Page

Dalil Duduk Istirahat Setelah Dua Kali Sujud Dalam Shalat



Duduk Istirahat

Ini adalah duduk sejenak, yang dilakukan sesaat setelah selesai sujud kedua dan sebelum bangkit ke rakaat kedua atau ke rakaat keempat. Jika si mushalli selesai dari rakaat pertama dan akan bangkit ke rakaat kedua, maka dia duduk sejenak kemudian berdiri. Dan jika selesai dari rakaat ketiga hendak bangkit ke rakaat keempat dia duduk sejenak kemudian berdiri. Duduk seperti ini disebutkan duduk istirahat. Duduk seperti ini disunatkan dan dianjurkan. Dari Abu Qilabah ia berkata:

“Malik bin al-Huwairits mendatangi kami lalu dia shalat mengimami kami di masjid kami ini. Ia berkata: Aku akan shalat mengimami kalian walaupun aku tidak bermaksud shalat. Aku ingin memperlihatkan kepada kalian bagaimana aku melihat Nabi Saw. shalat. Ayub berkata: lalu aku bertanya kepada Abu Qilabah: Bagaimanakah shalat beliau Saw.? Ia berkata: Seperti shalat syaikh kita ini, yakni Amr bin Salamah. Ayub berkata: Dan syaikh itu shalat dengan menyempurnakan takbirnya, dan jika mengangkat kepalanya dari sujud kedua maka dia duduk dan bertopang ke tanah lalu berdiri.” (HR. Bukhari)

Abu Dawud mentaqyidnya dengan kata duduk dalam riwayatnya, dengan mengungkapkan:

“...Dan jika dia mengangkat kepalanya dari sujud terakhir pada rakaat pertama maka dia duduk kemudian berdiri.”

Begitu pula Ahmad membatasinya dalam salah satu riwayatnya dengan menyatakan:

“…Dia berkata: lalu dia duduk pada rakaat pertama ketika mengangkat kepalanya dari sujud terakhir kemudian berdiri.”

Ahmad membatasinya dalam riwayat yang lain dengan kata rakaat pertama dan rakaat ketiga, dengan mengucapkan:

“Abu Qilabah berkata: maka dia shalat seperti shalat syaikh kita ini, yakni Amr bin Salamah al-Harmi, dan dia pernah menjadi imam pada masa Nabi Saw. Ayub berkata: maka aku melihat Amr bin Salamah melakukan sesuatu yang tidak pernah aku lihat kalian melakukannya. Dia, jika bangkit dari dua sujud duduk tegak lurus, kemudian berdiri dari rakaat pertama dan ketiga.”

Malik bin al-Huwairits meringkas masalah ini dengan ucapannya:

“Sesungguhnya dia melihat Nabi Saw. shalat, dan jika dalam bilangan rakaat yang ganjil dari shalatnya maka dia tidak bangkit hingga duduk tegak lurus.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Rakaat yang ganjil maksudnya adalah rakaat pertama dan rakaat ketiga.

Bentuk duduk ini yang ringan dan pendek, tidak berarti tidak ada thuma’ninah di dalamnya atau tidak ada ketenangan. Ibnu Khuzaimah dari Abu Humaid al-Sa’idi, ia berkata:

“…Adalah Nabi Saw. jika berdiri untuk shalat beliau kembali tegak berdiri. Lalu dia menceritakan sebagian hadits ini dan berkata: …kemudian luruh bersujud dan mengucapkan: Allahu Akbar, kemudian beliau melipat kakinya, duduk sampai tegak hingga setiap tulang kembali ke posisinya kemudian beliau bangkit.”

Duduk istirahat ini hukumnya sunat, bukan wajib. Sebab, Rasulullah Saw. tidak menuntutnya dari orang yang buruk shalatnya -ketika beliau mengajarkan apa yang harus dilakukannya dalam shalat. Seandainya duduk ini wajib, niscaya beliau Saw. akan mengajarkannya, dan ucapan Ayub dalam riwayat Ahmad: “Ayub berkata: maka aku melihat Amr bin Salamah melakukan sesuatu yang tidak pernah aku lihat kalian melakukannya”, kemudian menyebutkan duduk ini dalam dua rakaat, yang pertama dan yang ketiga. Ini hanya menunjukkan bahwa duduk istirahat bukan wajib, kalau memang wajib, mengapa kaum Muslim (ada yang) tidak melakukannya di zaman Rasulullah Saw.

Adapun tata cara duduk, maka dalam riwayat Ibnu Khuzaimah ada jawabannya: “Kemudian beliau melipat kakinya, duduk sampai tegak hingga setiap tulang kembali ke posisinya”, yang dimaksud dengan kaki yang dilipat ini adalah kaki kiri, di mana duduk istirahat dilakukan dengan melipat telapak kaki kiri -yakni menghamparkannya dan menegakkan telapak kaki kanan, kemudian duduk di atas pantat sebelah kiri, persis seperti duduk untuk tasyahud awal, sebagaimana akan dibahas kemudian.

Tetapi jika beriq'a (duduk di atas dua tumit) dalam duduk ini bertumpu pada dua kakinya yang ditegakkan, maka saya berharap hal ini tidak menjadi masalah, dan mungkin saja duduk seperti ini lebih mudah untuk bangkit, sehingga perkara ini bersifat lapang. Wallahu a'lam.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)