Dampak
Jihad Khairuddin di Maghrib
Sultan Ahmad Al-A'raj As-Sa'di banyak
diuntungkan dengan gerakan pemerintahan Utsmani dan rakyat Aljazair di bawah
pimpinan komandan Khairuddin Barbarosa. Maka dia melakukan pengepungan terhadap
kota Asifa di Azmur pada tahun 941 H/1534 M. Hampir saja kota itu jatuh ke
tangan Bani Sa'di, jika tidak datang bala bantuan Spanyol terhadap kota itu.
Melalui peristiwa itu, telah terjalin kerjasama antara kekuatan pasukan Utsmani
dengan kekuatan-kekuatan Islam di Maghrib dalam melawan pasukan Nasrani di
Afrika Utara.
Tatkala Raja Portugis yang bernama Jean III
mendengar tibanya armada Utsmani pada tanggal 3 Rabiul Awal 941 H/ 13 September
1534 M yang dipimpin oleh Khairuddin, dia berpikir untuk meninggalkan sebagian
markas yang telah dia kuasai, seperti Sabt dan Thanjah. Kedua markas itu sangat
penting untuk melindungi kepentingan-kepentingan pasukan Nasrani di Laut Tengah
bagian Barat. Untuk membendung serangan Utsmani di kepulauan Iberia, maka Raja
Johannes III meminta fatwa ke tokoh-tokoh dan para uskup di negerinya. Dia
mengajukan beberapa pertanyaan, "Apakah wajib meninggalkan Asifa dan Armuz
untuk orang-orang Maghrib? Apakah wajib meninggalkan tempat itu atau membiarkan
sebagiannya? Dan jika wajib menjaga keduanya, berapa biaya minimal yang harus
dikeluarkan? Lalu bahaya apa yang akan terjadi jika hal itu dilakukan? Lalu
bagaimana kita harus menyelesaikannya?"
Raja Portugis itu mendapat jawaban beragam.
Intinya, sebagian orang mendukung untuk tetap bertahan di wilayah selatan dan
sebagian yang lain menolak. Sedangkan jawaban para pendeta dan uskup hampir
sama. Mereka semua menasihatkan, agar raja meninggalkan wilayah selatan dan
mengalihkan kekuatann ke wilayah utara untuk mencegah serangan pasukan Utsmani
di bawah pimpinan Khairuddin Barbarosa. Uskup menasehati agar raja meninggalkan
Santakaros, Asifa, dan Armuz, sebab biaya yang harus dikeluarkan untuk menjaga
wilayah-wilayah itu lebih penting dialokasikan untuk menjaga tempat-tempat lain
di utara. Mereka juga menasehatkan agar semua alat pertahanan ditingkatkan
untuk menghadapi pasukan Khairuddin di tempat itu. (Juhud AI-Utsmaniyyin Li
Istirdad AI-Andalus, hlm. 320.)
Keberadaan pasukan Utsmani di Aljazair
memiliki dampak sangat kuat dalam mempengaruhi sikap Raja Portugis di Maghrib.
Portugis tidak jadi melakukan operasi militer di tempat itu. Kemudian kemampuan
tentara Utsmani menguasai Tunisia telah menimbulkan kebingungan bagi Paus dan
Charles V. Jatuhnya Tunisia dianggap sebagai ancaman serius bagi agama Nasrani,
serta sebagai ancaman bagi jalur transportasi laut di wilayah-wilayah itu. (Risalat
Gharnathah Ila AI-Sulthan Sulaiman, Abdul Jalil At-Tamimi, nomer 3.Tunis.) Maka
tekanan Utsmani telah mencapai puncaknya, ketika pemerintahan Utsmani menguasai
perairan-perairan sempit antara Sicilia dan Afrika. (Juhud AI-Utsmaniyyin Li
Inqadzi AI-Andalus, Dr. Nabil Abdul Hayy, hlm. 321.)
Tunisia
Dikuasai Charles V
Charles V, Kaisar Romawi, berniat menguasai
Tunisia. Hal itu tak lepas dari permintaan Sultan Hafashi Al-Hasan bin Muhammad
ke Charles V untuk mewujudkan keinginannya memisahkan diri dari lstanbul.
Kondisi Utsmani sendiri saat itu dilanda aneka tantangan. Mereka harus
menghadapi pemberontakan kaum Syiah-Rafidhah di Persia. Kemudian Utsmani juga
terlibat perang di beberapa front di Eropa. Adapun Raja Francis dari Perancis
berjanji untuk bersikap netral. (Tarikh AI-jazairi AI-Hadits, Muhammad Khair
Paris, hlm. 34.) Charles V memimpin operasi militer laut untuk merebut Tunisia.
Dia membawa 30.000 personil pasukan dari Spanyol, Belanda, German, Napoli, dan
Sicili. Mereka diangkut dengan sekitar 500 armada kapal. Kaisar itu mulai
perjalanan lautnya dari Barcelona. Tatkala armada ini mendaratkan kapal-kapal
di wilayah Tunisia, terjadilah perang sengit menghadapi mujahidin Islam. (Haqaiq
AI-Akhbar 'An Dual AI-Bihar, 1/420.) Serangan ini berhasil, sehingga Spanyol
kembali menguasai Tunisia pada tahun 942 H/ 1535 M. (Juhud AI-Utsmaniyyin Li
Inqadzi AI-Andalus, Dr. Nabil Abdul Hayy, hlm. 321.) Pasukan Khairuddin sendiri
saat itu tidak mampu melakukan perlawanan secara sepadan. Tentara Utsmani
sendiri saat itu hanya berjumlah 7000 orang, datang bersama Khairuddin, dan
didukung 5000 pasukan rakyat Tunisia. Ditambah lagi, banyak orang-orang Badui
tidak mau melakukan jihad.
Charles dengan mudah mampu menguasai benteng
Halqul Waad di Mursa Tunisia. (Harb Tsalatsa Mi'ah Sanah, hlm. 321.) Atas
keberhasilan itu, orang-orang Spanyol segera menobatkan Al-Hasan sebagai
penguasa Tunisia. Sesuai isi perjanjian yang telah ditandatangani, jika pasukan
Spanyol menang, maka Al-Hasan wajib menyerahkan Bunah dan Al-Mahdiyyah kepada
Charles V. Namun karena Al-Mahdiyyah masih berada di bawah kekuasan Utsmani, Al
Hasan Hafashi tidak bisa memenuhi persyaratan itu. Maka Spanyol mensyaratkan,
agar Al-Hasan menjadi sekutu dan pembantu tentara Kardinal Johannes di Tripoli.
(AI-Atrak AI-Utsmaniyyun fi Afriqi AI-Syamaliyah, hlm. 38.) Selain itu dia juga
harus menyatakan permusuhan kepada pemerintahan Utsmani dan harus menanggung
semua biaya perang, minimal untuk 2000 pasukan Spanyol yang akan tinggal di
benteng Halqul Waad. Charles V kemudian kembali ke Spanyol dan disambut sebagai
pahlawan yang telah menang perang. Pada saat itu Sultan Sulaiman sendiri sedang
gencar-gencarnya berperang untuk menumpas kesesatan kaum Safawid-Syiah Rafidhah
di Persia. (Fath AI-Utsmaniyyin 'Adn, hlm. 130.)
Kembalinya
Khairuddin ke Aljazair
Setelah kekalahan di Tunisia, Khairuddin
kembali ke Aljazair. Untuk pertama kalinya dia menetap di Costantine. Di tempat
ini, dia mempersiapkan diri untuk memulai jihad melawan Spanyol di
wilayah-wilayah yang akan menjadi sasaran. Untuk sementara, dia menetap di kota
Aljazair sebagai usaha mengevaluasi langkah-langkah strateginya. Dalam posisi
Khairuddin sebagai komandan pasukan laut Utsmani, Khairuddin merasa bertanggung
jawab untuk membalas serangan yang dilakukan Charles V di Tunisia. Maka dia
segera melancarkan serangan ke Baleares dan ke tepian pantai wilayah Selatan,
kemudian menyeberangi Selat Jabal Thariq. Khairuddin terjun sendiri untuk
melancarkan serangan ke kapal-kapal Portugis dan Spanyol yang baru datang dari
Amerika sambil membawa emas dan perak. Serangan itu sangat mengguncangkan
masyarakat Nasrani dan sekaligus membuat Charles V sangat bersedih. Mereka
sebelumnya meyakini bahwa setelah kekalahan di Tunisia, Khairuddin tidak lagi
memiliki kekuatan berarti. (Harb Tsalatsah Mi'ah Sanah, hlm. 227, 236, 241,
242.)
Serangan-serangan tersebut dianggap sebagai
pembalasan atas serangan Spanyol ke Tunisia. (Harb Tsalatsah Mi'ah Sanah,
hlm.324.) Dengan demikian tampak jelas, bahwa Kekaisaran Romawi telah dikepung
oleh pasukan Utsmani dan Perancis. Itu artinya, perang baru antara dua kekuatan
itu dimulai kembali. Seperti dimaklumi, Spanyol dan Portugis memiliki ambisi
yang sama untuk menaklukkan markas-markas utama kaum muslimin di negeri
Maghrib.
Diplomasi
Portugis dan Perpecahan di Afrika Utara
Raja Ahad Al-Waththas harus menerima pil
pahit kekalahan pada tahun 943 H/ 1536 M di tangan Bani Sa’di dalam peperangan
Bir 'Uqbah, di dekat Lembah Al 'Abid. Salah satu faktor yang menyebabkan
kekalahan ini adalah, karena kabilah-kabilah Khaluth meninggalkannya. Padahal
kabilah-kabilah itu merupakan ujung tombak kekuatan pasukan Al-Waththas. Dampak
dari kekalahan ini, pihak Al-Waththas mulai mendekat ke Portugis. Hal itu dia
lakukan, karena pasukan Utsmani saat itu sedang sibuk berperang melawan Spanyol.
Dia kemudian menjalin perjanjian dengan Portugis yang berlaku selama sepuluh
tahun. (Juhud AIa Utsmaniyyin Li Inqadzi Al-Andalus, Dr. Nabil Abdul Hayy, hlm.
323.)
Perjanjian tersebut membuat orang-orang
Maghrib di pinggiran Ashila, Thanjah, dan Qashr Shaghir berada di bawah
kekuasaan Raja Fas. Dalam perjanjian itu, rakyat Raja Waththas boleh melakukan
bisnis di wilayah laut, kecuali perdagangan senjata dan barang-barang
terlarang. jika ada perahu-perahu Utsmani, atau Perancis, atau orang-orang
Nasrani non Spanyol dan Portugis, tiba di negeri Perancis dengan membawa barang
rampasan dari wilayah Maghrib, maka barang-barang itu jangan dibeli. Demikian
pula dengan orang-orang Maghrib, mereka tidak boleh membeli barang-barang dari
orang Utsmani. Harta rampasan itu bisa dikuasai dan dikirimkan ke sana-sini,
sepanjang musuh tidak diberi kekuasaan untuk menyerangnya. (Juhud AIa Utsmaniyyin
Li Inqadzi Al-Andalus, hlm. 324.)
Orang-orang Portugis juga berusaha menjalin
kesepakatan dengan pemerintahan Sa'di. Maka mereka pun mengirim delegasi ke
Marakisy untuk melakukan perundingan dengan Maula Ahmad Al-A'raj yang ternyata
menerima tawaran kesepakatan itu. Maula Ahmad merasa sangat membutuhkan
kerjasama dalam rangka membereskan urusan negerinya, setelah mereka berhasil
mengalahkan musuhnya yaitu orang-orang Waththas dalam perang Bir ‘Uqbah, pada
tahun 943 H / 1536 M. Orang-orang Portugis sepakat menjalin kesepakatan dengan
pemerintahan Sa'di pada tanggal 25 Dzul Qa'dah tahun 944 H/ 25 April 1537 M dalam
jangka waktu tiga tahun. Lalu terjalin hubungan bisnis antara kedua belah
pihak. (Juhud AIa Utsmaniyyin Li Inqadzi Al-Andalus, hlm. 324.)
Tujuan orang-orang Portugis menjalin
kesepakatan dengan orang-orang Sa'di dan Waththas adalah, untuk menghambat
terjadinya hubungan harmonis antara pemerintahan Utsmani dengan orang-orang
Waththas dan Sa'di. Sebab jika terjadi kerjasama antara mereka, maka itu
berarti ancaman bagi wilayah Kepulauan Iberia di Maghrib. Dan yang lebih
penting lagi, Spanyol dan Portugal sangat takut akan serangan pasukan Utsmani
di Kepulauan Iberia, apalagi terhadap rencana Utsmani untuk merebut kembali
tanah Andalusia. (Juhud AIa Utsmaniyyin Li Inqadzi Al-Andalus, hlm. 324.)
Bagaimanapun, Andalusia (Spanyol) pernah
menjadi negeri Islam, maka kaum muslimin berhak merebutnya kembali dengan
semangat Jihad Fi Sabilillah. Pintu-pintu jihad akan terus terbuka, sampai
Andalusia jatuh kembali ke tangan kaum muslimin.
Referensi:
Bangkit Dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi
-----