Oleh: Fatmah
Ramadhani, alumni FKM UI
Para filsuf di masa
Yunani kuno berpolemik apakah perempuan memiliki jiwa atau tidak. Mereka
percaya perempuan sumber penyakit dan bencana. Di Romawi, kaum lelaki memiliki
hak mutlak terhadap keluarganya. Ia bebas melakukan apa saja bahkan membunuh
istri dalam keadaan tertentu.
Seorang perempuan yang
melakukan kesalahan di peradaban Persia bisa dijatuhi hukuman berat. Bila
mengulangi kesalahan, Kaisar tidak segan menjatuhkan hukuman mati. Sebelas-dua
belas, peradaban India juga berlaku keji pada kaum hawa. Seorang janda dibakar
hidup-hidup bersama mayat suaminya sebagai wujud kesetiaan.
Taurat Yahudi
menyebutkan, "Perempuan lebih pahit dari kematian, dia tidak akan sampai
pada kesempurnaan.” Akibatnya perempuan dianggap rendah dan diperjualbelikan.
Adapun perlakuan buruk agama Nasrani pada perempuan bersumber dari kitab
sucinya sendiri:
"Aku ingin supaya
kamu hidup tanpa kekhawatiran. Orang yang tidak beristri memusatkan
perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang
beristri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat
menyenangkan istrinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan
yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada
perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang
bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat
menyenangkan suaminya." (I Korintus 7:32-34).
Teks ini menjadi dalil
bagi tokoh-tokoh gereja memandang rendah dan menjauhi pernikahan. Perempuan
dianggap sebagai penyebab disalib dan dibunuhnya anak Tuhan, penyebab umat
manusia diusir dari surga, dan penyebab seluruh kesusahan umat manusia.
Bagaimana dengan Arab?
Membunuh anak perempuan merupakan budaya jahiliah, keberadaan anak laki-laki
lebih membanggakan karena fisik yang kuat. Belum lagi kebiasaan hina berbagi
istri untuk dinikmati laki-laki lain.
Islam hadir sebagai
rahmat bagi seluruh alam. Masyarakat Islam berdiri di atas tauhid, meyakini
keberadaan Allah sebagai Pencipta untuk mengatur kehidupan, termasuk mengatur
perempuan tanpa mengabaikan lelaki. Tidak lain bertujuan memberi keadilan dan
kemuliaan hakiki bagi keduanya.
Perempuan dalam Islam
bukan makhluk nomor dua apalagi sumber segala dosa. Islam memandang perempuan
sebagai saudara kandungnya lelaki, kedudukan mereka sama di hadapan Pencipta,
hanya takwa yang menjadi pembeda.
Sebagai manusia,
banyak aturan yang serupa antara mereka, seperti shalat, haji, menuntut ilmu
dan lain-lain. Dalam perbedaan fisik, Islam sangat memahaminya sehingga
lahirlah aturan berbeda antara mereka. Perbedaan ini bukan diskriminasi, namun
menyamaratakan atau bertukar peran antara laki dan perempuan hampir mustahil
dilakukan. Bila dipaksakan, hanya membuat ketimpangan dan kekacauan.
Posisi sebagai ibu dan
manajer di rumah adalah posisi yang bergengsi di dalam Islam. Di tangan
perempuan terletak tahap awal membangun suatu peradaban. Andil langsungnya
adalah dengan menjalani peran sebagai aktor peradaban. Kita dapat berkaca pada
istri-istri Nabi Muhammad SAW maupun para shahabiyah. Mereka adalah aktor
pembangun peradaban Islam, mereka tekun mengikuti kajian dan didikan Nabi SAW
sehingga menjadi perempuan yang berani, cerdas dan rela berkorban di jalan
dakwah.
Andil tidak langsung
tak kalah pentingnya yaitu bertanggung jawab penuh dalam menjalankan peran
sebagai istri atau ibu. Di balik besarnya sosok Bukhari dipastikan ada seorang
istri yang luar biasa. Saat mengembara mengumpulkan hadits, tidak merasa khawatir
meninggalkan anak-anaknya bersama sang bunda, tidak khawatirakan kenakalan
anak-anak.
Begitu pula di balik
kebesaran sosok ulama dipastikan ada seorang ibu yang luar biasa. Barangkali
Imam Syafi'i, si anak yatim akan hidup mengemis di pinggir jalan karena
kemiskinan keluarganya. Tapi ia memiliki seorang ibu tangguh yang memenuhi
rongga tubuhnya dengan ilmu. Hingga ia menjadi sosok ulama besar.
Kemuliaan martabat
perempuan di masa depan hanya bisa kita sematkan pada Islam. Peradaban Islam
terbukti gemilang mengeluarkan manusia dari peradaban jahiliah menuju peradaban
mulia. Inilah yang wajib kita perjuangkan: khilafah IsIam.[]
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 217