Mengapa kewajiban dari
Allah Rabb Baitullâh untuk menerapkan
syariah Islam belum mendapat sambutan seperti layaknya sambutan terhadap
kewajiban haji? Mengapa pengorbanan serupa belum diberikan bagi
perjuangan tegaknya Khilâfah ‘alâ Minhâj
an-Nubuwwah sebagaimana dititahkan Rasul? Padahal bukankah salah
satu doa dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as. ketika membangun Ka’bah adalah
agar kita mengikuti ajaran Rasul? Saat itu beliau berdua berdoa: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul
dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Quran) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta
mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.” (TQS al-Baqarah [2]:129).
Haji adalah ibadah.
Orang-orang yang menghayati setiap aktivitas di dalamnya akan mendapatkan
banyak pelajaran. Misalnya, ketika pertama kali memasuki kota Makkah,
siapa pun tak akan tahan menahan mata berkaca-kaca. Terbayang di
benaknya, inilah kota yang di dalam al-Quran disebut al-balad al-amîn (negeri yang aman). Pikiran pun
melayang. Di sinilah dulu Rasulullah saw. memulai dakwah dan membina para
Sahabat. Di kota inilah beliau dilempari kotoran unta, diembargo selama
dua tahun, para Sahabatnya diintimidasi, dsb. Masih ada dalam ingatan, di
kota ini pula Rasulullah Saw. diancam dengan pembunuhan oleh kaum kafir
Quraisy. Mereka berunding di pusat kajian strategis mereka, Dâr an-Nadwah, untuk melancarkan rencananya
itu. Inilah kota perjuangan awal Nabi Saw. mendakwahkan Islam. Pada
saat menginjakkan kaki di kota Makkah, kecintaan kepada Allah dan Rasulullah
pun membuncah. Semangat perjuangan pun terkobarkan.
Pasca Khilafah Ustmani
hancur pada tahun 1924, perjuangan untuk mengembalikan Khilafah berlangsung di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dr. Deliar Noer menulis bahwa penghapusan
Kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan di Dunia Islam pada umumnya, yang
mulai berpikir tentang pembentukan suatu kekhilafahan baru. Masyarakat Islam
Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban
memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud
mengadakan kongres tentang Khilafah pada bulan Maret 1924. Sebagai sambutan
atas maksud ini, dibuatlah Komite Khilafah yang didirikan di Surabaya tanggal 4
Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama
Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah. Guliran
usul ini selanjutnya diperkuat dalam Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan
Desember 1924, yang antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke
Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Sarekat Islam), Haji Fachruddin
(Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi. (Deliar Noer, Bendera Islam, Jakarta, 22 Januari 1925)
Perjuangan
mengembalikan syariah dan Khilafah ternyata bukan hanya dilakukan oleh KH Wahab
semata, tetapi hampir seluruh tokoh Islam. Spirit perjuangan sebagian besar
dari mereka adalah memperjuangkan formalisasi syariah Islam walau ada yang
tidak secara ‘tegas’ menyatakan Khilafah. Sebut saja Hadji Oemar Said (HOS)
Cokroaminoto. Beliau secara gigih memperjuangkan agar syariah Islam dijadikan
sebagai sumber hukum dalam bernegara. Tatkala HOS Cokroaminoto melihat rakyat
yang tertindas oleh penjajah kolonial Belanda secara ekonomi dan politik,
beliau pun ‘mengejawantahkan’ kegundahan hatinya melalui statemen, “Negara dan
bangsa kita tidak akan mencapai kehidupan yang adil dan makmur, pergaulan hidup
yang aman dan tenteram selama ajaran-ajaran Islam belum dapat berlaku atau
dilakukan menjadi hukum dalam negara kita, sekalipun sudah merdeka.” (Amelz,
1952, h. 2 dalam Api Sejarah, Ahmad
Mansur Suryanegara, Salamadani Pustaka Semesta, 2009)
Berbicara tentang
Muhammad Natsir sejatinya tidak bisa dilepaskan dengan perjuangan syariah Islam
di Indonesia. Natsir menganggap bahwa agama dan negara harus dipersatukan dalam
semangat untuk menegak-kan hukum Allah. (http://www.rahmatan.org/artikel/mengingat-sejarah/29-muhammad-natsir-pejuang-islam-kontemporer)
Artinya, tidak ada
pemisa-han antara Islam dan negara. Bahkan Natsir menegaskan bahwa Islam tidak
terbatas pada aktivitas ritual Muslim yang sempit, tetapi pedoman hidup bagi
individu, masyarakat dan negara.
jelas bahwa sejak awal
Bumi Nusantara punya hubungan erat dengan Khilafah. Tatkala Khilafah Utsmaniyah
tumbang, para pemuka Islam di Nusantara berlomba-lomba untuk berkontri-busi
dalam mengembalikan tegaknya Khilafah, termasuk di dalamnya perjuangan untuk
menjadikan syariah Islam menjadi dasar dan sumber hukum di negeri ini pada saat
awal-awal pebentukan negara Indonesia.
Karena itu, jika ada
yang mengatakan bahwa perjuangan mengembalikan syariah Islam disebut ahistoris
maka sejatinya dialah yang ahistoris. Fakta memperlihatkan sebaliknya. Bahkan
perjuangan mereka justru dengan kesungguhan dan penuh dengan pengorbanan. Semoga
kita bisa menjadi penerus perjuangan mereka dengan penuh ikhlas. Insya Allah.
Kita membayangkan,
betapa bahagianya kaum Muslim ketika janji Allah SWT itu tiba. Ketika Khilafah
diproklamirkan, khalifah dibaiat, dan Liwa-Raya dikibarkan, seluruh kaum Muslim
menyambutnya dengan suka cita. Betapa bahagianya tatkala kita termasuk orang-orang
yang berada dalam barisan pejuangnya, orang-orang yang menghibahkan hidupnya
untuk memperjuangan tegaknya Khilafah, menghentikan dampak buruk sistem kufur.
tegaknya Khilafah
merupakan pertolongan Allah SWT atas kaum Mukmin. Untuk mendapatkan pertolongan
Allah SWT, kita harus bersungguh-sungguh menolong agama-Nya (lihat QS Muhammad
[7]: 47). Menolong agama-Nya adalah dengan terikat dengan akidah dan syariah-Nya
secara keseluruhan tanpa kecuali. Pelanggaran sedikit saja terhadap perkara
tersebut bisa menjauhkan diri dari pertolongan Allah SWT. Kasus Perang Hunain
bisa menjadi pelajaran berharga. Pada perang itu, pasukan umat Islam sempat
hampir menderita kekalahan karena ada sebagian orang yang menduga bahwa jumlah
pasukan yang banyak menjadi sebab kemenangan (lihat QS al-Taubah [9]:
25). Oleh karena itu, perjuangan menegakkan Khilafah mengharuskan
pelakunya untuk terikat dengan syariah-Nya.
Menegakkan Khilafah
memang berat. Namun, beratnya perjuangan itu tidak boleh mengendorkan semangat
kita untuk berjuang; malah harus membuat kita semakin bersemangat. Semakin
berat medan perjuangan, semakin besar pula pahala yang dijanjikan.
Wahai para ulama,
intelektual, pemuda dan mahasiswa, para buruh dan pengusaha, para istri dan
ibu-ibu, dan seluruh kaum Muslim; jadilah para penolong agama Allah dengan
berjuang menegakkan Khilafah! Bersatulah dalam barisan perjuangan yang mulia
ini.