Page

Boleh Menggunakan Handuk Menyeka Basah Air Wudhu



Masalah (Perkara) Ketiga

Seorang yang berwudhu boleh menggunakan handuk untuk menyeka air setelah selesai berwudhu, tetapi boleh juga tidak menyekanya. Hal ini diriwayatkan dari alaHasan bin Ali, Anas, Utsman, Malik, at-Tsauri dan selainnya. Dalil kebolehan menyeka air adalah hadits yang diriwayatkan Qais bin Saad, dia berkata:

“Rasulullah Saw. mengunjungi kami di rumah kami... kemudian Saad memerintahkannya untuk mempersiapkan air untuk mandi. Lalu dibawakanlah air untuk mandi beliau Saw. beliau Saw. pun mandi. Kemudian Saad memberikan -atau Qais berkata- mereka memberikan selembar selimut yang telah dilumuri dengan kunyit dan waras kepada beliau Saw. Lalu beliau Saw. menggunakannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Salman al-Farisi:

“Bahwasanya Rasulullah Saw. berwudhu, lalu beliau membalik jubah wol yang dipakainya, kemudian mengusap wajahnya dengannya.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad shahih)

Juga dari Aisyah ra.:

“Bahwasanya Nabi Saw. memiliki kain yang digunakan untuk menyeka air setelah berwudhu.” (HR. al-Hakim)

Dalil bolehnya tidak menyeka air adalah hadits Maimunah ra. Beliau menceritakan cara mandi Rasulullah Saw., dia berkata:

“Kemudian beliau Saw. diberi kain handuk, tetapi beliau Saw. tidak mengeringkan badannya dengan handuk tersebut.” (HR. Bukhari)

Dalam lafadz kedua dari Bukhari disebutkan:

“Lalu aku memberikan kain padanya, kemudian beliau Saw. memberikan isyarat dengan tangannya seperti ini. Beliau Saw. tidak menghendakinya.”

Dan dalam lafadz ketiga dari Bukhari disebutkan:

“Kemdian aku menyodorkan kain pengering padanya, tetapi beliau Saw. tidak mengambilnya. Lalu beliau Saw. pergi sambil mengeringkan air dari badannya dengan tangannya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dengan lafadz:

“Kemudian aku membawakan kain handuk untuk beliau Saw., tetapi beliau Saw. menolaknya.”

Muslim juga meriwayatkan hadits ini dari Maimunah ra.:

“Bahwasanya Nabi Saw. disodori kain handuk, tetapi beliau Saw. tidak menyentuhnya. Beliau Saw. malah memperlakukan air seperti ini, yakni membersihkannya/mengeringkannya (dengan tangan).”

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Boleh meminta bantuan dalam melakukan wudhu



Masalah (Perkara) Kedua

Seorang Muslim boleh meminta bantuan orang lain dalam berwudhu, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Mughirah bin Syu’bah, dia berkata:

“Ketika aku bersama Rasulullah Saw. pada suatu malam, tiba-tiba beliau Saw. turun lalu buang hajat. Kemudian beliau Saw. datang, maka aku pun menuangkan air dari kantong kulit yang ada bersamaku untuk beliau. Lalu beliau Saw. berwudhu dan mengusap dua khuffnya.” (HR. Muslim dan Bukhari)

Hadits ini merupakan bantahan bagi orang yang memakruhkan meminta bantuan orang lain dalam berwudhu, seperti al-Ghazali dan ulama lainnya dari kalangan as-Syafi’iyah, di mana mereka mengambil kesimpulan makruhnya hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan al-Bazzar dan Abu Ya’la dari Umar ra. bahwasanya dia berkata;

“Aku melihat Rasulullah Saw. meminta mengambil air untuk berwudhu. Lalu aku berkata: Bolehkan aku membantumu mengambilkannya? Beliau Saw. berkata: “Aku tidak suka ada seseorang yang membantuku mengambilkan air wudhuku.”
Ini merupakan hadits batil yang tidak ada pangkalnya, ujar an-Nawawi.

Hadits ini berasal dari jalur an-Nadhr bin Manshur, dari Abu al-Janub. Abu al-Janub dan an-Nadhr ini dhaif, sehingga hadits keduanya tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
Utsman ad-Darimi berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Ma'in: Apakah engkau mengetahui an-Nadhr bin Manshur, dari Abu al-Janub, dan darinya dari Ibnu Abi Ma'syar? Maka Ibnu Ma'in berkata: Mereka adalah penyebar fitnah.
Dengan demikian, hadits mereka ini batil sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah dan tidak layak diamalkan, terlebih lagi ketika harus berhadapan dengan hadits dua Syaikh (Bukhari dan Muslim).

Mereka beristidlal juga dengan hadits Ibnu Abbas, dia berkata:

“Rasulullah Saw. tidak mewakilkan bersucinya pada seseorang.” (HR. Ibnu Majah)
Tetapi sayang hadits ini dhaif, karena di dalamnya ada Muthahhar bin al-Haitsam, dia perawi yang dhaif.

Hadits seperti ini dan hadits sebelumnya tidak layak sama sekali digunakan sebagai dalil untuk memakruhkan meminta orang lain dalam berwudhu. Telah terbukti bahwa beliau Saw. meminta tolong pada Usamah bin Zaid dan Rubayyi, binti Mu’awwidz, serta Shafwan bin Assal untuk mengucurkan air, selain hadits shahih dari al-Mughirah yang kami sebutkan di atas.
Ini semua sudah cukup untuk membuktikan bolehnya meminta bantuan orang lain dalam berwudhu.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sunah Melakukan Wudhu Untuk Setiap Shalat Ketika Belum Batal



Beberapa Masalah

Masalah (Perkara) Pertama

Seorang Muslim itu disunahkan untuk berwudhu untuk setiap shalat sebagaimana disunahkan pula untuk tidak terlewatkan satu waktu tanpa wudhu (terus-menerus memiliki wudhu-pen.). Inilah yang dilakukan Rasulullah Saw. Buraidah meriwayatkan:

“Bahwasanya Nabi Saw. melakukan beberapa shalat pada hari penaklukan dengan satu kali wudhu dan mengusap dua khuffnya, maka Umar berkata padanya: Hari ini engkau melakukan sesuatu yang sebelumnya belum pernah engkau lakukan? Beliau Saw. menjawab: “Aku melakukannya secara sengaja wahai Umar.” (HR. Muslim)

Sebelumnya kami telah menyebutkan hadits ini, sekaligus dengan aspek istidlal dalam pembahasan tartib.

Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Nabi Saw. biasanya berwudhu untuk setiap kali shalat, tetapi ketika hari penaklukan beliau berwudhu dan mengusap kedua khuffnya, lalu melaksanakan beberapa kali shalat dengan satu kali wudhu. Maka Umar bertanya pada beliau Saw.: Wahai Rasulullah, sungguh engkau melakukan sesuatu yang tidak engkau lakukan sebelumnya. Nabi Saw. berkata: “Aku melakukannya secara sengaja wahai Umar.”

Dari Anas, dia berkata:

“Nabi Saw. suka berwudhu untuk setiap kali shalat, lalu aku bertanya: Bagaimana dengan yang kalian lakukan? Anas menjawab: Wudhu itu sudah dipandang cukup bagi seseorang dari kami selama dia belum berhadats.” (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan an-Nasai)

Dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Seandainya tidak akan menyusahkan umatku, niscaya aku memerintahkan kepada mereka untuk berwudhu setiap kali hendak shalat, atau untuk bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih)

Ibnu Hibban telah meriwayatkan dari Aisyah ra. bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

“Seandainya tidak akan menyusahkan umatku, niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak bersamaan dengan wudhu (yang dilakukannya) pada setiap kali shalat.”

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Shalat Sunah Dua Rakaat Setelah Wudhu



Shalat Dua Rakaat Setelah Selesai Berwudhu

Seseorang yang berwudhu disunahkan untuk shalat dua rakaat setelah selesai wudhunya. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Utsman bin Affan ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku itu, kemudian dia shalat dua rakaat, dia tidak berbicara saat melakukan keduanya, maka diampunilah dosa yang telah dilakukannya.” (HR. Muslim, Bukhari dan Abu Dawud)

Hadits ini telah kami sebutkan secara lengkap dalam pembahasan tartib.

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah:

“Bahwasanya Nabi Saw. berkata kepada Bilal saat shalat fajar: “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku amalan paling utama yang engkau lakukan dalam Islam, karena aku mendengar suara terompahmu di hadapanku di Surga?” Bilal berkata: Tidak ada amal utama yang aku amalkan kecuali bahwa jika aku bersuci pada suatu saat di siang atau malam, melainkan aku selalu shalat dengan wudhu tersebut di samping shalat wajib.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan Uqbah bin Amir ra., dia berkata:

“Lalu aku mendapati Rasulullah sedang berdiri berbicara kepada orang-orang. Ucapan beliau Saw. yang aku ingat adalah: “Tidaklah seorang Muslim berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian mendirikan shalat dua rakaat dengan menghadapkan hatinya dan wajahnya, kecuali Surga wajib diperuntukkan baginya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan an-Nasai)

Tiga hadits shahih ini mensunahkan shalat dua rakaat setelah selesai berwudhu. Dua rakaat shalat sunat tersebut bisa mendatangkan ampunan dan memasukkan pelakunya ke dalam Surga.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Do’a Setelah Wudhu


Berdoa Setelah Selesai Berwudhu

Seseorang yang telah selesai melakukan wudhu disunahkan untuk mengucapkan:
“Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, Tuhan yang satu, bagi-Nya tidak ada sekutu. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat, dan jadikanlah aku orang-orang yang bersih suci. Maha Suci Engkau wahai Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Engkau. Aku memohon ampunan kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”

Dari Umar bin Khaththab ra. dari Rasulullah Saw., beliau Saw. bersabda:


“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu lalu membaguskan atau menyempurnakan wudhunya, kemudian dia berdoa: “Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan Allah,” melainkan pintu Surga yang delapan akan dibukakan untuknya. Dia bisa masuk dari pintu manapun yang dia suka.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Dari Uqbah bin Amir al-Juhaniy:


“Bahwasanya Rasulullah Saw. berkata, lalu dia menceritakan hadits semisalnya, hanya saja dia menyabutkan: “Barangsiapa yang berwudhu lalu mengucapkan aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, Tuhan yang satu, bagi-Nya tidak ada sekutu, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi, al-Bazzar, dan at-Thabrani dengan tambahan:


“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat, dan jadikanlah aku orang-orang yang bersih suci.”

Adapun hadits yang diriwayatkan at-Thabrani dalam kitab ad-Du’a, dan an-Nasai dalam kitab ‘Amal al-Yaum wal Lailah, dan al-Hakim dari Abu Said al-Khudri ra. dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang ketika hendak berwudhu mengucapkan bismillah, dan ketika selesai wudhu mengucapkan, “Maha Suci Engkau wahai Allah dan segala puji bagi-Mu, aku bersaksi tidak ada tuhan selain Engkau, aku memohon ampunan kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu,” maka kalimat itu akan ditempa dalam suatu cetakan, kemudian ditempatkan di bawah Arsy dan tidak akan pecah hingga Hari Kiamat.”

Hadits ini shahih ketika dipandang sebagai hadits mauquf, tetapi diperselisihkan keabsahannya ketika dipandang sebagai hadits marfu' yang sampai pada Rasulullah Saw. Hal ini karena an-Nasai menshahihkan hadits yang mauquf ini saja, sedangkan al-Hazimi mendhaifkan riwayat yang marfu'.
Sedangkan al-Hakim menyatakan: hadits ini shahih sesuai syarat Muslim, tetapi beliau tidak meriwayatkannya.
Sedangkan Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan: “Hadits yang marfu’ ini bisa jadi akan didhaifkan karena ada perselisihan dan keganjilan, sedangkan yang mauqufnya tidak diragukan lagi keshahihannya. Para perawinya adalah para perawi hadits Shahihain sehingga tidak bisa didhaifkan.”
Menurut hemat saya, hadits ini -yakni hadits yang marfu'- layak digunakan sebagai dalil. Sebab, Yahya bin Katsir yang memarfu’kan hadits ini adalah termasuk perawi hadits Shahihain, dan tambahan dari seorang tsiqah itu bisa diterima. Kemudian, ucapan yang disebutkan dalam hadits ini tidak mungkin berasal dari pendapatnya, sehingga dihukumi sebagai sesuatu yang marfu'.

Inilah nash-nash yang layak untuk dikutip dan dijadikan sebagai hujjah, termasuk juga nash-nash yang tidak layak jadi hujjah dan tidak patut diperhatikan dalam pembahasan berdo’a setelah selesai berwudhu. Misalnya adalah do’a yang diucapkan sebagian ulama penganut madzhab Syafi’iyah dan Hanafiyah ketika membasuh setiap anggota wudhu. Ketika membasuh wajah, mereka mengucapkan:

“Ya Allah, jadikanlah wajahku bercahaya.... dan seterusnya.”

Dalam kitab ar-Raudhah, an-Nawawi menyatakan: Doa seperti ini tidak ada dasarnya.
Ibnu Shalah menyatakan: Tidak ada satu hadits pun yang shahih dalam persoalan tersebut.
Ibnu Hajar menyatakan: Do’a seperti itu diriwayatkan dari Ali dengan jalur yang sangat dhaif. Dia juga menyatakan: Dalam rangkaian sanadnya ada orang yang tidak dikenal.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menyatakan: “Tidak diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau Saw. mengucapkan sesuatu saat berwudhu selain basmalah. Setiap hadits tentang doa-doa dalam wudhu yang seringkali dilafalkan jelas merupakan dusta dan dibuat-dibuat, yang tidak pernah diucapkan sama sekali oleh Rasulullah Saw. serta tidak diajarkan olehnya pada umatnya. Tidak terbukti kebenaran riwayat darinya selain dalam menyebut nama Allah (basmalah) di permulaan wudhu, dan doa “aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, Zat yang Esa yang tidak bersekutu, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang suka mensucikan diri,” yang dilafalkan setelah berwudhu.”
Nampak jelas bahwa hadits at-Thabrani yang terakhir di atas adalah hadits yang tidak shahih bagi Ibnul Qayyim, sehingga dia membuat pernyataan seperti itu.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sunah Mendahulukan yang Kanan (at-Tayamun) Dalam Wudhu



14. Mendahulukan yang Kanan (at-Tayammun)

Maksudnya adalah ketika berwudhu hendaknya membasuh tangan kanan sebelum tangan kiri dan membasuh kaki kanan sebelum kaki kiri.

Tayamun tidak dilakukan selain dalam membasuh kedua tangan dan kedua kaki, tidak ada bagian kanan dan bagian kiri dalam membasuh wajah dan mengusap kepala.
Tayamun itu sunah, bukan wajib, dan pendapat ini disepakati oleh para ulama.
An-Nawawi berkata: Para ulama bersepakat bahwa mendahulukan yang kanan dalam berwudhu itu sunah hukumnya, orang yang tidak mendahulukan yang kanan tidak mendapatkan keutamaan tayamun walaupun wudhunya tetap sah.
Ibnu Hajar memberi catatan atas pernyataan tersebut dengan mengatakan: Maksudnya adalah ulama dari kalangan Ahlus Sunnah, sebab menurut orang Syiah hukum tayamun itu wajib.
Ibnu Qudamah menyatakan dalam kitab al-Mughni: Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat terkait hukum tidak wajibnya tayamun.
Beberapa nash berikut menyinggung persoalan tayamun (mendahulukan yang kanan dari yang kiri)

1. Dari Aisyah ra., dia berkata:

“Nabi Saw. sangat suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, dan bersuci, dan dalam segala sesuatu yang dilakukannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tarajjul itu artinya merapikan dan menyisir rambut.

2. Ahmad meriwayatkan hadits di atas dengan lafadz:

“Bahwasanya Nabi Saw. sangat suka mendahulukan yang kanan dalam berwudhu, menyisir rambut, memakai sandal.”

Hadits ini diriwayatkan dan dishahihkan oleh Ibnu Manduh.

3. Dari Abu Hurairah ra. dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika kalian berwudhu maka awalilah dengan bagian kanan kalian.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Daqiq al-Ied dan Ibnu Abdil Barr.

Tiga hadits ini seluruhnya adalah hadits shahih yang layak digunakan sebagai hujjah dalam persoalan ini.
Kalimat:

“Nabi Saw. sangat suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, dan bersuci yang dilakukannya.”

Jelas mengandung arti perkara tersebut disunahkan, dengan qarinah lafadz yu’jibu (sangat menyukai). Seandainya tayamun (mendahulukan yang kanan) itu hukumnya wajib, niscaya lafadznya tidak akan berbunyi seperti itu.
Sedangkan lafadz thahurihi (bersuci yang dilakukannya) mencakup mandi dan wudhu, karena keduanya merupakan cara bersuci. Lafadz yang paling jelas terdapat dalam hadits kedua:

“(Nabi Saw.) sangat suka mendahulukan yang kanan dalam berwudhu.”

Ini merupakan manthuq hadits yang secara literal tertuju pada wudhu, dan tayamun itu hukumnya sunah berdasarkan qarinah lafadz kaana yuhibbu (sangat menyukai), dan berdasarkan qarinah yang ada dalam hadits sebelumnya, yakni lafadz yu'jibu (menyukai).

Adapun hadits ketiga:

“Jika kalian berwudhu maka awalilah dengan bagian kanan kalian.”

Merupakan perintah dari Rasulullah Saw. untuk memulakan yang kanan ketika berwudhu, dan perintah ini mengandung arti sunah berdasarkan qarinah dua hadits sebelumnya.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Wajib Niat Untuk Wudhu



1. Niat

Makna niat adalah al-qashdu (maksud). Dikatakan: nawaa fulaanun as-safara artinya qashadahu (si fulan bermaksud melakukan perjalanan). Niat itu merupakan salah satu syarat bersuci dari seluruh hadats, sehingga wudhu dan mandi tidak dipandang sah kecuali dengan niat. Di antara mereka yang mewajibkan niat adalah Ali, Rabi’ah, Malik, as-Syafi'i, al-Laits, Ishaq, Ibnul Mundzir, Ahmad, dan Ibnu Qudamah. Dalil mereka adalah hadits Umar ra.

“Sesungguhnya sahnya amal itu tergantung pada niat.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan an-Nasai)

Dalam riwayat yang lain:

“Sesungguhnya sahnya amal-amal itu tergantung pada niat.” (HR. Bukhari, Ahmad, an-Nasai dan ant-Tirmidzi)

Wudhu itu adalah amal, sehingga harus dilakukan dengan niat.

Berbeda dengan mereka yakni at-Tsauri dan ashhabur ra'yi. Dalilnya adalah firman Allah Swt.:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)

Mereka mengatakan: Ayat ini menyebutkan beberapa fardhu wudhu, tetapi tidak menyebutkan niat, seandainya niat itu disyaratkan niscaya di dalam ayat tersebut akan disebutkan.

Untuk membantah pernyataan mereka kami katakan: bahwa kewajiban niat berasal dari hadits-hadits, bukan berasal dari ayat ini. Hal seperti ini boleh dan menjadi perkara yang dimaklumi di kalangan ahli ushul. Jawaban seperti ini saja sudah cukup untuk membantah mereka.
Tempat niat itu adalah hati, tidak wajib dilafalkan, hanya wajib dihadirkan dalam hati. Seandainya seorang Muslim melafalkannya tetapi tidak menghadirkannya dalam hati, maka niatnya tidak jadi (tidak sah).
Seandainya seorang Muslim melafalkan lafadz niat tetapi keliru mengucapkan sesuatu yang berbeda dengan yang diinginkan dan dimaksudkannya, tetapi niat itu dihadirkan dalam hati, maka kekeliruan lafadz tidak merusak niat tersebut.
Dengan demikian, selama pelafalan itu tidak diperintahkan maka tidak wajib dilakukan, dan pelafalan niat yang biasa dilakukan orang-orang itu semata-mata hanya merupakan salah satu kebiasaan yang dilakukan dan ditetapi mereka sendiri tanpa ada sandaran atau dalil syar'inya. Pernyataan terkait pelafalan niat yang disampaikan sebagian fuqaha semata-mata dimaksudkan untuk membantu hati menghadirkan niat, itu saja.

Gambaran atau sifat niat wudhu adalah bermaksud melakukan wudhu syar'i, atau bermaksud menghilangkan hadats kecil, atau bermaksud bersuci untuk melegalkan shalat, puasa dan menyentuh mushaf, atau bermaksud menghilangkan penghalang dari melaksanakan shalat, sehingga bentuk atau sifat niat manapun yang digunakan itu sudah dipandang cukup.
Tidak diwajibkan untuk menghimpun dua sifat atau lebih secara bersamaan untuk melakukan satu wudhu. Seandainya dia berniat dengan hatinya untuk berwudhu, atau berniat untuk menghilangkan hadats kecil, atau berniat bersuci untuk melaksanakan shalat, atau berniat menghilangkan penghalang dari shalat, maka itu sudah cukup baginya.

Disyaratkan agar niat senantiasa menyertai diri seseorang sepanjang melaksanakan aktivitas wudhu. Tetapi ini bukan berarti bahwa niat tersebut harus terus-menerus teringat dalam benak, melainkan dia tidak boleh memutuskan niat ketika melakukan wudhu. Seandainya di awal dia berniat berwudhu untuk melegalkan shalat, lalu ketika membasuh anggota wudhunya, dia merubah niatnya menjadi mandi untuk menyegarkan dan membersihkan diri, maka wudhunya itu menjadi batal, karena itu sama dengan memutuskan niat. Tetapi jika dia tidak memutuskan niat, maka niatnya itu dipandang terus ada sepanjang amal yang dilakukannya.

Waktu niat itu adalah sebelum memulai wudhu, walaupun sesaat. Jika seseorang berniat sebelum melakukan sunah wudhu yang pertama, maka perkara sunah tersebut masuk ke dalam wudhu. Tetapi jika dia berniat setelah sunah wudhu yang pertama dan sebelum fardhu wudhu, maka wudhunya sah, tetapi perkara sunah yang pertama berada di luar wudhu. Perkara sunah yang dilakukan seorang Muslim sebelum berniat, dipandang sebagai amalan di luar wudhu. Sedangkan perkara sunah yang diakukan setelah niat, maka dipandang masuk ke dalam wudhu.
Tetapi ketika seseorang berniat wudhu setelah melakukan salah satu fardhu wudhu, seperti berniat wudhu setelah membasuh wajah, maka membasuh wajah itu dipandang keluar dari wudhu. Karena membasuh wajah itu merupakan salah satu fardhu wudhu, maka saat itu wudhunya menjadi batal. Dia tidak diharuskan untuk mengulang membasuh muka, melainkan diharuskan untuk mengulang wudhunya kembali dari awal. Ketika seseorang sudah membasuh wajah, lalu mau membasuh kedua tangan, tetapi dia merasa ragu apakah sudah berniat ataukah belum, maka dia harus mengulang wudhunya dari awal, karena wudhunya dipandang batal.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Pengertian Wudhu Menurut Bahasa Dan Istilah Syariat



BAB SEPULUH

WUDHU

Definisi Dan Legalitas Wudhu

a. Definisi Wudhu

Wudhu dengan mendhammahkan huruf wawu merupakan mashdar (bentuk infinitive) dari kata wadhu-a, yang artinya adalah hasuna (bagus/ baik), kata yang digunakan untuk menyebut suatu perbuatan. Wadhu dengan mem-fathah-kan huruf wawu artinya adalah air yang digunakan untuk bersuci. Ini pengertian bahasanya.
Sedangkan pengertian syara’nya adalah membasuh muka dengan air, kedua tangan hingga kedua siku, mengusap kepala dengan urutan tertentu, kedua kaki hingga kedua mata kaki, dan dilakukan secara berturut-turut (muwalat) dengan disertai niat untuk menghilangkan hadats kecil, sehingga bisa menjadikan orang yang melakukannya boleh melakukan shalat, memegang mushaf dan thawaf.

b. Legalitas wudhu

Landasan hukum wudhu adalah al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma Sahabat. Dalam al-Qur’an, Allah Swt. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)

Dalam khazanah Sunnah terdapat hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Shalat salah seorang dari kalian tidak akan diterima jika berhadats, hingga dia berwudhu.” (HR. Muslim, Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad)

Terdapat ijma di kalangan sahabat yang mewajibkan wudhu ketika hendak shalat. Tidak ada seorangpun yang menyalahi kewajiban ini, bahkan tidak ada seorang Muslimpun yang menyalahi kewajiban ini, sehingga persoalan wudhu wajib dilakukan ketika hendak shalat merupakan perkara ma’lum min ad-diin bi ad-dharurah (hukum agama yang pasti diketahui).

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Hukum Wanita Nifas Sama Dengan Haid



c. Hukum wanita nifas dengan hukum wanita haid itu sama saja, artinya sama-sama tidak suci. Dari keduanya gugurnya kewajiban shalat dan puasa, dan sama-sama haram disetubuhi, tanpa perbedaan sedikitpun. Dalam kasus ini sepanjang pengetahuan saya, tidak ada perbedaan pendapat di antara para imam. Dalilnya adalah Ijma Sahabat yang sebelumnya telah kami sebutkan.

Tirmidzi berkata:

“Ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Saw., tabi'in dan orang-orang setelah mereka bersepakat, bahwa wanita nifas itu meninggalkan shalat selama empat puluh hari, kecuali jika dia sudah suci bersih sebelum genap empat puluh hari, maka pada saat itu dia harus mandi dan shalat.”
Sehingga pendapat seperti ini menjadi Ijma Sahabat, dan Ijma Sahabat merupakan dalil syar’i.

Perbedaan pendapat hanya ada dalam masalah kifarat bagi orang yang menyetubuhi isteri di masa nifasnya. Dan pendapat yang rajih dalam masalah ini menurut kami adalah tidak adanya kewajiban kifarat, karena tidak ada nash yang mewajibkan kifarat dalam masalah ini. Nash yang ada hanya menyebutkan kifarat bagi orang yang menyetubuhi isterinya yang sedang haid, sehingga tidak mencakup wanita yang nifas. Analogi (qiyas) tidak boleh dilakukan, karena ini merupakan dua kondisi yang berbeda.

d. Perihal mandinya wanita yang nifas itu sama persis dengan mandi orang junub dan mandi wanita haid. Anjuran untuk mandi lebih bersih bagi wanita haid kami anjurkan pula bagi wanita nifas, agar dia bisa menghilangkan bekas darah. Dan hal seperti ini tidak memerlukan nash khusus, karena sudah termasuk dalam keumuman dalil-dalil yang menganjurkan kebersihan. Dalil wanita nifas itu wajib mandi adalah Ijma Sahabat. Hal ini telah kami sebutkan sebelumnya.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Wanita Mustahadhah Halal Berhubungan Suami-Isteri



3. Disetubuhi

Suami boleh menyetubuhi isterinya yang mustahadhah (mengeluarkan darah istihadhah, bukan haid) walaupun bisa jadi saat berhubungan tersebut sang isteri mengeluarkan darah. Ini adalah pendapat empat imam, yang berbeda dengan pendapat Ibnu Sirin, as-Sya’biy, an-Nakha’iy, al-Hakim, dan Ahmad (dalam satu riwayat darinya). Mereka mengatakan persetubuhan tersebut dilarang jika si suami mengkhawatirkan adanya kesusahan dan jatuh dalam bahaya/keharaman. Mereka yang mengharamkan persetubuhan tersebut berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan al-Hakim dalam kitab Ma'rifatu Ulumil Hadits dan yang diriwayatkan al-Khallal dengan sanad yang sama dari Aisyah, bahwasanya Aisyah berkata:

“Seorang wanita mustahadhah (yang mengeluarkan darah istihadhah) itu tidak boleh disetubuhi suaminya.”

Mereka mengatakan bahwa pada wanita mustahadhah itu ada kotoran atau penyakit, sehingga haram untuk disetubuhi seperti halnya wanita yang haid. Mereka menganalogikan wanita mustahadhah dengan wanita haid, karena sebab ('illat) yang sama di antara keduanya, yakni kotoran (al-adza):

“kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh.” (TQS. al-Baqarah [2]: 222)

Pendapat seperti ini jelas lemah, karena yang mereka riwayatkan dari Aisyah itu adalah qaul shahabiyah (ucapan seorang sahabat). Padahal ucapan seorang sahabat tidak bisa dijadikan dalil. Dan ketika mereka menganalogikan (qiyas) wanita mustahadhah dengan wanita haid, maka qiyas seperti itu tidak bisa dibenarkan, karena fakta haid tentunya berbeda dengan fakta istihadhah, di mana darah haid itu hitam dan berbau busuk, sedangkan darah istihadhah itu berwarna merah seperti biasa dan tidak rusak. Ini adalah perbedaan yang pertama.
Selain itu, Allah Swt. mengharamkan seorang wanita haid untuk shalat, padahal di sisi lain Allah Swt. memerintahkan wanita mustahadhah (yang mengeluarkan darah istihadhah) untuk shalat. Ini merupakan perbedaan kedua, sehingga dengan dua perbedaan ini maka tidak dibenarkan adanya qiyas atau analogi.

Kadang ditanyakan dalil bolehnya menyetubuhi wanita musthadhah, maka saya jawab bahwa hal itu tidak memerlukan dalil, karena seorang wanita mustahadhah itu adalah seorang isteri yang berhak disetubuhi. Tidak ada larangan bagi seorang suami untuk menyetubuhi isterinya, kecuali dalam kondisi haid dan nifas. Selain dua kondisi tersebut, tidak ada dalil yang melarang dan mengharamkannya. Pada prinsipnya boleh menyetubuhi isteri berdasarkan keumuman dalil, dan tidak menjadi haram kecuali dengan dalil, padahal justru di sini tidak ada dalil yang mengharamkannya. Abu Dawud telah meriwayatkan dari Ikrimah dari Hamnah binti Jahsy dengan sanad hasan:

“Bahwasanya dia dahulu suka mengeluarkan darah istihadhah ( mustahadhah), dan suaminya suka menyetubuhinya.”

Hamnah adalah isteri Thalhah bin Ubaidillah ra.

Abu Dawud juga meriwayatkan dari Ikrimah:

“Ummu Habibah dahulu suka mengeluarkan darah istihadhah, dan suaminya suka menyetubuhinya.”

Ummu Habibah ini adalah isteri Abdurrahman bin Auf, sebagaimana yang disebutkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya.

Abdurrazaq meriwayatkan dalam Mushannaf-nya pada bab al-mustahadhah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dia berkata:

“Suaminya tidak mengapa menyetubuhinya.”

Semua atsar yang diriwayatkan ini walaupun bukan dalil -karena termasuk ucapan sahabat-, tetapi bisa memuaskan akal akan kebenaran pendapat di atas.

4. Wanita mustahadhah (yang mengeluarkan darah istihadhah) itu harus shalat dan berpuasa, serta melakukan segala sesuatu yang biasa dilakukan oleh wanita suci. Dalam beberapa hadits yang telah kami sebutkan terdapat perintah untuk melaksanakan shalat dan puasa, di dalam hadits Hamnah sebelumnya juga disebutkan (Rasulullah Saw. bersabda):

“…Seperti itulah yang harus engkau lakukan, dan shalatlah serta berpuasalah…”

Padahal dalam shalat dan puasa itu disyaratkan telah suci, sementara wanita mustahadhah dituntut untuk melakukan keduanya. Maka ini menunjukkan bahwa wanita mustahadhah itu seorang yang suci seperti wanita suci lainnya, sehingga dia bisa melakukan perbuatan apapun yang biasa dilakukan wanita suci tanpa perbedaan apapun. Ini merupakan pendapat para ulama dan para imam yang tidak diperselisihkan.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Haram Mencerai Istri Saat Haid


3. Seorang suami haram menceraikan isterinya pada masa haidnya, dengan dalil hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar:

“Bahwasanya dia menceraikan isterinya yang sedang haid, lalu Umar menceritakan hal itu kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. berkata: “Perintahkanlah dia untuk merujuk isterinya kembali, kemudian ceraikanlah dia dalam keadaan suci atau hamil.” (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)

Dan dalam riwayat yang kedua bahwasanya Abdullah bin Umar berkata:

“Aku menceraikan isteriku, padahal dia sedang haid. Lalu Umar menceritakan hal itu kepada Nabi Saw. Nabi Saw. marah, seraya berkata: Perintahkan dia untuk merujuk kembali isterinya, hingga dia haid untuk kedua kalinya. Yakni haid berikutnya yang bukan haid yang dialaminya saat dia diceraikan suaminya. Jika telah jelas dan dia ingin menceraikannya maka ceraikanlah isterinya itu saat sedang suci dari haidnya sebelum ia menggaulinya. Itulah maksud 'iddah dari talak yang diperintahkan Allah Swt. Abdullah bin Umar mentalak satu isterinya itu, dan itu dihitung sebagai talaknya.” (HR. Muslim)

Bukhari, Ahmad, an-Nasai dan Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dengan redaksi kalimat yang hampir sama.

Menceraikan isteri yang sedang haid disebut thalaq bid'ah, dan hal sebaliknya disebut thalaq sunah, yakni fakta yang sesuai dengan sudut pandang syariat di mana seorang suami menceraikan isterinya dalam keadaan suci dan dia tidak menyetubuhinya saat itu.
Sedangkan thalaq bid'ah selain hukumnya haram, juga tidak jadi (tidak sah) menurut ad-Dzahiriyah, Ibnu ‘Aqil, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Abu Qulabah, Thawus, Said bin al-Musayyab sebagai syaikhnya para tabi'in. Dan pandangan inilah yang saya pegang, dan dipandang jadi (sah) menurut jumhur imam dan fuqaha.
Di sini kami tidak akan terlalu berpanjang lebar membahas hukum-hukum talak, karena bab talak berbeda dengan bab thaharah. Kami hanya ingin menyebutkan sebagian hukumnya saja.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Wanita Haid Dilarang Berdiam Di Masjid



Hukum-Hukum Wanita Haid

Terhadap wanita haid berlaku seluruh hukum orang junub yang sebelumnya telah kami jelaskan. Yang berbeda hanyalah dalam masalah shaum (berpuasa), persetubuhan, dan talak.
Ketika orang junub memasuki waktu pagi dalam keadaan berpuasa, maka dia bisa melanjutkan puasanya, sedangkan wanita haid tidak melanjutkan puasanya.
Orang yang junub, baik lelaki ataupun wanita boleh bersetubuh, sedangkan wanita yang haid tidak boleh bersetubuh.
Wanita yang junub halal diceraikan, sedangkan wanita haid tidak halal diceraikan.

Kami sebutkan beberapa hukum wanita haid secara lebih rinci sebagai berikut:

1. Tidak boleh berdiam diri di masjid, yang dibolehkan hanya lewat saja. Dalil ketidakbolehan berdiam diri di masjid adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah ra. yang berkata:

“Rasulullah Saw. datang, sedangkan di hadapan rumah-rumah para sahabat adalah jalan di dalam masjid. Maka beliau Saw. berkata: “Pindahkanlah pintu-pintu rumah ini dari masjid.” Kemudian Rasulullah Saw. masuk tetapi orang-orang itu tidak melakukan sesuatupun dengan harapan turun rukhshah (keringanan) terkait mereka. Lalu Rasulullah Saw. keluar lagi menemui mereka dan berkata: “Pindahkanlah pintu-pintu rumah ini dari masjid. Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang haid dan junub.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu al-Qaththan. Hadits ini sudah kami cantumkan dalam pembahasan (hukum-hukum junub).

Mengenai dalil bolehnya orang haid melewati masjid adalah hadits yang diriwayatkan dari Maimunah ra. bahwasanya dia berkata:

“Rasulullah Saw. pernah menemui salah seorang dari kami padahal dia (sang isteri) sedang haid, lalu beliau Saw. meletakkan kepalanya di atas pangkuannya. Beliau Saw. kemudian membaca al-Qur’an padahal dia (sang isteri) sedang haid. Kemudian salah seorang dari kami berdiri membawakan tikar kecilnya dan meletakkannya di dalam masjid, padahal dia sedang haid.” (HR. Ahmad dan an-Nasai)

Dan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwasanya dia berkata:

“Rasulullah Saw. berkata kepadaku: “Bawakanlah khumrah ini dari masjid.” Aisyah berkata: Aku berkata: Aku sedang haid. Maka Nabi Saw. berkata: “Sesungguhnya darah haidmu itu tidak berada pada tanganmu.” (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)

Khumrah itu adalah sajadah atau hamparan yang dijadikan tempat sujud.

Kesimpulan yang diambil dari dua hadits ini sangat jelas.

Orang yang berpendapat seperti pendapat kami ini adalah Zaid bin Tsabit, Malik, as-Syafi’i, Ahmad dan ahlud dzahir.
Sufyan, Abu Hanifah, dan Malik dalam satu riwayat darinya berpendapat wanita haid itu tidak boleh melewati masjid. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah Saw.:

“Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang haid dan junub.”

Maka kami bantah pendapat mereka, bahwa hadits ini masih bersifat umum, sedangkan hadits Maimunah dan Aisyah mengecualikan tindakan berlalu di dalam masjid dari keumuman larangan tersebut. Perkara ini sangat jelas, sedemikian jelasnya sehingga tidak perlu dijelaskan lagi.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Perempuan Haid Tidak Najis



2. Orang haid boleh bergaul, bercampur-baur dengan orang-orang, berbincang dengan mereka, makan, minum, tidur dan aktivitas-aktivitas keseharian lainnya, kecuali beberapa hal yang dilarang oleh syara. Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:

a. Hadits yang diriwayatkan oleh Anas tentang sebab turunnya ayat: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang wanita haid”, yang sebelumnya telah kami cantumkan di atas menyebutkan:

“Sesungguhnya orang Yahudi, apabila isteri mereka haid, maka mereka tidak makan dan berkumpul dengannya di rumah.”

Yakni, mereka tidak makan bersama wanita haid dan tidak bergaul dengannya. Lalu turunlah ayat ini, kemudian Rasulullah Saw. menjelaskan ayat ini dengan sabdanya: “Lakukanlah.”

“Lakukanlah apapun, kecuali bersetubuh.”

Yakni, lakukanlah apa yang tidak dilakukan oleh orang Yahudi, yang sebagiannya telah disebutkan di bagian awal hadits ini, atau lebih dari itu kecuali bersetubuh.

b. Dari Aisyah ra., dia berkata:

“Aku pernah minum dan waktu itu aku sedang haid. Kemudian aku memberikan (gelas minum)ku kepada Nabi Saw. Beliau Saw. meletakkan mulutnya di bekas mulutku, lalu beliau Saw. minum, dan aku makan daging yang masih menempel pada tulang. Waktu itu aku sedang haid, lalu aku memberikannya kepada Nabi Saw., kemudian beliau Saw. meletakkan mulutnya di bekas mulutku.” (HR. Muslim dan Ahmad)

c. Dari Abdullah bin Saad, dia berkata:

“Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang makan bersama wanita haid. Beliau Saw. berkata: “Makanlah bersamanya.” (HR. Ahmad)

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits ini juga, dan berkata: status hadits ini hasan gharib. Hadits ini menunjukkan bolehnya makan bersama wanita haid.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Orang Junub Tidak Najis



2. Bagi orang yang junub boleh bercampur-baur dengan orang-orang, bersalaman dan berbincang-bincang dengan mereka, dan sebagainya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra.:

“Bahwasanya dia ditemui oleh Nabi Saw. di salah satu jalan yang ada di Madinah, padahal dia dalam keadaan junub, sehingga dia diam-diam pergi dan mandi, karenanya Nabi Saw. menemukannya, ketika dia (Abu Hurairah) mendatanginya kembali. Maka Nabi Saw. bertanya: “Di mana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah berkata: Wahai Rasulullah, engkau hendak menemuiku padahal aku dalam keadaan junub. Aku tidak suka duduk menemanimu hingga aku mandi. Rasulullah Saw. bersabda: “Subhanallah, sesungguhnya seorang mukmin itu tidak najis.” (HR. Muslim)

Rasulullah Saw. tidak membenarkan tindakan Abu Hurairah pergi diam-diam dari hadapannya dengan alasan enggan duduk dalam keadaan junub menemani beliau Saw. Pengingkaran ini memberi pengertian bolehnya bersalaman, duduk-duduk, dan berbincang-bincang dengan orang yang junub.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Hadits Orang Junub Boleh Berjihad Tanpa Mandi



3. Orang yang junub boleh berjihad. Kisah malaikat memandikan sahabat sangat terkenal. Dalam Sirah Ibnu Hisyam dituturkan:

“Rasululllah Saw. bersabda: “Sesungguhnya teman kalian ini, yakni Handzalah, sedang dimandikan Malaikat.” Lalu para sahabat bertanya pada keluarganya tentang apa yang terjadi pada Handzalah. Kemudian isterinya ditanya tentang dirinya, maka sang isteri berkata: Handzalah pergi dalam keadaan junub ketika dia mendengar seruan jihad. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Karena itulah Handzalah dimandikan Malaikat.”

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dari jalur Abdullah bin Zubair ra.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Bangun Subuh Junub Boleh Puasa



4. Bagi orang yang bangun subuh dalam keadaan junub, boleh melanjutkan puasanya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah dan Ummu Salamah (dua isteri Nabi Saw.), bahwasanya keduanya berkata:

“Rasulullah Saw. bangun shubuh dalam keadaan junub yang disebabkan persetubuhan, bukan mimpi, di bulan Ramadhan, kemudian beliau Saw. (tetap) berpuasa.” (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)

Inilah pendapat mayoritas, bahkan statusnya hampir mendekati ijma’ (kesepakatan) para fuqaha.

Adapun riwayat “Abu Hurairah memfatwakan orang yang bangun waktu fajar dalam keadaan junub itu tidak sah puasanya,” sesungguhnya Abu Hurairah sendiri telah menarik (meralat) fatwanya ini. Perihal fatwa dan ralat yang dilakukan Abu Hurairah telah disinggung oleh Muslim dalam kitab Shahihnya dalam satu hadits yang diriwayatkan dari jalur Abdul Malik bin Abu Bakar bin Abdurrahman dari Abu Bakar. Selain itu Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan bahwa Abu Hurairah telah menarik kembali fatwanya dan tidak mengamalkannya. Ini terkait junub yang disebabkan oleh persetubuhan.
Perihal bolehnya puasa bagi orang yang bangun pagi dalam keadaan junub yang disebabkan oleh mimpi, maka ini tidak diperselisihkan lagi oleh seorangpun. Saya tidak akan berpanjang lebar dalam persoalan ini, karena tempat pembahasannya ada dalam bab puasa, bukan dalam bab thaharah.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)