana untuk
benteng-benteng, dan orang-orang yang disiapkan untuk berperang. Dia juga
menghapus semua bentuk kekejaman, cukai dan hutang-hutang.
Tatkala Sultan meninggal, anaknya yang
bernama Sulamain Al-Ghazi -semoga Allah merahmatinya- menggantikan dirinya. Dia
membangun pilar-pilar dan menyempurnakan tujuan-tujuan yang akan dicapai. Dia
mengatur pemerintahan dan menerangi kegelapan. Dia tinggikan menara agama dan
dia padamkan api orang-orang kafir. Negeri-negeri itu teratur rapi di bawah
pemerintahan mereka dan berjalan lurus di bawah kekuasaannya. Di masa awal
pemerintahannya dipegang oleh orang-orang yang mampu mengemban amanah umat
sebaik-baiknya, setelah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Mereka
adalah orang-orang yang peduli terhadap agama dan orang yang paling getol
berjihad melawan orang-orang kafir. Oleh sebab itu, pemerintahan mereka semakin
meluas, berkat rahmat Allah. Demikianlah apa yang terjadi dan mereka tidak
lalai untuk menjaga wilayah dan perbatasan negerinya, serta menyemarakkan
syiar-syiar Islam dan sunnah-sunnah Rasulullah. Tidak lupa pula mereka
menghormati para ulama, para ahli agama, serta berkhidmat untuk dua kota suci
Makkah dan Madinah.” (AI-Syu'ub AI-Islamiyyah, Dr. Abdul Aziz Nawaz, hlm. 92)
Referensi: Bangkit Dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Prof.
Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi
-----