Page

Adzan di Zaman Modern



Sebagian stasiun penyiaran mengumandangkan adzan untuk shalat fardhu lima waktu, dan memperdengarkannya kepada orang-orang dari radio atau televisi. Dengan adzan seperti ini, penduduk desa atau komunitas lainnya, tidak boleh mencukupkan diri dengannya lalu mereka tidak mengumandangkan adzan di masjid-masjid mereka. Adzan dari radio atau televisi tidak bisa mengganti adzan yang harus mereka kumandangkan di masjid, sehingga penduduk daerah-daerah tetap diharuskan untuk mengumandangkan adzan oleh mereka sendiri, karena adzan hukumnya tetap fardhu kifayah, yang harus dilaksanakan oleh mereka sendiri. Ini hal pertama.

Orang-orang merekam adzan sebagian muadzin, maka rekaman seperti ini tidak boleh diputar pada pengeras suara masjid untuk diperdengarkan kepada orang-orang sebagai pengganti adzan yang seharusnya dikumandangkan oleh muadzin. Sebab, mengumandangkan adzan itu fardhu kifayah, yang harus dilaksanakan oleh penduduk daerah, sehingga mereka tetap terkena kewajiban untuk melaksanakan kewajiban ini.
Menyebarkan rekaman dan memperdengarkan adzan yang direkam ini kepada orang-orang, hal ini tidak menggugurkan kewajiban dari penduduk daerah untuk mengumandangkan adzan. Dan masjid yang mengumandangkan rekaman adzan ini tidak bisa dianggap sebagai salah satu pihak yang telah melaksanakan kewajiban mengumandangkan adzan tersebut.

Dan daerah yang di dalamnya tidak ada kecuali hanya satu masjid, maka menurut syara, diharuskan untuk mengumandangkan adzan di udara oleh seorang muadzin secara langsung, sehingga dia atau orang selainnya tidak boleh merekam adzan mereka kemudian memutar rekamannya dan dikumandangkan lewat pengeras suara di masjid ketika tiba waktu shalat lima waktu. Tindakan itu tidak menggugurkan kewajiban mengumandangkan adzan dari mereka.

Sementara itu, di kota atau desa yang cukup besar, yang di dalamnya terdapat beberapa masjid, maka adzan yang dikumandangkan seorang muadzin di sebuah masjid dianggap sebagai pelaksanaan fardhu dari penduduk kota atau desa tersebut. Dalam kondisi seperti ini, seandainya masjid-masjid yang lain mengumandangkan adzan yang direkam maka tidak menjadi masalah, dan aktivitas tersebut -dalam kondisi ini- dipandang sekedar memberitahukan orang-orang tentang masuknya waktu shalat, dan perbuatan tersebut tidak dipandang sebagai pelaksanaan kewajiban mengumandangkan adzan, sehingga pelakunya tidak memperoleh pahala mengumandangkan adzan yang pahalanya akan diperoleh muadzin yang mengumandangkan adzan oleh dirinya sendiri. Ini perkara yang kedua.

Hampir sama dengan kondisi yang kedua adalah masjid-masjid di satu kota disatukan dengan jaringan stasiun penyiaran, yang bertugas mengumandangkan adzan dari muadzin yang ada di salah satu masjid tersebut. Lalu penduduk satu kota mendengar suara satu orang muadzin itu dari alat penerima di masjid-masjid seluruhnya, maka kondisi ini dibolehkan, dengan syarat, adzan itu dikumandangkan langsung oleh si muadzin, bukan berasal dari rekaman kaset. Jika hal ini terjadi melalui rekaman kaset, maka tidak cukup memenuhi kefardhuan, sehingga seluruh penduduk kota tersebut bisa berdosa.

Yang harus diperhatikan -dalam kondisi ini dan dalam kondisi kedua tadi- adalah hendaknya adzan dikumandangkan di satu daerah oleh minimal satu orang muadzin. Tidak jadi masalah bagi penduduk daerah itu apabila mereka menggunakan rekaman adzan di masjid-masjid lain setelahnya. Jadi, apabila tidak ada adzan di satu daerah itu yang dikumandangkan oleh seorang muadzin pun, kondisi ini tidak boleh terjadi. Seluruh penduduk daerah tersebut menjadi berdosa. Ini yang ketiga.

Dua desa yang terletak di satu wilayah yang tidak terlalu luas, di mana keduanya tidak dipisahkan selain oleh jarak dua atau tiga mil saja misalnya, di mana jika di masjid salah satu dari dua desa itu dikumandangkan adzan, penduduk desa yang lain mendengar adzan ini, maka adzan tersebut telah menggugurkan kewajiban dari penduduk desa yang pertama, tetapi tidak menggugurkan kewajiban dari penduduk desa yang lain. Karena itu, wajib bagi penduduk desa yang lain untuk mengumandangkan adzan di desa mereka juga, yakni menjadi satu kewajiban bagi setiap desa dari dua desa itu untuk melaksanakan kewajiban mengumandangkan adzan; sama saja baik adzan salah satu dari keduanya itu sampai terdengar di desa yang lain atau tidak. Ini yang terakhir.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak Pergi Dari Masjid Jika Telah Adzan



Bersegera ke Masjid Setelah Mendengar Adzan

Siapa saja yang mendengar adzan dan pada saat itu dia di masjid, atau masuk masjid setelah adzan, maka tidak boleh baginya untuk keluar dari masjid sebelum menunaikan shalat wajib, kecuali karena adanya udzur syar'i, semacam membuang hajat, atau berwudhu dan dia berniat kembali ke masjid untuk melaksanakan shalat, atau lainnya. Dari Abu Sya'sya ia berkata: aku mendengar Abu Hurairah -dan dia melihat seorang laki-laki keluar dari masjid setelah adzan- maka ia berkata:

“Adapun tindakan seperti ini sungguh telah menyalahi tuntunan Abul Qasim Saw.” (HR. Muslim dan Baihaqi)

Dari Abu Sya’tsa dari Abu Hurairah:

“Bahwasanya dia sedang di masjid, lalu seorang muadzin mengumandangkan adzan, kemudian keluarlah seorang laki-laki (dari masjid). Maka Abu Hurairah berkata: “Tindakan seperti ini sungguh telah bermaksiat pada Abul Qasim Saw. Rasulullah Saw. telah memerintahkan kepada kami, jika kami mendengar adzan agar kami tidak keluar dari masjid hingga kami melaksanakan shalat.” (HR. Abu Dawud at-Thayalisi dan Ahmad)

Tirmidzi berkata: “Berdasarkan hal inilah, yang dipraktikkan oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Saw. dan orang-orang setelahnya, yaitu hendaknya seseorang tidak keluar dari masjid setelah adzan kecuali karena ada udzur selain wudhu atau perkara lain yang harus dilakukannya.”

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Masjid-Masjid yang Lebih Utama



Keutamaan Masjid-Masjid

Seluruh masjid memiliki keutamaan yang sama, kecuali empat masjid, di mana keempatnya memiliki kelebihan. Dilihat dari sisi keutamaannya, keempat masjid itu bisa disusun sebagai berikut: Masjidil Haram di Makkah, shalat di dalamnya sebanding dengan 100.000 shalat; Masjid Nabawi di Madinah, shalat di dalamnya sebanding dengan 1.000 shalat; Masjidil Aqsha di al-Quds, beberapa riwayat yang ada memiliki perbedaan dalam hal keutamaan shalat di dalamnya, ada yang menyebutkan bahwa shalat di dalamnya sebanding dengan 1.000 shalat, ada pula yang menyebutkan bahwa shalat di dalamnya sebanding dengan 500 shalat; kemudian Masjid Quba di Madinah, shalat di dalamnya sebanding dengan umrah. Ketiga masjid yang pertama itulah satu-satunya yang ditekankan untuk dijadikan tujuan perjalanan (safar), yakni melakukan perjalanan dalam rangka melaksanakan ibadah dan shalat di dalamnya, dan safar dengan maksud ibadah tidak disyariatkan pada masjid selainnya. Abu Hurairah telah meriwayatkan dari Nabi Saw., beliau bersabda:

“Perjalanan tidak ditekankan kecuali pada tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Rasulullah Saw., dan Masjidil Aqsha.” (HR. Bukhari)

Dari Jabir ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu shalat di masjid selainnya, kecuali Masjidil Haram. Dan shalat di Masjidil Haram lebih utama dari seratus ribu shalat di masjid selainnya.” (HR. Ibnu Majah)

Dari Maimunah, pembantu Nabi Saw., bahwa ia berkata:

“Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, terangkanlah tentang keutamaan Baitul Maqdis.” Beliau Saw. bersabda: “Bumi tempat manusia dikumpulkan dan berpencar, maka datangilah ia dan shalatlah di dalamnya, karena shalat di dalamnya sebanding dengan seribu shalat pada selainnya.” Kemudian aku bertanya: “Bagaimana menurutmu jika aku tidak sanggup melakukan perjalanan ke sana?” Beliau Saw. menjawab: “Maka hendaklah engkau membuat penerangan di masjid dengan zaitun yang digunakan sebagai lampu. Barangsiapa yang melakukan hal itu, maka dia seperti orang yang mengunjungi Baitul Maqdis.” (HR. Ibnu Majah)

Ucapan beliau atahammalu ilaih, artinya artahilu ilaih (aku melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis).

Dari Abu Darda, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Keutamaan shalat di Masjidil Haram atas selainnya adalah seratus ribu shalat, dan di masjidku ini seribu shalat, dan di Masjid Baitul Maqdis itu lima ratus shalat.” (HR. al-Bazzar)

Dari Abdullah bin Amru ra., dari Rasulullah Saw.:

“Bahwa Sulaiman bin Daud telah meminta Allah Yang Maha Suci dan Maha Luhur tiga hal, dan Dia Swt. telah memberinya dua hal, dan aku berharap dia telah diberi juga yang ketiga. Dia telah meminta kerajaan yang tidak diberikan kepada seorang pun setelahnya, maka Dia Swt. memberikan kepadanya. Lalu dia telah meminta satu pemerintahan yang kokoh menancapkan hukumnya, maka Dia Swt. telah memberikan kepadanya. Dan dia meminta agar orang yang mendatangi rumah ini (Baitul Maqdis) yang tidak berkehendak apapun kecuali untuk melaksanakan shalat di dalamnya, agar ia keluar dari Baitul Maqdis seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya (yakni tanpa dosa). Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Dan aku berharap agar orang yang mendatangi Baitul Maqdis untuk shalat di dalamnya akan Allah berikan yang ketiga.” (HR. Ibnu Hibban)

Dari Usaid bin Hudhair al-Anshari ra. -beliau termasuk sahabat Nabi- telah menyampaikan hadits dari Nabi Saw., bahwa beliau bersabda:

“Sekali shalat di Masjid Quba-i itu sebanding dengan satu kali umrah.” (HR. Ibnu Majah)

Tirmidzi meriwayatkan dengan redaksi:

“Shalat di masjid Quba itu sebanding dengan umrah.”

Tanpa hamzah.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Shalat Sunat Rawatib Setelah Shalat Jum’at



Sunat Rawatib untuk Hari Jum’at

Dengan merujuk pada prinsip yang kami pegang dalam bab “shalat tathawwu’,” maka kami katakan bahwa shalat Jum’at memiliki sunat muakkad rawatib, yang dilaksanakan setelahnya, yakni dua rakaat saja. Shalat Jum’at juga memiliki dua rakaat ba'diyah lain yang diikutkan pada sunat rawatib muakkad tersebut, sehingga disunahkan untuk melaksanakan dua rakaat sunat setelah shalat Jum’at. Dan jika melakukan empat rakaat maka hal itu lebih baik lagi. Yang paling utama adalah shalat sunat ba’diyah tersebut hendaknya dilaksanakan di rumah. Dari Abdullah bin Umar ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. shalat sebelum dhuhur dua rakaat dan setelahnya dua rakaat, dan setelah maghrib dua rakaat di rumahnya dan setelah isya dua rakaat, dan tidak shalat setelah Jum'at hingga beliau pulang, kemudian shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari)

Muslim meriwayatkan dengan redaksi:

“Dan beliau Saw. tidak shalat setelah Jum'at hingga beliau pulang, lalu shalat dua rakaat di rumahnya.”

Dari Abdullah bin Umar ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. jika selesai shalat Jum'at beliau Saw. pulang lalu shalat dua rakaat di rumahnya. Kemudian dia (perawi) berkata: Rasulullah Saw. sering melakukan hal itu.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi)

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika kalian shalat setelah Jum'at maka shalatlah empat rakaat -dan dalam satu riwayat- jika kalian terburu-buru karena sesuatu maka sholatlah dua rakaat di masjid, dan kemudian dua rakaat jika kalian telah pulang.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata; Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian shalat Jum’at maka shalatlah setelahnya sebanyak empat rakaat.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi)

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Bacaan Qur’an Dalam Shalat Jum’at



Bacaan dalam Shalat Jum'at

Kami telah mengatakan dalam pembahasan “membaca al-Qur’an pada shalat fardhu yang lima” bab “sifat shalat” pernyataan berikut: “Sesungguhnya di dalamnya tidak ada sunnah yang tetap dalam memilih ayat al-Qur'an untuk setiap shalat, karena itu seorang Muslim berhak memilih antara membaca surat ini atau surat itu dalam shalat ini atau shalat itu, di mana satu ayat dari surat-surat al-Qur'an tidak lebih utama dibandingkan ayat yang lain untuk satu shalat dengan shalat yang lain.”
Kami perlu tambahkan di sini: jika ada satu nash yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. membaca surat anu dalam shalat anu, maka hal itu tidak berarti bahwa membaca surat ini dalam shalat tersebut hukumnya menjadi mandub (disunahkan) dibandingkan dengan membaca surat lainnya.
Yang harus dipahami adalah: kita disunahkan membaca satu surat atau sebagian ayat al-Qur’an atau bahkan satu ayat sekalipun. Bacaan yang dibaca Rasulullah Saw. itu bukanlah sebab mandub satu-satunya. Yang disunahkan adalah membaca ayat manapun dari al-Qur’an.
Kami juga perlu sebutkan di sini sejumlah hadits yang menyinggung bacaan Rasulullah Saw. dalam shalat Jum'at, sekedar untuk pengetahuan atau untuk penelaahan saja. Dan kami persilahkan orang yang suka membaca apa yang dibaca Rasulullah Saw. dalam shalat Jum’at untuk berpegang pada hadits-hadits ini:

1) Dari Ibnu Abi Rafi, ia berkata:

”...Kemudian Abu Hurairah mengimami kami shalat Jum’at, dan dia membaca surat al-Jumuah setelahnya, dan pada rakaat terakhir (membaca) idza ja-akal munafiqun (surat al-munafiqun). Ia berkata: aku menemui Abu Hurairah ketika dia pulang, lalu aku bertanya kepadanya: “Sesungguhnya engkau membaca dua surat yang suka dibaca oleh Ali bin Abi Thalib di Kufah.” Lalu Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Saw. membaca dua surat ini dalam shalat Jum’at.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi)

Dalam riwayat Muslim yang kedua dari jalur Ibnu Abi Rafi juga terdapat ungkapan:

“Maka beliau membaca surat al-jumuah pada rakaat pertama, dan pada rakaat terakhir membaca idza ja-akal munafiqun (surat al-munafiqun).”

2) Dari Nu’man bin Basyir ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. suka membaca sabbihis ma rabbikal a'laa dan hal ataaka haditsul ghasiyah pada shalat dua hari raya dan shalat Jum'at.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi)

3) Dari Ibnu Abbas ra.:

“Bahwa pada shalat fajar hari Jum'at Nabi Saw. seringkali membaca Alif Lam Mim tanzil as-sajdah dan hal ata alal insan hinum minad dahri, dan bahwa Nabi Saw. suka membaca surat al-Jumuah dan al-munafiqun dalam shalat Jum'at.” (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)

4) Dari Samurah bin Jundub ra.:

“Bahwa Nabi Saw. suka membaca sabbihis ma rabbikal a'laa dan hal ataaka haditsul ghasiyah pada hari Jum 'at.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Syafi’i, an-Nasai dan al-Baihaqi)

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Seruan Untuk Shalat Jum'at



Adzan untuk shalat Jum'at itu hanya sekali di zaman Rasulullah Saw., Abu Bakar dan Umar. Adzan ini dikumandangkan ketika imam sudah berdiri di atas mimbar, dan tidak dikumandangkan adzan selain itu. Sampai datang masa Utsman bin Affan ra. dan orang-orang telah semakin banyak. Lalu beliau menambah adzan yang lain sebelum adzan ini untuk memberitahukan manusia tentang dekatnya waktu shalat Jum'at. Adzan ini menjadi tambahan atas adzan yang pertama, dan terus digunakan hingga sekarang ini. Jadi, adzan di zaman Rasulullah Saw. dan zaman dua orang sahabatnya (yakni Abu Bakar dan Umar), itu adalah adzan kedua yang dikumandangkan saat ini. Sedangkan adzan yang ditambahkan oleh Utsman adalah adzan pertama yang ada saat ini.

Adalah Rasulullah Saw., beliau masuk ke dalam masjid untuk shalat Jum'at kemudian naik ke atas mimbar. Muadzin segera berdiri dan mengumandangkan adzan di masjid. Ini dilakukan ketika waktu shalat sudah mulai masuk. Waktu shalat Jum'at adalah ketika adzan dikumandangkan dan imam sudah duduk di atas mimbar, bukan ketika adzan pertama dikumandangkan.
Dengan demikian, kita mendapati di sebagian negeri-negeri kaum Muslim saat ini, ada orang yang mengumandangkan adzan sebelum matahari tergelincir dengan menggunakan perhitungan waktu astronomi sedangkan waktu Jum'at belum masuk. Waktu Jum'at tidak dianggap telah masuk ketika adzan pertama dikumandangkan. Karena itu kami katakan tentang wajibnya berangkat untuk shalat Jum'at ketika dikumandangkan adzan yang kedua, bukan pada adzan yang pertama. Adzan yang kedua inilah yang dimaksudkan dari firman Allah Swt.:

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (TQS. al-Jumuah [62]: 9)

Dari Sa’ib bin Yazid ra., ia berkata:

“Sesungguhnya kumandang adzan yang kedua pada hari Jum'at itu diperintahkan Utsman ketika penghuni masjid sudah semakin banyak. Dan adzan ini dikumandangkan pada hari Jum’at ketika imam telah duduk.” (Riwayat Bukhari)

Dalam sebagian riwayat, adzan ini malah disebut sebagai adzan yang ketiga. Maksudnya adalah yang ketiga selain adzan yang pertama dan seruan iqamat. Dari Saib bin Yazid ra., ia berkata:

“Sesungguhnya yang menambahkan adzan ketiga pada hari Jum'at adalah Utsman bin Affan ra. ketika penduduk Madinah semakin banyak. Dan (pada zaman) Nabi Saw. tidak ada adzan kecuali hanya satu, di mana adzan pada hari Jum'at itu dikumandangkan ketika imam sudah duduk, yakni di atas mimbar.” (Riwayat Bukhari)

Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Adapun adzan di zaman Nabi Saw., Abu Bakar dan Umar, adalah dua adzan, hingga tiba zaman Utsman dan orang-orang semakin banyak. Maka beliau memerintahkan dikumandangkannya adzan pertama di Zaura (yakni sebuah pasar di Madinah).”

Adanya percampuran penyebutan adzan Utsman dari beberapa hadits di atas itu berasal dari beberapa anggapan. Apabila iqamat dipandang sebagai adzan, maka dikatakan bahwa Utsman telah menambahkan adzan yang ketiga. Dan jika iqamat tidak dipandang sebagai adzan, maka dikatakan bahwa Utsman telah menambahkan adzan yang kedua. Dan jika dipandang dari urutan dikumandangkannya adzan, maka dikatakan Utsman telah menambahkan adzan yang pertama.

Utsman ra. telah menambahkan adzan ini untuk memberitahukan manusia agar bersiap-siap untuk shalat sebelum tiba waktu shalat Jum’at. Adzan ini dikumandangkan di pasar Madinah yang disebut Zaura, sehingga bisa diperdengarkan pada kumpulan manusia. Sedangkan adzan yang kedua dalam urutannya zamani maka ini dikumandangkan di masjid atau dekat pintu masjid, begitulah adanya. Dari Saib bin Yazid ra., ia berkata:

“Adzan dikumandangkan di hadapan Rasulullah Saw. jika beliau telah duduk di atas mimbar pada hari Jum'at, di dekat pintu masjid. Begitu juga di zaman Abu Bakar dan Umar.” (HR. Abu Dawud)

Yang penting dalam pembahasan ini adalah bahwa adzan yang pertama -yakni adzan Utsman- semata-mata dikumandangkan agar orang-orang mempersiapkan diri untuk melaksanakan Jum'at, dan hal itu dilakukan sebelum masuk waktu wajib. Adzan yang kedua dikumandangkan ketika imam telah duduk di atas mimbar, inilah adzan di mana seorang Muslim wajib berangkat untuk shalat dan memberitahukan telah masuknya waktu shalat.

Apa yang diada-adakan oleh orang-orang zaman sekarang, berupa dzikir dan doa sebelum adzan yang pertama, maka hal itu tidak ada dasarnya, dan lebih utama untuk ditinggalkan.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Menyalatkan Mayit di Masjid



Adalah Rasulullah Saw. dan para sahabatnya yang hidup setelah beliau terbiasa menyalati mayit di mushalla, yakni tempat yang biasa mereka gunakan untuk melaksanakan shalat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).

Amat sedikit dari mereka yang menyalatkan mayit di masjid. Dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. memberitahukan tentang wafatnya an-Najasyi pada hari kematiannya, dan beliau shalat bersama para sahabat ke mushalla dan berbaris bersama mereka. Beliau bertakbir (menyalatinya) dengan empat takbir.” (HR. Bukhari dan Malik)

Ibad bin Abdullah bin Zubair meriwayatkan:

“Bahwa Aisyah memerintahkan agar jenazah Sa'ad bin Abi Waqash dibawa ke masjid sehingga beliau bisa menyalatinya. Lalu orang-orang memprotes hal itu (karena tidak setuju). Aisyah berkata: “Betapa cepatnya orang-orang itu lupa, Rasulullah Saw. tidak menyalati Suhail bin al-Baidha kecuali di dalam masjid.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan Muslim dan Baihaqi dari jalur Ibad bin Abdullah bin Zubair, dia menceritakan dari Aisyah ra.:

“Bahwa ketika Sa'ad bin Abi Waqash meninggal, para istri Nabi Saw. memerintahkan agar orang-orang membawa jenazahnya itu ke dalam masjid sehingga mereka bisa menyalatinya di sana. Kemudian perintah itu dilaksanakan. Jenazah itu dihentikan di ruang tengah rumah mereka untuk dishalatkan, lalu dikeluarkan dari pintu di mana jenazah itu dibawa sebelumnya. Kemudian sampai kabar kepada mereka bahwa orang-orang mencela hal itu, dan mereka berkata bagaimana mungkin jenazah itu sampai bisa dimasukkan ke dalam masjid. Kabar itu sampai kepada Aisyah, maka ia berkata: “Betapa cepatnya orang-orang itu mencela sesuatu yang tidak mereka ketahui. Mereka mencela kami memasukkan jenazah ke dalam masjid. (Padahal) tidaklah Rasulullah Saw. menyalatkan Suhail bin Baidha kecuali di dalam ruang masjid.”

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Shalih pelayan at-Tauamah dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang menyalati jenazah di dalam masjid maka dia tidak memperoleh apa-apa.” (HR; Ahmad, Ibnu Majah dan al-Baihaqi)

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Maka tidak ada shalat baginya.”

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Maka tidak ada sesuatu baginya.”

Maka hadits ini pokok bahasannya tertumpu pada Shalih, pelayan at-Tauamah, hafalannya kacau di penghujung usianya, dan Ahmad telah mendhaifkannya. Ibnu al-Qathan, Malik dan an-Nasai berkata: sesungguhnya dia itu tidak tsiqah, sehingga haditsnya tidak digunakan. Dengan demikian kami nyatakan bahwa menyalati mayit yang paling utama adalah di mushalla (tempat yang biasa digunakan untuk shalat dua hari raya), tetapi boleh juga di masjid tanpa mendapatkan dosa atau cela.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Takut Kebangkitan Intifadhah, Zionis Jatuhkan Sanksi Berat Bagi Remaja Muslimah



Zionis Yahudi sangat takut terhadap kebangkitan intifadhah. Saking takutnya, mereka pun menyasar anak-anak perempuan di bawah umur. Ketakutan Yahudi ini muncul mengingat semakin maraknya aksi penyerangan terhadap tentara rezim penjajah yang justru dilakukan oleh anak-anak perempuan di bawah umur. Menurut Pusat Studi Tahanan Palestina, pengadilan di wilayah pendudukan telah mengeluarkan sanksi yang keras dan penuh dendam terhadap sejumlah tahanan perempuan berusia di atas 10 tahun.

Selama bertahun-tahun konflik yang panjang dengan entitas Yahudi, lebih dari 15.000 perempuan dan perempuan muda Palestina dipenjara. Negara penjajah itu tidak membedakan antara perempuan tua maupun muda, termasuk yang usianya di bawah 18 tahun. Dalam intifadah (pemberontakan) pertama, terdapat 3.000 tahanan perempuan dan selama pemberontakan kedua jumlahnya hampir 900 orang. Menurut Departemen Tahanan dan Mantan tahanan, jumlah tahanan perempuan yang menjadi sasaran penangkapan di penjara entitas Yahudi, sejak 13 Juni 2016, mencapai 61 orang.

Pengadilan Yahudi baru-baru mengeIuarkan hukuman terhadap empat tahanan perempuan dengan masa hukuman yang lebih dari 10 tahun. Shurooq Dawiyat (19 tahun) dijatuhi hukuman 16 tahun, Maysoon Al-Jibaaliy (22 tahun) dihukum 15 tahun, Nourhan Awad (16 tahun) dihukum 13 tahun, dan Israa Ja'abis (31 tahun) dihukum 11 tahun. Selain itu, hukuman bervariasi diberikan kepada gadis-gadis lain berkisar di antara 3-7 tahun masa tahanan.

Mereka yang seharusnya ada di bangku-bangku sekolah untuk mempersiapkan masa depan mereka, malah menjadi sasaran penghinaan rezim Zionis Yahudi. Para tahanan perempuan itu, dari segala usia, dari sejak mereka ditangkap mengalami pemukulan, penghinaan, dan pelecehan secara verbal. Tindakan keji ini semakin meningkat saat mereka tiba di pusat-pusat interogasi.

Berbagai teknik interogasi yang keji dilakukan terhadap mereka baik secara fisik maupun mental. Mereka dipukul, dibuat kurang tidur selama berjam-jam, menjadi korban teror dan dibuat agar takut tanpa membedakan jenis kelamin, usia atau adanya kebutuhan khusus atau keperluan lainnya. Penderitaaan mereka berlanjut di kamar-kamar tahanan. Otoritas penjara menyerang kamar-kamar mereka di malam hari dan saat mereka sedang tidur. Tidak sedikit di antaranya yang mengalami kekurangan makanan, tidak mendapatkan obat yang layak saat mereka sakit, tahanan yang kekurangan tempat tidur, dengan jendela kecil sehingga hanya mendapatkan sedikit cahaya matahari.

Juru bicara Media Pusat Hizbut Tahrir Riyadh Al-Ashqar mengecam tindakan keji rezim penjajah Yahudi ini. Menurutnya, tindakan Yahudi ini mencerminkan ketakutan mereka.

”Otoritas pendudukan berusaha untuk membuat putusan yang lebih keras sebagai upaya untuk mencegah kaum perempuan dan putri-putri Palestina untuk ikut dalam aksi perlawanan Al-Quds, menakut-nakuti mereka untuk tidak melakukan operasi penusukan atau melindas tentara pendudukan dan para pemukim di wilayah pendudukan,” tegasnya.

Riyad juga mempertanyakan mengapa penguasa-penguasa negeri Islam hanya menjadi penonton, sementara di depan mereka remaja-remaja Muslimah mengalami penderitaan yang mengerikan.

”Berapa lama lagi pelanggaran terhadap kehormatan dan martabat perempuan Muslim akan terjadi, sementara semua orang hanya menonton, berapa lama lagi putri-putri kami, saudara-saudara perempuan dan ibu-ibu kami tetap berada di penjara-penjara entitas Yahudi? Bangunlah dan bangkitlah dari tidur Anda dan buanglah pakaian kehinaan dan bekerjalah bersama Hizbut Tahrir yang berjuang untuk mengusir penindasan ini dari mereka dan dari semua umat Islam dengan mendirikan Khilafah yang lurus yang berjalan pada pada metode Kenabian,” tegasnya. []af

Mayoritas Anak Palestina Di Penjara Israel Disiksa

Israel menyiksa dan mempermalukan mayoritas anak-anak Palestina yang ditahan di penjara. Demikian pernyataan dari Luay Ukka, pengacara Komite Tahanan Palestina (PCPA). Setelah mengunjungi pusat penjara Ofer, Ukka melaporkan bahwa tahanan muda di dalam sana mengalami penyiksaan, pemukulan, dan dipermalukan selama proses interogasi atau penangkapan.

Ukka juga menambahkan jumlah tahanan anak-anak muda Palestina meningkat. Pada bulan September (2016) PCPA melaporkan setidaknya 1.000 anak-anak Palestina ditahan sejak awal tahun 2016. Sementara itu, lebih dari 7.000 tahanan Palestina berada di 17 penjara israel. Banyak dari mereka ditangkap semena-mena tanpa pengadilan. []presstv

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 189
---

SMS/WA Berlangganan Tabloid Media Umat: 0857 1713 5759

Pesta Narkoba, Dua Anggota Dewan Bebas



Lampung

Ada preseden buruk bagi upaya perang melawan narkoba. Dengan alasan hanya sebagai pemakai, dua anggota dewan Kabupaten Pesawaran yang kedapatan sedang nyabu dibebaskan dari tahanan untuk menjalani rehabilitasi. Keduanya adalah Wakil Ketua II DPRD Pesawaran dari Fraksi Gerindra Rama Diansyah dan anggota DPRD Pesawaran dari Fraksi PAN Yudianto.

Pada Selasa (10/1) malam, Rama Diansyah dibebaskan dari tahanan Ditresnarkoba Polda Lampung untuk rawat jalan di Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung.

Rekomendasi rawat jalan ini berdasarkan hasil pemeriksaan tim assessment terpadu BNP Lampung. Tim assesment Rama terdiri dari AKBP Darman Gumay dari Direktorat Reserse Polda Lampung, Kejati Lampung Agus Priambodo, BNP Lampung dr. Novan Harun, dan juga AKBP Abdul Haris.

Sedangkan Yudianto, lebih dulu menghirup udara segar sejak Senin (9/1). Ia dilepas dengan dalih sama, menjalani proses rehabilitasi di BNN Lampung.

Direktur Ditnarkoba Polda Lampung Kombespol Abrar Tuntalanai menyatakan Rama yang menjadi target operasi (TO) polisi sejak lama digerebek di rumah pribadinya tatkala sedang asyik bermain judi kartu remi bersama sejumlah orang. Salah satunya Yudianto.

”Saat ditangkap, Rama bersama ketiga rekannya sedang bermain judi kartu remi, dan kondisi yang bersangkutan pun dalam keadaan mabuk karena pengaruh narkoba,” ujar Abrar.

Ketika melakukan penggeledahan, aparat menemukan seperangkat alat isap sabu (bong), sebuah pirek, dan satu plastik klip sisa bungkus sabu sebagai barang bukti.

Abrar juga menyatakan dari hasil tes urine Rama Diansyah positif mengandung amphetamine dan methamphetamine, Yudianto (positif amphetamine), serta kurir narkoba Hendra Irawan (positif amphetamine dan methamphetamine).

Nurul Hidayah, kuasa hukum Rama, membantah kalau sisa sabu-sabu yang didapat petugas saat penggerebekan pada Selasa (3/1) lalu adalah milik kliennya. Lelaki yang dipecat partainya begitu hasil tes urine dinyatakan positif tersebut, menurut Nurul, hanyalah pemakai. Bukan pengedar.

Pembebasan pecandu narkoba dengan dalih hanya pemakai tersebut mendapat kecaman keras dari Humas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Lampung Hammam Abdullah. ”Omong kosong berkoar perang lawan narkoba, bentuk satgas ini dan itu.... Giliran ada oknum anggota dewan tertangkap, malah dilepas dengan dalih rehabilitasi,” ujarnya kepada Media Umat, Jumat (13/1).

Menurut Hammam, kedua anggota dewan tersebut bukanlah korban tetapi pelaku karena tidak ada yang memaksa mereka menggunakan narkoba. ”Oleh karena itu mereka harus dihukum tegas bukan direhabilitasi!” tegasnya mengacu pada hukum Islam.

Dalam Islam, lanjut Hammam, sanksi bagi mereka yang menggunakan narkoba adalah ta'zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim (qadhi), misalnya dipenjara, dicambuk, dan sebagainya. Sanksi ta'zir dapat berbeda-beda sesuai tingkat kesalahannya.

Pengguna narkoba yang baru beda hukumannya dengan pengguna narkoba yang sudah lama. Beda pula dengan pengedar narkoba, dan beda pula dengan pemilik pabrik narkoba. "Bahkan hukumannya bisa sampai pada tingkatan hukuman mati, sehingga akan memberikan efek jera," tandasnya.

Bagi pecandu seperti anggota DPRD Pesawaran tersebut, dengan bukti sudah menjadi target operasi (TO) polisi sejak lama, bisa dipenjara lebih dari 15 tahun atau denda yang besar. ”Karena orang yang sudah kecanduan harus dihukum lebih berat. Demikian pula semua yang terlibat dalam pembuatan dan peredaran narkoba, termasuk para aparat yang menyeleweng,” pungkasnya. []joko prasetyo

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 189
---

SMS/WA Berlangganan Tabloid Media Umat: 0857 1713 5759

Pengusaha Langit!



Oleh: Mujiyanto, Pengusaha travel umroh

Bisnis adalah urusan materi. Begitu kebanyakan persepsi yang ada di benak para pengusaha saat ini. Karena menyangkut materi, mereka berpikir bahwa pengembangannyapun tak perlu menyertakan tata aturan di luar dari urusan pengembangan materi. Tak perlu bawa agama.

Persepsi seperti ini melahirkan pengusaha yang materialistik, permisif, dan hedonis. Segala hal diukur dengan materi, yang akhirnya menimbulkan sikap kikir dan tidak peduli terhadap nasib kaum Muslim. Padahal di sisi lain, mereka mengaku sebagai Muslim. Jadilah mereka sebagai sosok dengan dua kepribadian.

Ini sangat berbeda dengan contoh pengusaha di era Nabi SAW. Abdurrahman bin Auf menjadi cermin seorang pengusaha yang mampu meletakkan usaha di bawah ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Abdurrahman memiliki semangat yang membara dalam berusaha. Namun ia tak pernah melepaskan diri dari agamanya dalam berusaha itu. Baginya perniagaan bukanlah media untuk memonopoli, atau untuk memupuk harta dan mencintai kekayaan, serta menggunakan hartanya untuk membeli berbagai macam properti untuk dibanggakan. Ia pun tak tertarik untuk berlomba dengan para pengumpul harta lainnya guna memuaskan nafsu pribadi.

Sahabat Nabi SAW ini berhasil melakukan perniagaan untuk mewujudkan panggilan langit, "Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya."

Ia pun mengamalkan arahan-arahan Nabi SAW: ”Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah,” atau, ”Alangkah baiknya harta yang baik pada tangan orang yang baik pula,” dan, "Harta paling baik yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah yang ia dapatkan dari tangannya sendiri.”

Tak heran, Abdurrahman bin Auf seolah menjadi kantor kas tempat mengalirkan kekayaan bagi kaum Muslim. Ia sumbangkan hartanya untuk dakwah Islam, membantu kaum dhuafa, membebaskan budak, termasuk menyiapkan pasukan Islam. Sudahlah disumbangkan sangat banyak ternyata hartanya masih sangat banyak ketika Ia wafat.

Ia pun terjun langsung dalam medan jihad bersama Rasulullah dalam perang Uhud. Dalam perang itu ia mendapatkan 20 luka parah pada tubuhnya. Salah satunya bahkan menyebabkan dirinya pincang dan beberapa giginya rontok sehingga mengurangi kemamapuannya berbicara lancar. Tak ada kisah yang menceritakan misalnya, Abdurrahman bin Auf tak mau berjihad karena sedang sibuk berbisnis.

Sikap taatnya kepada perintah Allah dan Rasul-Nya ini sudah ia tunjukkan ketika hijrah. Panggilan hijrah ia laksanakan dengan ikhlas dan sabar kendati harus meninggalkan harta kekayaannya yang banyak di Makkah. Begitu pula sebelumnya, ketika ia ikut dalam rombongan Muslim hijrah ke negeri Habasyah, ia dengan senang hati menuruti perintah Nabi.

Abdurrahman bin Auf menjadi sosok pengusaha pejuang yang berhasil mendudukkan agama sebagai landasan meraih harta yang berkah. Ia tak takut sama sekali dengan kerugian meski terikat dengan aturan agama.

Pengusaha model seperti inilah yang seharusnya lahir di tengah-tengah umat. Pengusaha yang lebih cinta agamanya dibandingkan terbebani keinginan meraih harta sebanyak-banyaknya dan terkungkung oleh bisnis. Pengusaha yang mendedikasikan dirinya untuk memperjuangkan agama Allah dengan segala kemampuan yang dimilikinya.

Inilah pengusaha langit! []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 189
---

SMS/WA Berlangganan Tabloid Media Umat: 0857 1713 5759

Pembelaan Terhadap Seluruh Ayat Al-Qur’an



Menjaga Spirit Aksi Bela Islam

Kemarahan umat Islam terhadap penistaan yang dilakukan oleh Ahok melahirkan spirit perjuangan untuk membela Islam. Spirit ini harus terus dijaga dan jangan sampai berlalu begitu saja tanpa arah dantujuan yang jelas. Pasca Aksi Bela Islam bukanlah akhir dari perjuangan umat Islam namun tentu lebih dari sekadar kasus penistaan itu.

Karena sejatinya penistaan yang dilakukan oleh Ahok hanya pada satu ayat saja yakni QS Al-Maidah 51, sementara ketika umat Islam hidup dalam naungan sistem-di luar Islam yang tidak berpedoman pada Al-Qur’an tentu jauh lebih besar bentuk penistaannya. Spirit ini harus senantiasa dijaga oleh semua komponen umat Islam.

Di antara perkara penting yang harus dipelihara dalam rangka menjaga spirit perjuangan adalah sebagai berikut: pertama, senantiasa mengeratkan persatuan berbagai komponen umat Islam. Belajar dari Aksi Bela Islam yang dilakukan sebanyak tiga kali maka menunjukan bahwa persatuan umat Islam itu adalah sangat mungkin dan riil. Umat Islam bersikap, bergerak dan berkorban tidak lain karena dorongan iman, tauhid, serta kecintaan dan pembelaan terhadap Al-Qur’an. Kebersamaan seperti ini sangat dibutuhkan oleh Islam dan umatnya. Dengan persatuan seperti ini tentu memberikan sinyal yang sangat kuat bahwa umat Islam mampu bersatu.

Kedua, meningkatkan kesadaran dan pembelaan pada seluruh ayat dan hukum Al-Qur’an. Aksi umat Islam dalam berunjuk rasa terhadap kasus penistaan Al-Qur’an oleh Ahok menunjukan bahwa umat Islam akan bersatu dan bergerak bersama membela kitab sucinya. Kitab suci yang tidak ada keraguan di dalamnya. Saat QS Al-Maidah 51 dinistakan maka umat Islam paham bahwa yang dinistakan itu adalah ayat Allah SWT. Karena itu, dengan kesadaran yang sama semestinya umat juga dapat bersatu dan bergerak untuk memperjuangkan seluruh isi Al-Qur’an agar dapat diterapkan dalam kehidupan.

Inilah bentuk keimanan hakiki umat terhadap Al-Qur’an. Umat tidak boleh mengimani sebagian ayat dan mendustakan ayat-ayat yang lain, sebagaimana firman-Nya: "Apakah kalian mengimani sebagian Alkitab dan mengingkari sebagian lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari akhirat mereka akan dikembalikan pada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat." (TQS Al Baqarah: 85).

Ketiga, senantiasa menyadari bahwa ayat suci Al-Qur’an lebih tinggi dibandingkan dengan hukum buatan manusia. Salah besar jika umat Islam memilih landasan hidup yang berasal dari luar Islam. Karena jika hal itu yang terjadi, maka dengan sendirinya umat Islam merendahkan kedudukan Al-Qur’an di bawah hukum buatan manusia.

Karena itu, saat manusia justru berpaling dari hukum dan aturan Allah SWT, mereka diingatkan dengan firman-Nya: ”Hendaklah kamu memutuskan perkara di tengah-tengah mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (TQS Al-Maidah: 49).

Keempat, perlu kekompakan seluruh komponen umat Islam dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang ingin memporak-porandakan umat Islam. Kasus ini menjadi salah satu furqan (pembeda). Melalui kasus ini maka umat Islam dapat mencatat siapa saja orang, tokoh, cendekiawan, kelompok atau organisasi yang lebih rela membenarkan bahkan membela kebatilan.

Kelima, terus berjuang untuk menegakkan syariah dan menyatukan umat dalam naungan khilafah. Spirit pembelaan yang muncul dari kasus penistaan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Ahok bisa senantiasa terjaga jika arah perjuangan selanjutnya diarahkan kepada tegaknya syariah dan khilafah. Karena itu, menjadi penting bagi umat Islam di mana pun untuk berjuang menegakkan seluruh kandungan Al-Qur’an secara sempurna.

Kewajiban menegakkan khilafah merupakan fardhu kifayah yang telah dibebankan atas pundak kita semua. Perjuangan harus dilanjutkan. Jaga spirit!

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 189
---

SMS/WA Berlangganan Tabloid Media Umat: 0857 1713 5759

Al-Qur’an: Mukjizat Dan Sumber Keberkahan



Suatu ketika, seperti diceritakan oleh Ibn Abbas, Walid bin Mughirah pernah datang kepada Rasul SAW lalu membacakan ayat-ayat Al-Qur’an di hadapannya. Sebagai seorang pemuka Arab yang memiliki cita rasa tinggi akan bahasa dan sastra, Walid -meski dia kafir- tidak mampu sedikitpun menyembunyikan rasa takjubnya terhadap keagungan dan ketinggian Al-Qur’an, yang baru saja meluncur dari bibir Rasul SAW yang mulia.

Mendengar Walid telah menemui Rasul SAW, Abu Jahal memprotesnya. Namun, Walid malah berkata, "Demi Allah! Di antara kalian tidak ada yang lebih paham dari aku dalam hal syair, rajaz, dan qasidah-nya; serta syair-syair jin. Apa yang diucapkan oleh Muhammad itu (ayat-ayat Al-Qur’an) sama sekali tidak serupa dengan syair-syair itu. Demi Allah! Kalimat demi kalimat yang dia tuturkan sungguh manis; bagian atasnya berbuah, sementara bagian bawahnya mengalirkan air segar. Untaian katanya sungguh tinggi, tidak dapat diungguli, bahkan dapat menghancurkan apa saja yang ada di bawahnya." (Qattan, 1992:379-380)

Kisah nyata di atas hanyalah secuil saja di antara sekian banyak pembuktian tentang kemukjizatan Al-Qur’an, yang sekaligus menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar kalamullah. Namun, selalu saja ada orang-orang yang berusaha untuk menanamkan keraguan pada kaum Muslim akan otentisitas Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT. Mereka lupa, andai Al-Qur’an bukan wahyu Allah SWT, alias karangan manusia, lalu mampukah mereka membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Qur’an? Tidak ada! Mereka hanya bisa mengkritik dan menggugat Al-Qur’an. Mahabenar Allah Yang berfirman: Jika kalian tetap meragukan Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat saja yang serupa dengan Al-Qur’an itu, dan ajaklah para penolong kalian selain Allah, jika kalian memang orang-orang yang benar.” (TQS al-Baqarah [2]: 23).

Lebih dari sekadar "karya sastra" yang demikian agung, Al-Qur’an benar-benar menjanjikan keberkahan bagi kehidupan umat manusia di dunia saat secara nyata diterapkan di tengah-tengah kehidupan mereka. Mahabenar Allah Yang telah berfirman: Al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati. Karena itu ikutilah kitab tersebut dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat (TQS al-An'am[6]:155).

Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa Al-Qur’an disifati dengan mubarak (yang diberkati) karena mengandung banyak kebaikan di dalamnya. Adapun frasa fattabi'uhu, maknanya adalah i'malu bima fihi (Karena itu amalkanlah semua hal yang terkandung di dalam Al-Qur’an itu). Dengan kata lain, hanya dengan menerapkan Al-Qur’an keberkahan hidup itu bisa dirasakan oleh kaum Muslim.

'Ala kulli hal, yang dibutuhkan saat ini jelas bukanlah mengkritik apalagi menistakan Al-Qur’an, tetapi bagaimana membumikan Al-Qur’an dalam realitas kehidupan agar hidup penuh dengan keberkahan, tentu dalam naungan ridha Allah SWT. []abi

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 189
---

SMS/WA Berlangganan Tabloid Media Umat: 0857 1713 5759

Dalil Duduk Istirahat Setelah Dua Kali Sujud Dalam Shalat



Duduk Istirahat

Ini adalah duduk sejenak, yang dilakukan sesaat setelah selesai sujud kedua dan sebelum bangkit ke rakaat kedua atau ke rakaat keempat. Jika si mushalli selesai dari rakaat pertama dan akan bangkit ke rakaat kedua, maka dia duduk sejenak kemudian berdiri. Dan jika selesai dari rakaat ketiga hendak bangkit ke rakaat keempat dia duduk sejenak kemudian berdiri. Duduk seperti ini disebutkan duduk istirahat. Duduk seperti ini disunatkan dan dianjurkan. Dari Abu Qilabah ia berkata:

“Malik bin al-Huwairits mendatangi kami lalu dia shalat mengimami kami di masjid kami ini. Ia berkata: Aku akan shalat mengimami kalian walaupun aku tidak bermaksud shalat. Aku ingin memperlihatkan kepada kalian bagaimana aku melihat Nabi Saw. shalat. Ayub berkata: lalu aku bertanya kepada Abu Qilabah: Bagaimanakah shalat beliau Saw.? Ia berkata: Seperti shalat syaikh kita ini, yakni Amr bin Salamah. Ayub berkata: Dan syaikh itu shalat dengan menyempurnakan takbirnya, dan jika mengangkat kepalanya dari sujud kedua maka dia duduk dan bertopang ke tanah lalu berdiri.” (HR. Bukhari)

Abu Dawud mentaqyidnya dengan kata duduk dalam riwayatnya, dengan mengungkapkan:

“...Dan jika dia mengangkat kepalanya dari sujud terakhir pada rakaat pertama maka dia duduk kemudian berdiri.”

Begitu pula Ahmad membatasinya dalam salah satu riwayatnya dengan menyatakan:

“…Dia berkata: lalu dia duduk pada rakaat pertama ketika mengangkat kepalanya dari sujud terakhir kemudian berdiri.”

Ahmad membatasinya dalam riwayat yang lain dengan kata rakaat pertama dan rakaat ketiga, dengan mengucapkan:

“Abu Qilabah berkata: maka dia shalat seperti shalat syaikh kita ini, yakni Amr bin Salamah al-Harmi, dan dia pernah menjadi imam pada masa Nabi Saw. Ayub berkata: maka aku melihat Amr bin Salamah melakukan sesuatu yang tidak pernah aku lihat kalian melakukannya. Dia, jika bangkit dari dua sujud duduk tegak lurus, kemudian berdiri dari rakaat pertama dan ketiga.”

Malik bin al-Huwairits meringkas masalah ini dengan ucapannya:

“Sesungguhnya dia melihat Nabi Saw. shalat, dan jika dalam bilangan rakaat yang ganjil dari shalatnya maka dia tidak bangkit hingga duduk tegak lurus.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Rakaat yang ganjil maksudnya adalah rakaat pertama dan rakaat ketiga.

Bentuk duduk ini yang ringan dan pendek, tidak berarti tidak ada thuma’ninah di dalamnya atau tidak ada ketenangan. Ibnu Khuzaimah dari Abu Humaid al-Sa’idi, ia berkata:

“…Adalah Nabi Saw. jika berdiri untuk shalat beliau kembali tegak berdiri. Lalu dia menceritakan sebagian hadits ini dan berkata: …kemudian luruh bersujud dan mengucapkan: Allahu Akbar, kemudian beliau melipat kakinya, duduk sampai tegak hingga setiap tulang kembali ke posisinya kemudian beliau bangkit.”

Duduk istirahat ini hukumnya sunat, bukan wajib. Sebab, Rasulullah Saw. tidak menuntutnya dari orang yang buruk shalatnya -ketika beliau mengajarkan apa yang harus dilakukannya dalam shalat. Seandainya duduk ini wajib, niscaya beliau Saw. akan mengajarkannya, dan ucapan Ayub dalam riwayat Ahmad: “Ayub berkata: maka aku melihat Amr bin Salamah melakukan sesuatu yang tidak pernah aku lihat kalian melakukannya”, kemudian menyebutkan duduk ini dalam dua rakaat, yang pertama dan yang ketiga. Ini hanya menunjukkan bahwa duduk istirahat bukan wajib, kalau memang wajib, mengapa kaum Muslim (ada yang) tidak melakukannya di zaman Rasulullah Saw.

Adapun tata cara duduk, maka dalam riwayat Ibnu Khuzaimah ada jawabannya: “Kemudian beliau melipat kakinya, duduk sampai tegak hingga setiap tulang kembali ke posisinya”, yang dimaksud dengan kaki yang dilipat ini adalah kaki kiri, di mana duduk istirahat dilakukan dengan melipat telapak kaki kiri -yakni menghamparkannya dan menegakkan telapak kaki kanan, kemudian duduk di atas pantat sebelah kiri, persis seperti duduk untuk tasyahud awal, sebagaimana akan dibahas kemudian.

Tetapi jika beriq'a (duduk di atas dua tumit) dalam duduk ini bertumpu pada dua kakinya yang ditegakkan, maka saya berharap hal ini tidak menjadi masalah, dan mungkin saja duduk seperti ini lebih mudah untuk bangkit, sehingga perkara ini bersifat lapang. Wallahu a'lam.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Tidak Menutupi Dahi Dan Tangan Ketika Sujud Dalam Shalat



Bab: Sifat Shalat

Sub-bab:
Sujud: Bentuknya dan Dzikir Di dalamnya

...
Kita melangkah pada pembahasan menyingkap dahi dan dua tangan (yakni tidak menutupinya dengan sesuatu-pen) dalam sujud. Kami katakan: menurut asalnya, dalam sujud itu seorang Muslim harus dalam kondisi tidak menutupi dua tangan dan dahinya dengan sesuatu. Ini merupakan keadaan yang biasa ditetapi oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, sehingga jika salah seorang dari mereka menyalahi hukum asal ini maka Rasulullah Saw. akan mengingatkannya dan ia pun kembali pada hukum asal ini. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Iyadh bin Abdullah, bahwa dia berkata:

“Nabi Saw. melihat seseorang sujud di atas lingkaran serban, lalu beliau memberikan isyarat dengan tangannya: Angkatlah serbanmu itu. Dan beliau menunjuk pada dahinya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Shalih bin Khaiwan al-Siba‘iy meriwayatkan:

“Bahwa Rasulullah Saw. melihat seseorang sujud di sisinya, dan ia mengenakan serban di atas dahinya, lalu beliau Saw. membuka serban itu dari dahinya.” (HR. Baihaqi)

Walaupun begitu, jika kondisi sangat panas atau sangat dingin sehingga sujud di atas tanah menyulitkan bagi banyak orang, maka syariat yang lurus pada saat itu telah membolehkan untuk menutupi dahi dan dua tangan, atau membentangkan pakaian/kain di atas tempat sujud untuk menghilangkan kesulitan itu dan memberi kelapangan pada orang-orang. Dari Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Jika kami shalat di belakang Rasul di tengah hari, maka kami bersujud di atas kain-kain kami sebagai pelindung dari panas.” (HR. Bukhari dan an-Nasai)

Abu Dawud dan Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Kami shalat bersama Rasulullah Saw. di hari yang sangat panas, sehingga jika salah seorang dari kami tidak mampu melekatkan wajahnya di tanah maka dia membentangkan kainnya, lalu dia bersujud di atasnya.”

Ibnu Majah meriwayatkan pula hadits ini, di dalamnya disebutkan:

”…Jika salah seorang dari kami tidak mampu…”

Dengan demikian, adanya penghalang antara dahi dan dua tangan dengan tanah itu dibolehkan, karena tidak ada kemampuan, atau tidak ada kekuatan, atau karena sangat panas. Begitu pula dibolehkan karena sangat dingin, seperti orang yang shalat di malam yang sangat dingin di lapangan terbuka, atau seperti orang yang bersujud di atas salju. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas ra.:

“Bahwa Nabi Saw. shalat dengan memakai satu kain dan menyelendangkannya di pundaknya. Beliau berlindung dengan ujungnya dari panas dan dinginnya tanah.” (HR. Ahmad)

Berlindung dengan ujungnya: yakni melindungi diri beliau dari panas dan dingin dengan bagian ujung selendang yang dikenakannya.

Inilah hujjah untuk membantah orang yang melarang sujud di atas kain yang dipakai. Sedangkan orang yang membolehkan sujud di atas kain yang tidak dipakai, yang dilemparkan ke bawahnya agar menjadi seperti hamparan, maka memang betul inilah hujjah. Begitu pula hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Abdurrahman dari ayahnya dari kakeknya -Tsabit bin Shamit ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. shalat di Bani Asyhal dan beliau mengenakan kain yang dibelitkan di tubuhnya. Beliau Saw. meletakkan tangannya di atas kain tersebut guna melindunginya dari dinginnya kerikil.” (HR. Ibnu Majah)

Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan redaksi kalimat:

“Nabi Saw. datang kepada kami, lalu beliau shalat mengimami kami di masjid Bani Abdul Asyhal. Aku melihatnya meletakkan tangannya di dalam kainnya jika beliau bersujud.”

Walhasil, sujud di atas ujung serban yang dipakai, ujung kopiah atau ujung songkok, atau sujud dengan sarung tangan di telapak tangan, itu boleh-boleh saja jika ada udzur panas atau dingin. Jika tidak panas atau dingin maka dimakruhkan menutup dahi dan dua tangan, meski demikian shalatnya tetap diterima dan sah.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Ta'awwudz Dalam Shalat



Disunahkan untuk meminta perlindungan (ta ’awwudz) kepada Allah Swt. dalam shalat dari setan yang terkutuk setelah mengucapkan doa iftitah dan sebelum membaca al-fatihah. Allah Swt. berfirman:

(Tulisan QS an-Nahl [16]: 98)

“Apabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (TQS an-Nahl [16]: 98)

Dan sunah ini bisa diperoleh dengan bentuk ta'awudz manapun, seperti bentuk: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk”, dan ini merupakan bentuk yang paling terkenal. Atau seperti bentuk: “Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk”; atau seperti: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan yang terkutuk, dari hasutan fitnahnya, hembusan dan tiupan sihirnya”.

Seorang mushalli cukup berta'awwudz pada rakaat pertama saja, karena nash-nash yang ada memerintahkan ini dilakukan dalam rakaat pertama, tidak ada yang menunjukkan mengulangnya pada rakaat selainnya. Kemudian, shalat itu serupa dengan duduk satu kali membaca al-Qur'an, di mana pembaca al-Qur’an itu hanya cukup berta'awwudz satu kali dalam satu kali duduk. Begitu pula bagi seorang yang shalat, dia cukup berta'awwudz satu kali dalam satu shalat. Dari Ibnu Jubair bin Muth’im dari ayahnya ia berkata:


“Aku melihat Rasulullah Saw. ketika masuk dalam shalat beliau mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan yang terkutuk, dari hasutan fitnahnya, hembusan dan tiupan sihirnya.” (HR. Ibnu Majah)

Dari Abu Said ra. ia berkata:


“Adalah Rasulullah Saw. jika berdiri shalat pada malam hari, beliau bertakbir, lalu mengucapkan Maha Suci Engkau ya Allah, pujian hanya untuk-Mu, Maha Sucilah nama-Mu dan Maha Luhurlah keagungan-Mu, tidak ada tuhan selain Engkau. Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan yang terkutuk, dari hasutan fitnahnya, hembusan dan tiupan sihirnya. Kemudian beliau memulai shalatnya.” (HR. ad-Darimi)

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah