Republik Negara Sistem Menyimpang
Sistem republik juga gagal menghilangkan
praktik oligharki, yakni saat kekuasaan dikuasai oleh kaum elit. Dalam praktik
sistem republik di manapun, kekuasaan tetap dipegang oleh kaum elit yaitu para
kapitalis, elit partai dan kelas politik. Hal itu sangat kentara. Penguasa dan
politisi di negara sistem republik manapun selalu berasal dari dinasti kelas
berkuasa secara politik dan ekonomi.
Sangat berbahaya jika kemudian ada sebagian
kaum Muslim berpendapat bahwa sistem republik itu gagal hanya dari segi
praktiknya, sedangkan secara konsep sudah baik. Ujung-ujungnya mereka
berpendapat bahwa agar sistem republik bisa berjalan dengan baik dan sesuai ide
dasar konsep sistem republik maka diperlukan orang-orang yang amanah untuk
menjalankan sistem tersebut. Jelas, ini adalah pola pikir yang keliru dan
menyesatkan umat. Pasalnya, umat digiring hanya untuk memilih orang (wakil
rakyat dan penguasa), bukan memilih sistem yang benar dan baik. Mereka tetap
dipaksa memilih sistem republik yang nyata-nyata bobrok.
Padahal apa yang menimpa umat ini bukan hanya
disebabkan orang-orang yang tidak amanah, namun juga disebabkan oleh penerapan
sistem republik yang bobrok. Sistem republik merupakan buah dari akidah
sekularisme yang lahir pada akhir abad 18 & 19 Masehi, yakni akidah yang
memisahkan agama dari urusan kehidupan. Sekularisme inilah yang yang menjadi
pangkal kerusakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sekularismelah yang melahirkan tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku
politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik
dan individualistik, sikap beragama yang sinkretik serta sistem pendidikan yang
materialistik.
Fakta juga menunjukan, rezim dan pemimpin di
negeri ini sudah berkali-kali silih berganti, namun ternyata tetap tidak
membuat negeri ini maju; makmur, sejahtera, aman tenteram dan damai. Ini
menunjukan bahwa persoalan yang mendera umat bukan hanya masalah personal saja,
melainkan juga masalah sistem. Jika hanya ingin mencari orang-orang yang amanah
untuk duduk di sistem pemerintahan sistem republik yang rusak, ibarat kata,
masuknya orang-orang "shalih" ke dalam sistem yang salah (baca: sistem kufur),
bisa diibaratkan seperti a good driver riding a bad car (sopir yang baik
mengemudikan mobil rusak). Sehebat apapun pengemudi tersebut, jika mobilnya
rusak, bisa menyebabkan dia celaka. Karena itu, yang harus dilakukan adalah
mengganti mobil rusak tersebut dengan mobil yang baik.
Dengan kata lain, saat ini diperlukan
kesungguhan untuk mewujudkan sistem yang baik, bukan sekadar para pemimpin yang
baik. Sistem ini harus mampu menyelesaikan seluruh masalah manusia. Sistem yang
baik tentu berasal dari Zat Yang Mahabaik. Dialah Allah SWT.
Islam berbeda dengan ideologi
Kapitalisme-sekular yang melahirkan sistem republik modern. Dalam sistem
republik, aturan/hukum yang dibuat untuk mengurusi rakyat bersumber dari akal
manusia yang serba lemah dan terbatas. Sebaliknya, dalam sistem Islam, sumber
hukum untuk mengatur kehidupan manusia berasal dari Zat Yang menciptakan akal
manusia. Dialah Allah SWT, Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan ini.
Sebagai Pencipta, Allah SWT adalah Zat Yang Mahatahu atas ciptaan-Nya. Hanya
Allah Yang Mahatahu tahu apa yang terbaik untuk manusia. Untuk itulah Allah SWT
menurunkan syariah Islam —yang mengatur segala aspek kehidupan manusia— demi
kebaikan mereka.
Jalan perubahan hakiki demi kemaslahatan umat
hanya ada pada Islam. Ketika Islam menurunkan aturan yang sempurna, yakni
syariah Islam, Islam pun memberikan cara agar aturan tersebut dapat terlaksana
secara sempurna (kaffah). Di situlah pentingnya Khilafah, yakni sistem
pemerintahan Islam. Persoalannya adalah bagaimana thariqah atau jalan yang
sahih untuk mewujudkan Khilafah itu jika tidak menggunakan jalan sistem
republik?
Sebagai Muslim, kita meyakini bahwa
sebaik-baik uswah (panutan) adalah Rasulullah Muhammad saw. (QS al-Ahzab [33]:
21). Karena itu kitapun wajib terikat dengan thariqah (metode) dakwah beliau
dalam mewujudkan kekuasaan Islam.
Pemilu mendatang adalah bagian dari sistem
republik untuk memilih anggota legislatif dan presiden. Pemilu sebagai bentuk
wakâlah hukumnya mubah, tetapi tetap dengan catatan: untuk apa Pemilu tersebut
diselenggarakan? Bila dalam kerangka dan untuk tegaknya syariah dan
kepemimpinan Islam, hukumnya boleh, dan demikian sebaliknya. Proses politik
yang diselenggarakan untuk mengokohkan kerangka sistem politik sekular itu
tidaklah sesuai dengan Islam, karena Islam mewajibkan penegakkan sistem Islam,
yakni Khilafah yang di dalamnya diterapkan syariah Islam secara kaffah.
Masalah mendasar pada sistem republik ialah
kedaulatan (as-siyadah) yang berkaitan dengan sumber hukum. Sistem ini
menetapkan kedaulatan ada di tangan rakyat (as-siyadah li asy-sya’bi). Rakyat
kemudian mewakilkan kepada wakil rakyatnya di parlemen untuk membuat hukum.
Lalu lahirlah hukum-hukum buatan manusia. Padahal dalam sistem Islam,
kedaulatan berada di tangan syariah (as-siyadah li asy-Syari), yang sumber
hukumnya adalah al-Quran dan as-Sunnah.
Berjuang lewat parlemen dalam sistem republik
memaksa umat Islam untuk menandingi Allah SWT dalam membuat hukum. Padahal hak
membuat hukum adalah milik Allah SWT (QS al-An’am [6]: 57).
Jika para anggota parlemen tetap melakukan
legislasi undang-undang yang bukan berasal dari Allah SWT, mereka bisa mendapat
gelar kafir, fasik atau zalim (QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47).
Ibnu Abbas mengatakan, “Siapa saja yang
mengingkari apa saja yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan, dia telah kafir. Siapa
saja yang mengakui apa saja yang Allah turunkan namun tidak berhukum dengannya
(hukum Allah) maka dia zalim dan fasik.” (Ath-Thabari, VI/257).
Sistem republik terbukti tak berpihak kepada
umat. Sistem ini sarat dengan kepentingan segelintir manusia sebagai pembuat
hukum, terutama kepentingan para kapitalis yang memiliki pengaruh besar dalam
pembuatan undang-undang. Slogan kedaulatan di tangan rakyat itu hanyalah ilusi
belaka. Nyatanya, para pemilik modal yang berdaulat, sementara umat semakin
menderita.
Jalan sistem republik takkan mampu
mengantarkan partai Islam pada penegakan syariah Islam secara kaffah. Alasannya
di antaranya: Pertama, jalan ini tidak sesuai dengan jalan Rasulullah saw. dan
para sahabat. Kedua, kemenangan umat Islam dalam sistem republik tak memiliki
pondasi yang kuat untuk menerapkan syariah Islam secara keseluruhan; mudah
sekali digoyang oleh kaum liberal dan sekular atas nama sistem republik.
Ketiga, jalan ini di-setting oleh Barat untuk dapat melumpuhkan perjuangan
Islam.
sistem republik memberikan jalan kepada semua
ideologi, termasuk ideologi Islam, tetapi itu semu belaka. Mengapa? Sebab,
selalu ada batas-batas tertentu yang tak dapat dilampaui oleh ideologi Islam.
Batas ini merupakan garis demarkasi ideologis absolut yang tak mengenal
toleransi, yaitu tuntutan penegakan Negara Islam (Khilafah). Jika garis
demarkasi ideologis itu masih aman, kelompok dengan ideologi Islam dibolehkan
berkembang. Namun, begitu garis “sakral” itu nyaris terlanggar atau terlampaui,
sistem republik mempunyai mekanisme politik yang sangat kejam dan brutal untuk
memberangus ideologi Islam.
perubahan yang diperlukan umat saat ini
bukanlah perubahan kecil yang sekadar mengganti rezim (sosok pemimpin) yang
ada, melainkan perubahan sistem menuju tegaknya Negara Islam (Khilafah). Jadi,
perubahan yang dituju harus dua-duanya: mengganti pemimpin dan sistemnya. Imam
Taqiyuddin an-Nabhani pernah menegaskan, “Umat Islam telah mengalami tragedi
karena dua musibah. Pertama: penguasanya telah menjadi antek-antek kafir
penjajah. Kedua: di tengah-tengah umat telah diterapkan apa-apa yang tidak
diturunkan Allah, yaitu diterapkan sistem kufur.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Nida`
Har ila al-Muslimin min Hizb at-Tahrir, hlm. 48)
Maka dari itu, perubahan yang diperlukan umat
sekarang ini bukanlah sekadar perubahan kecil (mengganti rezim), melainkan perubahan yang besar, yaitu mengganti sistem yang ada menuju Khilafah. Jika
dalam perubahan besar ini muncul risiko yang juga besar, tentu itu wajar.