Oleh: Dr. M. Kusman
Sadik
Ibarat tubuh manusia,
utang itu laksana kanker yang dapat menggerogoti daya tahan suatu negara.
Apalagi jika utang tersebut disertai riba, yang Al-Qur’an menggambarkannya
seperti orang mabuk yang sempoyongan akibat jeratan riba tersebut.
Ini bukan hoax,
Indonesia terbelit utang yang jeratannya makin parah sejak dari tahun 2015
hingga saat ini. Pada tahun 2015 utang luar negeri Indonesia sudah mencapai
Rp3.165 triliun. Kini, sesuai data yang dirilis Bank Indonesia (BI), utang luar
negeri Indonesia pada akhir Januari 2018 lalu telah meningkat 10,3 persen (yoy) menjadi 357,5 miliar dolar AS atau
sekitar Rp4.915 triliun (kurs Rp13.750 per dolar AS).
Tumpukan utang sebesar
itu tentu merupakan masalah serius, apalagi trennya yang terus menaik dari
tahun 2015. Artinya selama tiga tahun terakhir Indonesia tidak hanya tidak
mampu menurunkan volume utangnya tetapi bahkan terus menambahnya dengan utang
baru. Ada beberapa hal yang patut digarisbawahi terkait menumpuknya utang
tersebut.
Pertama,
penambahan utang tersebut memang sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah
sendiri. Sebagaimana diketahui utang tersebut digunakan untuk mengejar
pembangunan infrastruktur yang menjadi target utama pembangunan pemerintah.
Mungkin saja pembangunan infrastruktur itu dipilih sebagai prioritas karena
termasuk hal yang mudah dilihat fisiknya. Sehingga diharapkan mampu
menggambarkan 'keberhasilan‘ pembangunan. Padahal sesungguhnya menyimpan
masalah besar karena pembiayaannya berasal dari utang.
Apalagi dalam jangka
pendek hingga jangka menengah, pembangunan infrastruktur itu tidak akan banyak
berpengaruh pada sektor pertanian, perikanan, dan industri kecil. Padahal
sektor tersebut merupakan bagian fundamental ekonomi Indonesia, karena sebagian
besar perekonomian masyarakat bergerak di situ. Sektor yang terkena dampak
positif hanya sektor yang secara langsung terkait dengan infrastruktur. Seperti
sektor industri semen, besi, baja, dan sejenisnya yang umumnya dimiliki oleh
para elite pengusaha raksasa dan BUMN.
Kedua,
pada saat pembangunan secara besar-besaran infrastruktur yang dananya berasal
dari utang tersebut, Indonesia justru mengimpor beras 500.000 ton dari Vietnam
dan Thailand. Hingga pertengahan Maret 2018 sudah terlaksana impor tersebut
sebanyak 261.000 ton dan sisanya akan dilakukan bertahap hingga bulan Juni
mendatang.
Tidak hanya beras,
garam pun juga diimpor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pada
Januari 2018 garam impor yang masuk ke Indonesia sebesar 131.957 ton dengan
nilai USD 3,88 juta. Sementara pada Februari 2018, Indonesia mengimpor garam
sebanyak 167.261 ton dengan nilai USD 5,61 juta.
Menurut Kementerian
Perindustrian, total impor garam selama tahun 2018 ini akan mencapai 3.7 juta
ton. Bahkan telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 yang
menjadi payung legalitas untuk mengimpor garam tersebut.
Semua kebijakan di
atas menjadi sangat ganjil ketika diklaim untuk menyejahterakan masyarakat.
Pada satu sisi utang terus menumpuk untuk infrastruktur, sementara sektor
fundamental ekonomi masyarakat seperti pertanian dan kelautan justru diabaikan.
Impor beras dan impor garam tersebut tidak berpihak terhadap kedaulatan,
keberlanjutan dan kesejahteraan petani dan petambak garam. Kebijakan itu justru
sebenarnya lebih berpihak pada keuntungan segelintir elit pengusaha besar yang
ber gerak disektor perdagangan dan impor.
Hal itu sebenarnya
menunjukkan fakta kebijakan neoliberal di negeri ini. Sebuah kebijakan yang
cenderung menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan. Utang hanya memperkuat
negara pemberi utang, sementara negara pengutang akan dijerat hingga lemas
tidak berdaya.
Apalagi dana utang
digunakan untuk membiayai proyek yang tidak bersentuhan langsung dengan
fundamental ekonomi masyarakat! Ditambah lagi dengan impor pangan yang dapat
mematikan para petani di negeri ini. Karenanya, tidak ada yang bisa diharapkan
dari kebijakan neo-liberal semacam itu kecuali kesengsaraan satu, kesengsaraan
dua, kesengsaraan tiga, dan seterusnya. Wallaahua'lam
bi ash-shawaab.[]
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 217