Siang kemarin. Jumat,
12 Oktober 2018. Saya membesuk anak seorang ustadz. Beliau adalah salah satu
jamaah Majlis Darul Ma'arif. Putra beliau mengalami kecelakaan tunggal usai
melaksanakan sholat subuh berjamaah di salah satu masjid besar. Kecelakaan tersebut
menyebabkan memar di bagian wajah, mata bengkak dan sedikit pendarahan di otak.
Semoga Allah jaga dia, segera sembuhkan dan normal seperti sedia kala. Aamiin
Ustadz ini lalu
bercerita bahwa beliau sudah mencoba mengurus biaya perawatannya puteranya di
BPJS. Ternyata pihak BPJS mensyaratkan surat keterangan dari pihak kepolisian.
Beliau lalu menuju Polres Banjarmasin. Pihak kepolisian menerangkan "Pak
kalau cuma surat keterangan kecelakaan itu mudah. Bapak tunggu sbentar juga
jadi. Tapi bapak bakal kembali lagi kesini. Yang dimaksud BPJS adalah surat
laporan dari kepolisian. Untuk mendapatkan laporan itu harus ada olah TKP,
saksi-saksi dihadirkan. Termasuk nanti jika anak bapak sudah sembuh akan
dimintai keterangan." Maa syaa Allah, ribet sekali. Sekedar mendapatkan
hak seorang ASN yang tiap bulan dipotong gajinya, sesulit inikah?. Inikah
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijanjikan pemerintah?.
Ustadz yang juga imam
tetap di salah satu masjid di Banjarmasin ini melanjutkan ceritanya. Di malam
hari usai sholat tahajud, beliau mengalami pengalaman batin. Ada suara yang
jelas beliau dengar berkata: "Hei, apakah tuhanmu BPJS?. Apakah tanpa BPJS
anakmu tidak akan sembuh?". Beliau menceritakan pengalamannya dengan suara
berat dan menahan tangis. Meski tetap terlihat mata beliau berkaca-kaca. Saat
ini seluruh biaya perawatan putera beliau di tanggung sendiri.
Setelah hening sesaat,
saya menanggapi. "Ustadz dulu ada jamaah bertanya tentang hukum asuransi.
Saya jawab hukum asal asuransi adalah haram karena akadnya batil. Mengapa
batil?. Karena objek akadnya tidak ada. Janji menanggung resiko bukanlah objek
akad. Karena resikonya tidak jelas (gharar) dan memang tidak ada. Objek akad
dalam mu'amalah hanya berkisar pada barang atau jasa. Sementara janji jelas
tidak termasuk dalam jasa, apalagi barang." Jama'ah lalu bertanya: Lantas
apa solusinya?. Saya jawab (1). Tawakkal 'alaLlah. Dia yang Maha Menyembuhkan,
Ia yang Maha menyelesaikan masalah, termasuk Maha melapangkan rizki hamba-Nya
yang bertakwa. (2). Kesehatan semestinya menjadi tanggung jawab negara. Setiap
warga tanpa memandang agama dan kondisi ekonominya mendapat layanan kesehatan
secara cuma-cuma dengan layanan yang prima. Itulah yang dicontohkan baginda
Nabi saw dan diikuti para khalifah sesudahnya. Jama'ah itu kemudian menyela:
"Itu masalahnya, kita tidak punya negara yang seperti itu". Saya
jawab kita memang belum punya karena ditentang dan dihalangi oleh negara-negara
penjajah. Dan anehnya sebagian umat Islam ikut menghalangi. Ini kan aneh. Aneh
ora son?
Tapi saatnya tetap
akan tiba. Sebagaimana terbitnya matahari yang tak dapat dihadang oleh siapa
pun. Wallahu a'lam
MDM, 13 Oktober 2018
Wahyudi Ibnu Yusuf