Kampus itu semestinya
berfungsi sebagai tempat untuk menumbuhkan intelektualitas bukan kerdilitas.
Tentu sebuah kekerdilan berpikir ketika kampus diseret menjadi alat untuk
mempersekusi mereka yang memiliki pendapat syar’i yang berbeda dengan petinggi
kampus.
Apa yang dilakukan
oleh Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Yudian
Wahyudi, sangat mengusik dunia akademisi. Seperti yang diberitakan di media
massa, Yudian berencana melarang penggunaan cadar di kampusnya dalam rangka
mencegah radikalisme dan fundamentalisme.
Ada 42 mahasiswinya
yang memakai cadar telah dikumpulkan dan diminta mencabut cadarnya tersebut.
Meski terakhir dikabarkan bahwa Yudian terpaksa akan menunda rencana tersebut
akibat tekanan publik Muslim yang sangat kuat.
Tidak selesai di situ,
Yudian juga menuding miring konsep ajaran Islam lainnya yakni khilafah. Itu
dilakukan ketika dirinya menjadi saksi ahli yang ditunjuk pemerintah dalam
sidang gugatan HTI atas pencabutan SK Badan Hukum Perkumpulannya pada Kamis
(8/3/2018) di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Intinya, Yudian menuding
bahwa khilafah itu bukan ajaran Islam.
Seorang akademisi
sudah semestinya mengedepankan disinterestedness
dan objektivitas dalam bersikap. Bentuk objektivitas itu di antaranya adalah
didukung oleh data yang valid atau dalil yang shahih.
Karenanya sikap Yudian terhadap cadar dan khilafah itu penting untuk dikritisi
karena ada indikasi ketidakobjektifan dan mengkriminaliasasi ajaran Islam.
Pertama,
mengaitkan cadar dengan terorisme dan radikalisme adalah sekadar bentuk framing yang dibangun dari logika kebencian.
Tentu sangat naif kalau kemudian disimpulkan bahwa cadaritu identik dengan
terorisme yang berujung pada pelarangan penggunaan cadar di kampus, hanya
karena ada seorang pelaku terorisme yang menggunakan cadar ketika melakukan
aksinya.
Itu mirip dengan
melarang menggunakan baju batik di kampus gara-gara ada seorang pelaku korupsi
yang biasa pakai baju batik. Atau melarang mahasiswa membawa tas ransel ke
kampus karena ada pelaku terorisme yang memakai tas ransel ketika melakukan
aksi terornya. Atau melarang mahasiswa memakai sepatu di dalam kampus karena
ternyata pelaku penembakan di sebuah sekolah di Amerika Serikat menggunakan
sepatu. Logika seperti itu tentu tidak sekadar keliru tapi juga memalukan.
Tidak ada satupun ulama mu'tabar yang melarang cadar.
Kedua,
khilafah merupakan ajaran Islam yang bukan istilah asing lagi dalam khasanah
keilmuwan Islam. Menurut cendekiawan Muslim Dr. Mahmud al-Khalidi (Qawa'id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 226),
khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk
menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Kewajiban menegakkan
khilafah telah menjadi ijmak para ulama ahlu
as-sunnah wal jama'ah, khususnya imam mazhab yang empat, yakni Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Hal ini sebagaimana
ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, 5/416.
Hal senada juga
ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa para ulama telah sepakat
tentang wajibnya mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah
berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal (Fath
al-Bari, 12/205).
Jadi sikap
mengkriminalisasi dan mempersekusi cadar dan khilafah itu adalah indikasi
terjangkitnya virus islamophobia. Faktanya, tidak ada yang bahaya dari ajaran
Islam, termasuk syariah khilafah, karena Islam adalah rahmat bagi semesta alam.
Itu bisa ditelusuri dari rekam jejak peradaban islam yang eksis memimpin dunia
selama 14 abad.
Bahaya yang
sesungguhnya justru datang dari para kelompok liberal dan islamophobia itu.
Karena merekalah yang mempropagandakan kehidupan sekuler yang ingin
menyingkirkan Islam dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Wallaahua'lam bi ash-shawaab.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 216