Meskipun dipenuhi
badai kritik dan kecaman terhadap Perppu Ormas, DPR tetap mengesahkan Perppu
tersebut menjadi Undang-Undang Ormas pada 24 Oktober 2017 lalu. Padahal
kritikan dan kecaman terhadap Perppu tersebut bukan datang dari kalangan
pinggiran. Namun datang dari para akademisi dan pakar hukum di negeri ini.
Bahkan institusi akademik seperti Fakultas Hukum UI dan Unpad serta
berbagai-Ormas Islam turut mengecam Perppu tersebut.
Ada beberapa catatan
yang patut kita cermati terkait pengesahan UU Ormas tersebut. Pertama, apa yang
terjadi di DPR itu semakin menambah bukti bahwa kelahiran suatu undang-undang
di parlemen seringkali memang didasarkan pada kepentingan pragmatis semata.
Sedangkan apa yang biasanya mereka nyatakan demi kepentingan rakyat, sebenarnya
tidak lebih dari sekadar bumbu humanis di hadapan publik.
Faktanya mudah
dilihat, walaupun terang benderang kerapuhan argumentasi pada Perppu tersebut
namun tetap juga lolos menjadi undang-undang. Karenanya, sulit ditampik bahwa
UU Ormas tersebut sejatinya memang untuk memuaskan kepentingan elit poIitik
partai pendukung Perppu, bukan untuk kepentingan rakyat.
Kedua, bagi umat
Muslim, UU Ormas tersebut bukan hal sepele, tapi ancaman yang sangat serius.
Yakni ancaman terhadap keberlangsungan dakwah Islam di negeri ini. Makanya
wajar ratusan ribu umat Muslim melakukan aksi pada saat DPR bersidang untuk
mengesahkan UU tersebut. Tentu saja aksi itu dilakukan karena umat menyadari
bahwa UU tersebut berpotensi menjadi alat pengekang atau bahkan mesin pembunuh
terhadap dakwah Islam.
Misalnya pada Pasal 59
ayat 4 huruf c dalam Perppu tersebut yang melarang suatu Ormas menganut,
mengembangkan, dan mengajarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Ini
termasuk pasal karet yang sangat berbahaya menjadi alat represifisme penguasa.
Karena penguasa bertindak sebagai penafsir tunggal dari apa yang dimaksud paham
yang bertentangan dengan Pancasila tersebut.
Atas dasar pasal itu,
ormas Islam yang dalam dakwahnya menyerukan penerapan syari'ah secara kaaffah
bisa dituding anti Pancasila dan bisa dibubarkan. Ini sangat berbahaya pada
aktivitas dakwah lslam yang salah satu bagian dakwah tersebut adalah melakukan
koreksi terhadap penguasa (muhasabah lil-hukmi). Yakni mengoreksi segala
kebijakan penguasa yang disinyalir bertentangan dengan syari'ah Islam.
Aktivitas dakwah seperti itu akan mudah dituding sebagai anti Pancasila.
Sebagai konsekuensi
dari logika yang mereka bangun, bahwa yang mengkritik penguasa dan menawarkan
solusi syariah adalah anti-penguasa dan anti kebhinnekaan. Sementara, mereka
yang dituding anti-penguasa itu bisa disebut anti Pancasila.
Ketiga, meskipun telah
disahkan oleh DPR namun kita yakin tidak akan menyurutkan umat Muslim untuk
terus melakukan penolakan terhadap UU Ormas tersebut. Hal itu bukan karena
sekadar untuk melindungi eksistensi Ormas Islam semata, namun yang jauh lebih
penting adalah melindungi dakwah Islam dari upaya pengekangan dan pengebirian.
Sebab bagi setiap Muslim, dakwah itu wajib hukumnya sebagaimana kewajiban
lainnya, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya.
Inti dari dakwah
adalah seruan untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah. Prosesnya dilakukan
secara argumentatif dan bukan dengan kekerasan. Syariah Islam didakwahkan dan
ditawarkan sebagai solusi terhadap berbagai problem yang membelit negeri ini. Mulai
dari problem akhlak, pendidikan, ekonomi, sosial, keamanan, hingga problem
politik.
Di samping itu, bagi
umat Muslim dakwah untuk kembali pada syariah secara kaffah tersebut merupakan
wujud ketaqwaan dan ketundukan kepada Allah SWT. Karenanya, setiap ada upaya
pengekangan terhadap dakwah akan memunculkan perlawanan dari umat Muslim. Semakin
kuat dan represif pengekangannya, akan semakin kuat pula perlawanannya. Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Bacaan: Tabloid MediaUmat edisi 207